Sungguh sangat mengerikan
pembantaian yang dilakukan oleh Jenderal Benny Moerdani terhadap mereka yang
diduga sebagai penjahat, kala itu. Mereka dihabisi dengan cara yang mengenaskan,
dibunuh ditembak, dan mayatnya dikarungi, dan ada yang dibuang di tempat
keramaian.
Sekarang, seakan Jenderal Leonardus
Benyamin Moerdani hidup lagi, melakukan "petrus" (penembakan
misterius), tetapi sekarang pelakunya Densus 88, dan yang dibunuhi para
aktivis Islam, dan hanya di beri stempel sebagai teroris. Aktivis-aktivis Islam
yang berjuang dengan serius, dan ingin menegakkan hukum Allah (syariah Islam),
diberi lebel teroris, dan kemudian dibunuhi, tanpa dapat dipertanggungjawabkan
baik secara kemanusiaan maupun hukum.
Dulu, wakut zamannya rezim Orde Baru
di bawah Jenderal Soeharto, ratusan bahkan diyakini ribuan orang menjadi korban
operasi pemberantasan kejahatan atau yang dikenal operasi penembakan misterius
(PETRUS) periode 1983-1985. Namun sampai sekarang belum ada pengakuan secara
resmi dari pemerintah, termasuk Komnas HAM bahwa kasus ini merupakan
pelanggaran HAM berat.
Menurut Edwin, dari hasil penelitian Kontras memang target Petrus adalah para bromocorah alias penjahat atau residivis. Namun, banyak juga para korban merupakan pemuda dan aktivis yang selama ini menentang kebijakan rezim Soeharto. Jumlah korbannya sangat besar, ada sekitar 700an lebih. Mungkin lebih dari itu.
Dari data yang diterima, petrus berawal dari operasi penanggulangan kejahatan di Jakarta. Pada tahun 1982, Soeharto memberikan penghargaan kepada Kapolda Metro Jaya Mayjen Pol Anton Soedjarwo atas keberhasilan membongkar perampokan yang meresahkan masyarakat.
Pada Maret di tahun yang sama, di hadapan Rapim ABRI (sekarang TNI), Soeharto meminta polisi dan ABRI mengambil langkah pemberantasan yang efektif menekan angka kriminalitas. Hal yang sama diulangi Soeharto dalam pidatonya tanggal 16 Agustus 1982.
Permintaannya ini disambut oleh Pangkopkamtib Laksamana Soedomo dalam rapat koordinasi dengan Pangdam Jaya, Kapolri, Kapolda Metro Jaya dan Wagub DKI Jakarta di Markas Kodak Metro Jaya tanggal 19 Januari 1983. Dalam rapat itu diputuskan untuk melakukan Operasi Clurit di Jakarta, langkah ini kemudian diikuti oleh kepolisian dan ABRI di masing-masing kota dan provinsi lainnya.
Operasi Clurit yang notabene dengan Petrus ini memang signifikan, untuk tahun 1983 saja tercatat 532 orang tewas, 367 orang diantaranya tewas akibat luka tembakan.
Tahun 1984 ada 107 orang tewas, diantaranya 15 orang tewas ditembak. Tahun 1985 tercatat 74 orang tewas, 28 diantaranya tewas ditembak.
Menurut Edwin, dari hasil penelitian Kontras memang target Petrus adalah para bromocorah alias penjahat atau residivis. Namun, banyak juga para korban merupakan pemuda dan aktivis yang selama ini menentang kebijakan rezim Soeharto. Jumlah korbannya sangat besar, ada sekitar 700an lebih. Mungkin lebih dari itu.
Dari data yang diterima, petrus berawal dari operasi penanggulangan kejahatan di Jakarta. Pada tahun 1982, Soeharto memberikan penghargaan kepada Kapolda Metro Jaya Mayjen Pol Anton Soedjarwo atas keberhasilan membongkar perampokan yang meresahkan masyarakat.
Pada Maret di tahun yang sama, di hadapan Rapim ABRI (sekarang TNI), Soeharto meminta polisi dan ABRI mengambil langkah pemberantasan yang efektif menekan angka kriminalitas. Hal yang sama diulangi Soeharto dalam pidatonya tanggal 16 Agustus 1982.
Permintaannya ini disambut oleh Pangkopkamtib Laksamana Soedomo dalam rapat koordinasi dengan Pangdam Jaya, Kapolri, Kapolda Metro Jaya dan Wagub DKI Jakarta di Markas Kodak Metro Jaya tanggal 19 Januari 1983. Dalam rapat itu diputuskan untuk melakukan Operasi Clurit di Jakarta, langkah ini kemudian diikuti oleh kepolisian dan ABRI di masing-masing kota dan provinsi lainnya.
Operasi Clurit yang notabene dengan Petrus ini memang signifikan, untuk tahun 1983 saja tercatat 532 orang tewas, 367 orang diantaranya tewas akibat luka tembakan.
Tahun 1984 ada 107 orang tewas, diantaranya 15 orang tewas ditembak. Tahun 1985 tercatat 74 orang tewas, 28 diantaranya tewas ditembak.
