Namanya tak pernah terdengar
sebelumnya. Dia adalah pengembara. Orang yang bergelisah, sebagaimana ketika
Nabi Ibrahim gelisah tentang Tuhannya. Dari Persia, dia berkelana mencari
keyakinan yang tepat baginya dan bagi hatinya dari satu tempat ke tempat yang
lainnya. Salman Al-Farisi. Pengembara yang memiliki catatan sejarah dalam
kehidupan penuh hikmah bersama Rasulullah, sahabat, dan perjuangan mereka.
Dia berasal dari Persia. Sebagaimana
orang-orang Persia pada umumnya, Salman Al-Farisi merupakan penganut agama
Majusi semenjak lahir. Pergolakan batin yang dia alami ketika dia melihat
sekumpulan Nasrani yang tengah beribadah. Salman kagum kepada mereka, lantas
kemudian menceritakan kepada ayahnya. Ayahnya, yang khawatir akan keimanan
Salman, kemudian mengikat kedua kaki Salman. Gejolak batin Salman tidak meredam
karenanya, justru semakin hebat. Dengan beberapa cara, Salman kemudian
melepaskan belenggu kakinya lalu bergabung bersama kelompok Nasrani tersebut.
Setelah bersama keyakinan Nasrani,
Salman mengalami beberapa kejadian. Salman tinggal bersama seorang Uskup yang
kemudian meninggal. Uskup yang meninggal tersebut kemudian dicari penggantinya.
Didapatkanlah seorang yang Zuhud di negeri tersebut. Salman mengunjunginya,
sebagai bukti kesungguhan belajarnya, untuk mendapatkan wasiat baginya. Sang Uskup
pengganti memberitahukan Salman bahwa Nasrani yang hari ini tidak ditegakkan
sebagaimana Nasrani aslinya.
Sang Uskup kemudian memberi alamat
seorang sahabatnya yang dia anggap masih memegang teguh Nasrani yang asli.
Sahabat Uskup tersebut ada di Irak. Akhirnya Salman pergi ke Irak dan tinggal
bersama sahabat si Uskup tersebut. Selama tinggal bersama sahabat si Uskup
tersebut, Salman mendapatkan banyak kisah dan hikmah. Sang orang salih tersebut
kemudian memberi kabar Salman seorang Salih di Turki, menjelang kematiannya.
Kabarnya ada kebenaran yang luar biasa bersama lelaki tersebut.
Salman pergi ke Turki. Disana Salman
menemui orang tersebut dan lagi-lagi menjalani keseharian yang penuh hikmah dan
makna. Lagi, menjelang kematian si orang salih tersebut, Salman mendapatkan
wasiat darinya. Kali ini agak berbeda, orang salih tersebut memberikan kabar
tentang Nabi terakhir yang akan muncul di Jazirah Arab. Nabi tersebut akan
membawa risalah Ibrahim. Nabi tersebut akan turun di daerah sekitar pohon-pohon
kurma, atau di Madinah.
Salman, lagi-lagi menunjukkan
keteguhan niatnya untuk mencari kebenaran. Salman bertemu dengan kabilah
pedagang dan meminta mereka mengantarkannya ke Jazirah Arab. Pedagang tersebut
setuju, namun kemudian mengkhianatinya. Salman dijual sebagai budak kepada
seorang Yahudi. Disinilah pertolongan Allah kemudian datang. Salman, dibawa
oleh keluarga dari Yahudi tersebut ke Madinah. Madinah saat itu memang menjadi
salah satu titik pemukiman Yahudi.
Suatu hari, keluarga Yahudi di
Madinah yang menjadi tuannya Salman menceritakan kabar tentang seorang pemuda
dari Makkah yang membawa ajaran baru. Ajaran yang kabarnya akan menguasai
Madinah, cepat atau lambat. Salman tergetar. Ia merasa sudah dekat dengan apa
yang menjadi cita-citanya: bersama kebenaran. Saat gurunya di Turki akan
meninggal, gurunya tersebut memberikan ciri-ciri dari Nabi terakhir tersebut :
memakan hadiah dan tidak memakan sedekah, serta memiliki ciri-ciri di kedua
pundaknya.
Salman kemudian mencari sosok
bernama Muhammad tersebut. Dia kemudian memberikan Muhammad sesuatu, yang dia
sebut sebagai sedekah. Kemudian sang Rasul menyerukan kepada sahabat-sahabatnya
untuk memakan apa yang diberikan Salman, sedang beliau tidak memakannya. Salman
tertegun. Tapi ia masih ingin mendapatkan kebenaran. Salman kemudian datang
lagi lalu memberikan hadiah kepada Muhammad. Rasulullah kemudian memakannya dan
mengajak para sahabat untuk turut makan bersamanya. Salman semakin tergetar.
Tidak cukup. Salman kemudian
menghampiri Rasulullah ketika ada salah seorang sahabatnya yang meninggal.
Salman mencari bukti kenabian di kedua pundak beliau, dan mendapatkannya.
Tangisnya tak tertahan. Salman mencium Rasulullah lalu bersyahadat di depannya.
Ya, dialah Salman, sang pencari kebenaran.
Ikhtiarnya mendapatkan kebenaran
tentunya dapat menjadi renungan bagi kita semua, betapa kita hari ini sudah
jelas mendapatkan satu kebenaran di depan mata kita dengan mudah. Kita tidak
perlu berjalan kaki, merantau sejauh dari Persia ke Madinah. Melalui berbagai
rintangan dari sekeliling kita untuk mengakui kebenaran yang sudah ada di depan
mata kita. Ya, semoga semua kisah ini menjadi sarana tafakur yang tepat bagi
kita semua. Aamiin.
Oleh:
Muhammad Fathan Mubina, Depok
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia