PERISTIWA salah tangkap terhadap
umat Islam di Poso dengan alasan “teroris” adalah satu dari sekian banyak
kezaliman dan penyalahgunaan kuasa dan wewenang yang telah dan akan berlaku di
negara ini.
Negara Barat dan yayasan yang
didanai oleh mereka, bahkan tidak akan pernah bersuara bila dibandingkan dengan
jika perkara yang sama berlaku terhadap non-Islam di negara ini.
Pemerintah Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) seharusnya dituntut karena telah gagal mengemban dan
melaksanakan amanah reformasi 1998 yang antara lain adalah penegakan supremasi
hukum,militerisasi dan perlindungan HAM.
Mengenai perlindungan HAM sendiri,
telah direalisasikan dengan membuat beberapa peraturan dan perundang-undangan
di Indonesia. Namun pelaksanaannya ditingkat eksekutif berjalan macet, walaupun
legislatif dan yudikatif cukup baik.
Di antara peraturan
Perundang-undangan itu antara lain;
Undang-Undang No. 39 tahun
1999 Tentang HAM, UU RI NO 26 /2000 Tentang Pengadilan HAM, UURI No. 5/1998
Tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyeksaan dan Perlakuan atau Penghukuman
lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia: Rencana
Aksi Nasional HAM Indonesia, UU RI No. 12 / 2005 Tentang Pengesahan Konvenan
Internasional Tentang hak-hak Sivil dan Politik, Peraturan Pemerintah RI
No. 2 / 2002 Tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi dalam
Pelanggaran HAM yang Berat, Putusan Pemerintah RI No. 2 / 2002 Tentang
Kepolisian Negara RI, Putusan Pemerintah RI No 3/2002 Tentang Kompensasi,
Restitusi dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran HAM yang Berat, UU RI
No. 27 / 2004 Tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, Yang bertujuan untuk
mempelajari masa lalu, menyampaikan pengakuan resmi kepada korban, menganjurkan
pembaharuan-pembaharuan politik, kebijakan, sistem peradilan ataupun militer
yang perlu, sehingga perlecehan HAM tersebut tidak terulang kembali,
merekomenkan reparasi tertentu bagi para korban, memahami dan mencegah
penyeksaan daripada berulang kembali, UURI No. 34/2004 Tentang Tentera Nasional
Indonesia, yang memperbaiki institusi tentera yang selama Orde Baru identik
dengan pelanggaran HAM.
Melihat banyaknya kasus arogansi,
kejahilan dan ketidaktahuan sebagian petugas keamanan negara seperti polisi dan
tentara terhadap Undang-undang di Indonesia membuat masyarakat melihat
reformasi polisi dan tentara segera wajib diberlakukan.
Hal ini sebagaimana pernah
disinggung Prof. Dr. Farouk Muhammad dan Yuddy Chrisnandi. Pertama, juga karena
jabatan sebagai polisi dan tentara hanyalah sementara sampai pensiun. Sebab
tidak ada jaminan bahwa semua keluarga mereka akan menjadi polisi dan tentara
tentunya.
Kedua pegawai negeri ini dinilai
sudah sangat meresahkan masyarakat dan kehadiran mereka nampaknya bukan lagi
menjadi sebagai pegawai negara tetapi lebih kepada menjadi alat penguasa yang
sering menindas warganegara.
Sehingga kepentingan penguasa dan
pengusaha selalu berada di atas kepentingan warganegara yang membayar gaji
mereka setiap bulannya.
Sebagian anggota polisi dan tentara,
oknum-oknumnya sering bertindak di luar wewenangnya. Kadang-kadang mereka
seperti bertindak melakukan wewenang hakim yang menjatuhkan hukuman, atau
seperti sipir penjara yang menghukum orang atau bahkan seperti preman yang
berbuat tanpa aturan.
Sudah saatnya polisi dan tentara di
negara ini ditempatkan di rel asalnya; menjaga pertahanan negara dan satu lagi
menjaga keamanan dan ketentraman negara.
Idealnya polisi itu berada di bawah
Departemen Dalam Negeri Indonesia karena memang tugas mereka adalah keamanan
dan ketentraman dalam negara.
Di berbagai Negara, polisi dan
tentara dipimpin oleh orang-orang yang ahli dibidang keilmuannya walaupun dia
tidak memiliki latar belakang kepolisian dan ketenteraan. Apalagi negara-negara
yang menerapkan wajib militer di negara mereka.
Hakikatnya, polisi dan tentara tidak
berbeda dengan pegawai negeri lainnya. Mereka sama-sama diangkat oleh negara
dan dibayar gajinya setiap bulan dan diberi fasilitas lainnya dari uang
warganegara. Polisi dan tentara bukanlah pekerja suka-rela yang tidak bergaji.