Para korban petrus sendiri saat ditemukan masyarakat dalam kondisi tangan dan lehernya terikat. Kebanyakan korban juga dimasukan ke dalam karung yang ditinggal di pinggir jalan, di depan rumah, dibuang ke sungai, laut, hutan dan kebun.
Pola pengambilan para korban
kebanyakan diculik oleh orang tak dikenal dan dijemput aparat keamanan.
Tercatat ada 11 provinsi yang menerapkan petrus, seperti Jakarta, Jawa Barat,
Jawa Tengah, Jawa Timur, DIY, Lampung, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Bali,
Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur.
Sementara itu, salah satu korban petrus yang selamat, Bathi Mulyono (60),
Berkata : "Saya tidak akan memaafkan Soeharto, karena kejahatannya paling tinggi dan paling jahat dibanding kejahatan finansialnya, karena sudah menghilangkan nyawa orang" dan mempertanyakan Komnas HAM terkait perkembangan penuntasan kasus itu. Dirinya meminta agar Komnas HAM berani mengungkap kasus yang disinyalir menelan korban ribuan orang.
Sementara itu, salah satu korban petrus yang selamat, Bathi Mulyono (60),
Berkata : "Saya tidak akan memaafkan Soeharto, karena kejahatannya paling tinggi dan paling jahat dibanding kejahatan finansialnya, karena sudah menghilangkan nyawa orang" dan mempertanyakan Komnas HAM terkait perkembangan penuntasan kasus itu. Dirinya meminta agar Komnas HAM berani mengungkap kasus yang disinyalir menelan korban ribuan orang.
Bathi juga mengaku tidak akan memberikan maaf kepada Soeharto atas kasus kejahatan yang dinilai paling jahat dibandingkan kasus korupsi, KKN mantan penguasa Orde Baru tersebut.Siapa dalang Petrus sesungguhnya? Mantan Presiden Soeharto banyak dituduh menjadi pemberi perintah. Tapi Soeharto pernah menyampaikan Jenderal Benny Moerdani lah dalang petrus sesungguhnya.
"Saya pernah tanya pada Pak Harto. Bapak dituduh melanggar HAM soal petrus, yang sebenarnya bagaimana Pak? Pak Harto bilang Itu kan Benny," ujar mantan ajudan Soeharto, Mayjen Purn Issantoso saat diskusi bedah buku 'Pak Harto the untold stories' di Gramedia, Matraman. Jakarta Timur. Sabtu, (19/11/2011).
Tetapi, sejatinya Jenderal Soeharto
dan Jenderal Benny Moerdani itu, keduanya penjahat yang sangat biadab, bukan
hanya membunuhi para preman, tetapi juga membunuh umat Islam, seperti peristiwa
yang terjadi di Lampung, Tanjung Priok, Haur Koneng, dan sejumlah wilayah
lainnya. Kedua tokoh militer itu, berkomplot membunuhi umat Islam dengan
cara-cara yang keji.
Sekarang di era reformasi di bawah
kekuasaan Presiden SBY, berulang kembali era yang sangat kelam, dan penuh
dengan kebiadaban, yaitu pembantaian secara keji terhadap umat Islam,
terutama para aktivis Islam.
Pelakunya sekarang polisi, Densus
88. Para aktivis Islam hanya diberi lebel teroris, sudah dapat ditembak atau
dibunuh. Tidak pernah diklarifikasi. Apakah benar mereka ini teroris, dan
membahayakan keamanan negara.
Entah sudah berapa ribu yang
ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara, dan entah berapa banyak yang sudah
tewas. Kemarin, dalam hanya dua kali dalam 24 jam, 11 orang yang terduga
teroris tewas ditembak oleh Densus 88.
Sejatinya, mereka yang dituduh
teroris itu, hanya korban stigma, dan kemudian mendapatkan covered
(peliputan) media yang luas, terutama media-media kristen dan sekuler yang
memang, mereka ini menjadi bagian dari operasi yang dijalankan Densus 88.
Semuanya tujuan hanya satu,
mengeleminir, aktivis Islam, yang ingin menegakkan nilai-nilai dan prinsip
Islam. Begitu mudah para aktivis Islam itu dibunuh dan dihilangkan nyawanya.
Sungguh ini sebuah kejahatan yang luar biasa di era reformasi.
Anehnya, semua bungkam, tak ada
yang merasa keberatan terhadap aktivitas Densus 88, yang sudah membuat korban
begitu banyak. Mereka ditangkap disiksa, dipenjarakan, dan sebagian dibunuh
dengan cara yang sangat keji.
Tindakan Soeharto dan Benny Moerdani
yang era Orde Baru dikutuk, dan menjadi pemicu terjadinya perubahan politik,
dan penggulingan terhadap rezim Soeharto, sekarang ini diulangi lagi. Sebuah
tindakan yang sangat keji penghilangan nyawa manusia, apapun dasar alasannya.
Apalagi mereka yang ditembak itu, baru diduga teroris, dan belum dibuktikan
secara hukum. af/h