Jumat, 18 Januari 2013

Ternyata Sutradara Film 'Cinta Tapi Beda' Berkonsultasi dengan Pastor


Saat masyarakakat Minang yang dipimpin oleh Fahira Fahmi Idris (putri mantan Menteri Perindustrian Fahmi Idris), bertabayun dengan pihak Multivision selaku produser film “Cinta Tapi Beda” garapan sutradara Hanung Bramantyo dan Hestu Saputra, ternyata hanya berkonsultasi dengan seorang Romo yang beragama Katolik.


Sementara tokoh Adat dan ulama Padang tidak dimintai pendapatnya untuk menjelaskan perihal adat Minangkabau dan Islam.  Ini menunjukkan film  tersebut "Cinta Tapi Beda" garapan sutradara liberal Hanung Bramantyo yang diproduksi Multivision itu tidak melalui riset mendalam.

Seperti diberitakan sebelumnya, sejumlah warga dan mahasiswa Minang yang tergabung dalam Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Pemuda Pemudi Minang Indonesia (DPP IPPMI) dan Pengurus Pusat Keluarga Mahasiswa Minangkabau Jaya (PP KMM JAYA) beraudiensi dengan pihak Multivision, di Kantor Multivision Plus, Kawasan Roxy, Jl Hasyim Ashari, Jakarta, Selasa sore (15/1/2013).

Kepada Voa-Islam, usai melakukan audiensi, Fahira menjelaskan tentang hasil pertemuannya dengan pihak Multivision yang diwakili oleh Public Relation&Promotion Aris Muda, Sutradara Hestu Saputra dan Bagian Legal Rulan Siri. Pemilik rumah produksi itu, Raam Punjabi, dikabarkan sedang ke Bangkok, Thailand. Sedangkan Hanung Bramantyo, yang berposisi sebagai supervisor sutradara, tidak dijelaskan ada dimana.

Menurut Fahira, film CTB yang belakangan diprotes oleh kalangan Minangkabau, bukan hanya oleh kalangan mudanya, tetapi juga oleh tokoh-tokoh Minang yang berada di Jakarta, ternyata tidak melalui riset yang benar mengenai adat Minang.

"Ternyata memang film ini dibuat tanpa melakukan research yang benar terhadap orang Padang, mengenai orang Padang, nilai-nilai dan simbol sosialnya," kata pengusaha yang juga Ketua Umum Saudagar Muda Mianangkabau (SMM) itu.

Untuk membuat film itu, diceritakan bahwa pihak Multivision (Hestu Saputra) hanya menemui seorang Romo (pastur) di sebuah Katedral di Pondok, Kota Padang. "Selebihnya ternyata hanya ketemu orang-orang yang tidak kompeten," lanjut Fahira.

Tentu saja, hal ini sangat disayangkan. Menurut Fahira, mestinya sebelum film itu dibuat, Hanung dan Hestu melakukan dulu riset secara utuh dan benar. Sehingga tidak berakibat pada penghinaan terhadap Minang dan Islam. "Tetapi penghinaan itu terjadi dan dirasakan oleh masyarakat Minangkabau dan Islam karena mereka tidak mau mendalami adat Minangkabau yang benar," tandasnya.

Fahira sendiri menduga film CTB ini merupakan sebuah grand design untuk merusak moral bangsa.

Untuk mendalami riset sebelum film itu dibuat, minimal temui dulu Buya H. Mas'oed Abidin. Adapun Buya H. Mas'oed Abidin adalah seorang ulama yang sangat mengerti adat #Minangkabau & sering dijadikan narasumber tentang adat istiadat Minangkabau.

Kedua, yang harusnya ditemui Hestu dan Hanung adalah Ketua LKAAM (Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau). Ketiga, Azmi Dt. Bagindo. Beliau adalah Sekretaris Umum dari Lembaga Adat & Kebudayaan Minangkabau yang ada di Jakarta.

Fahira juga menyarankan supaya Hestu dan Hanung menemui budayawan Taufik Ismail. Taufik sendiri selama ini dikenal sangat menentang film-film karya Hanung yang dikenal liberal dan menentang Islam. Desastian