Karena itu, sudah saatnya DPR
melihat dan mengkaji bagaimana sistem organisasi dan manajemen kepolisian dan
ketentaraan di luar Negara.
Perlakukan polisi di Negeri Tetangga
Kasus di Singapura, salah satu
keberuntungan kalau bisa melihat polisi dan tentara di kawasan umum. Apalagi
petugas yang suka mencari-cari kesalahan dan memanfaatkan pakaian dinas untuk
mencari keuntungan pribadisangat hampir mustahil ditemui.
Di Malaysia Polisi berada di bawah
Kementerian Keselamatan Dalam Negeri yang kedudukannya sejajar dengan agensi
antidadah (anti Narkoba), jabatan penjara dan jabatan pertahanan awam. Jadi
bukan di bawah presiden seperti di RI saat ini.
Tentara di Malaysia sangat takut
jika berurusan dengan polisi dan akan berusaha untuk menghindarinya segala
upaya mereka. Karena mereka tahu kekuasaan Undang-undang adalah di atas
kekuasaan orang. Ini juga karena Undang-undang mengatakan bahwa tentara sebagai
petugas pertahanan yang tidak memiliki hak, wewenang dan kuasa di kalangan masyarakat
umum. Tetapi ia berada di dalam bidang kuasa polisi yang bertugas menjaga
keamanan dan ketenteraan sesuai prosedur Standard Operating Procedure (SOP) dan
Peraturan Perundang-undangan lainnya.
Dari segi istilah pula, polisi di
Malaysia dipanggil dengan sebutan petugas keamanan. Kalimat petugas sejajar
dengan petugas media, petugas kebersihan dan sebagainya. Kalimat “petugas”
membuat Polisi tidak merasa besar, arogan dan sombong. Ini tentu berlainan
dengan di Indonesia, di mana petugas keamanan sering disebut dengan istilah
“aparat” keamanan. Apalagi sebutan “anggota” yang sering meminta perlakuan
khusus dan istimewa dibandingkan yang lainnya.
Dari segi SDM pula, mayoritas polisi
dan tentara hanya memiliki latar belakang pendidikan SLTA, yang tentu saja
sangat rendah bila dibandingkan dengan SDM pegawai negeri lainnya.
Di Malaysia, pensiunan polisi dan
tentara setara dengan pensiun pegawai negeri lainnya. Dan hanya mereka yang
berpangkat Mayor ke atas yang boleh menggunakan kalimat pensiunan tentara dan
polisi pada nama mereka. Mereka disebut Major bersara, Jenderal bersara dan
sebagainya.
Selainnya disebut polis atau askar
pencen yang tidak berhak menggunakan embel-embel tentara atau polisi apa pun
lagi setelah pensiun.
Setelah pensiun biasanya mereka akan
pulang kampung bertani, atau menjadi sopir taksi, sopir bus dan pekerjaan biasa
lainnya. Ini tentu saja berbeda dengan di Indonesia yang menyebut pensiunan
polisi dan tentara sebagai purnawirawan.
Polisi dan tentara Malaysia yang
melakukan kejahatan dan tindak pidana, di dalam berbagai media dengan jelas
tetap disebut polisi atau tentara. Bukan menggunakan kalimat “oknum” seperti
yang sering berlaku di Indonesia. Sementara disaat dosen, guru, bupati, hakim
dan sebagainya melakukan kejahatan, kalimat “oknum” itu juga sangat jarang
digunakan media Indonesia.
Indonesia mengaku sebagai negara
hukum, di mana setiap orang memiliki kedudukansama di hadapan hukum. Itu pula
standart UNDP dalam mengkategorikan good governance yaitu; partisipasi,
kekuasaan hukum (rule of law), transparansi, bertanggung-jawab (responsiveness),
orientasi konsesus, persamaan (equity), efektif dan efisien (effectiviness
and efficiency), akauntabiliti dan strategik.
Terakhir, para founding fathers kita
telah sepakat mendirikan negara ini atas dasar pembagian kuasa trias politica
untuk menghindari dominasi yang akan berujung pada kezaliman dan penyalahgunaan
kuasa lainnya. Ini berarti negara ini bukan hak milik legislatif, eksekutif dan
yudikatif tetapi milik bersama seluruh warganegara.*Hidayatullah.com
Penulis berasal dari Sumatera, PhD
Student Islamic Political Science, University Malaya Kuala Lumpur, kini
peneliti HAM dan Good Governance di Indonesia