Kamis, 10 Januari 2013

Hakim Mahkamah Konstitusi: Perda Syariah Tidak Masalah


Meski Direktur the Wahid Institute, Yenni Wahid, menganggap Perda syariah menimbulkan ekses negatif dan diskriminasi, namun pandangan lain diungkapkan oleh Hakim Mahkamah Konstitusi, Dr. Hamdan Zoelva.

Menurut Hamdan, Perda yang disebut sebagai Perda Syariah itu tidak masalah dibuat sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan peraturan perundang-undangan di atasnya.


“Sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku silahkan saja, mungkin daerah itu ada kebijaksanaan sendiri, itu wise, itulah inti dari kebhinekaan kita, yang paling penting adalah tidak berbenturan di atasnya, alat ukurnya itu saja selama tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya silahkan saja kita wise menilai”, ujar pria kelahiran Bima ini kepada hidayatullah.com, seusai mengisi acara seminar “Kekerasan Atas Nama Agama dan Masa Depan Toleransi di Indonesia”, di Aula lantai dasar Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Selasa (08/01/2012).

Sebagai seorang pakar Hukum Tata Negara yang sudah berpengalaman, Hamdan mengaku tidak masalah dengan Perda-perda tersebut.

“Artinya yang khas di daerah-daerah itu silahkan saja tidak masalah, boleh, tidak ada masalah,” ujarnya.

Ia mengaku sudah mengkaji Perda-perda yang dianggap diskriminatif oleh the Wahid Institute tersebut.

“Saya sudah mengkaji Perda-perda itu, hampir seluruhnya itu tidak ada Perda Syariah, yang ada itu mengenai ketertiban umum seperti larangan perizinan minum minuman keras, nggak menyebut Perda Syariah”, ujarnya.
Mengenai Perda-perda yang dinilai diskriminatif itu, ia menilai Perda-perda tersebut, seperti peraturan baca tulis al-Qur’an akan menjadi diskriminatif apabila diterapkan di wilayah yang tidak tepat.


“Tentu, kalau itu berlaku di Bali itu menjadi diskriminatif, tapi kalau di Aceh silahkan saja, itu kan kekhasannya, yang jadi pertanyaannya apakah perempuan di sana menolak? Tidak kan?," ujarnya.*