Meski Direktur the Wahid Institute,
Yenni Wahid, menganggap Perda syariah menimbulkan ekses negatif dan
diskriminasi, namun pandangan lain diungkapkan oleh Hakim Mahkamah Konstitusi,
Dr. Hamdan Zoelva.
Menurut Hamdan, Perda yang disebut
sebagai Perda Syariah itu tidak masalah dibuat sepanjang tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan peraturan
perundang-undangan di atasnya.
“Sepanjang tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku silahkan saja, mungkin daerah itu ada
kebijaksanaan sendiri, itu wise, itulah inti dari kebhinekaan kita, yang paling
penting adalah tidak berbenturan di atasnya, alat ukurnya itu saja selama tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya silahkan saja kita
wise menilai”, ujar pria kelahiran Bima ini kepada hidayatullah.com,
seusai mengisi acara seminar “Kekerasan Atas Nama Agama dan Masa Depan
Toleransi di Indonesia”, di Aula lantai dasar Mahkamah Konstitusi, Jakarta
Pusat, Selasa (08/01/2012).
Sebagai seorang pakar Hukum Tata
Negara yang sudah berpengalaman, Hamdan mengaku tidak masalah dengan
Perda-perda tersebut.
“Artinya yang khas di daerah-daerah
itu silahkan saja tidak masalah, boleh, tidak ada masalah,” ujarnya.
Ia mengaku sudah mengkaji Perda-perda
yang dianggap diskriminatif oleh the Wahid Institute tersebut.
“Saya sudah mengkaji Perda-perda
itu, hampir seluruhnya itu tidak ada Perda Syariah, yang ada itu mengenai
ketertiban umum seperti larangan perizinan minum minuman keras, nggak menyebut
Perda Syariah”, ujarnya.
Mengenai Perda-perda yang dinilai
diskriminatif itu, ia menilai Perda-perda tersebut, seperti peraturan baca
tulis al-Qur’an akan menjadi diskriminatif apabila diterapkan di wilayah yang
tidak tepat.
“Tentu, kalau itu berlaku di Bali itu
menjadi diskriminatif, tapi kalau di Aceh silahkan saja, itu kan kekhasannya,
yang jadi pertanyaannya apakah perempuan di sana menolak? Tidak kan?,"
ujarnya.*