Selasa, 29 Januari 2013

Salman Al-Farisi, Sang Pencari Kebenaran


Namanya tak pernah terdengar sebelumnya. Dia adalah pengembara. Orang yang bergelisah, sebagaimana ketika Nabi Ibrahim gelisah tentang Tuhannya. Dari Persia, dia berkelana mencari keyakinan yang tepat baginya dan bagi hatinya dari satu tempat ke tempat yang lainnya. Salman Al-Farisi. Pengembara yang memiliki catatan sejarah dalam kehidupan penuh hikmah bersama Rasulullah, sahabat, dan perjuangan mereka.


Dia berasal dari Persia. Sebagaimana orang-orang Persia pada umumnya, Salman Al-Farisi merupakan penganut agama Majusi semenjak lahir. Pergolakan batin yang dia alami ketika dia melihat sekumpulan Nasrani yang tengah beribadah. Salman kagum kepada mereka, lantas kemudian menceritakan kepada ayahnya. Ayahnya, yang khawatir akan keimanan Salman, kemudian mengikat kedua kaki Salman. Gejolak batin Salman tidak meredam karenanya, justru semakin hebat. Dengan beberapa cara, Salman kemudian melepaskan belenggu kakinya lalu bergabung bersama kelompok Nasrani tersebut.

Setelah bersama keyakinan Nasrani, Salman mengalami beberapa kejadian. Salman tinggal bersama seorang Uskup yang kemudian meninggal. Uskup yang meninggal tersebut kemudian dicari penggantinya. Didapatkanlah seorang yang Zuhud di negeri tersebut. Salman mengunjunginya, sebagai bukti kesungguhan belajarnya, untuk mendapatkan wasiat baginya. Sang Uskup pengganti memberitahukan Salman bahwa Nasrani yang hari ini tidak ditegakkan sebagaimana Nasrani aslinya.

Sang Uskup kemudian memberi alamat seorang sahabatnya yang dia anggap masih memegang teguh Nasrani yang asli. Sahabat Uskup tersebut ada di Irak. Akhirnya Salman pergi ke Irak dan tinggal bersama sahabat si Uskup tersebut. Selama tinggal bersama sahabat si Uskup tersebut, Salman mendapatkan banyak kisah dan hikmah. Sang orang salih tersebut kemudian memberi kabar Salman seorang Salih di Turki, menjelang kematiannya. Kabarnya ada kebenaran yang luar biasa bersama lelaki tersebut.

Salman pergi ke Turki. Disana Salman menemui orang tersebut dan lagi-lagi menjalani keseharian yang penuh hikmah dan makna. Lagi, menjelang kematian si orang salih tersebut, Salman mendapatkan wasiat darinya. Kali ini agak berbeda, orang salih tersebut memberikan kabar tentang Nabi terakhir yang akan muncul di Jazirah Arab. Nabi tersebut akan membawa risalah Ibrahim. Nabi tersebut akan turun di daerah sekitar pohon-pohon kurma, atau di Madinah.

Salman, lagi-lagi menunjukkan keteguhan niatnya untuk mencari kebenaran. Salman bertemu dengan kabilah pedagang dan meminta mereka mengantarkannya ke Jazirah Arab. Pedagang tersebut setuju, namun kemudian mengkhianatinya. Salman dijual sebagai budak kepada seorang Yahudi. Disinilah pertolongan Allah kemudian datang. Salman, dibawa oleh keluarga dari Yahudi tersebut ke Madinah. Madinah saat itu memang menjadi salah satu titik pemukiman Yahudi.
Suatu hari, keluarga Yahudi di Madinah yang menjadi tuannya Salman menceritakan kabar tentang seorang pemuda dari Makkah yang membawa ajaran baru. Ajaran yang kabarnya akan menguasai Madinah, cepat atau lambat. Salman tergetar. Ia merasa sudah dekat dengan apa yang menjadi cita-citanya: bersama kebenaran. Saat gurunya di Turki akan meninggal, gurunya tersebut memberikan ciri-ciri dari Nabi terakhir tersebut : memakan hadiah dan tidak memakan sedekah, serta memiliki ciri-ciri di kedua pundaknya.

Salman kemudian mencari sosok bernama Muhammad tersebut. Dia kemudian memberikan Muhammad sesuatu, yang dia sebut sebagai sedekah. Kemudian sang Rasul menyerukan kepada sahabat-sahabatnya untuk memakan apa yang diberikan Salman, sedang beliau tidak memakannya. Salman tertegun. Tapi ia masih ingin mendapatkan kebenaran. Salman kemudian datang lagi lalu memberikan hadiah kepada Muhammad. Rasulullah kemudian memakannya dan mengajak para sahabat untuk turut makan bersamanya. Salman semakin tergetar.

Tidak cukup. Salman kemudian menghampiri Rasulullah ketika ada salah seorang sahabatnya yang meninggal. Salman mencari bukti kenabian di kedua pundak beliau, dan mendapatkannya. Tangisnya tak tertahan. Salman mencium Rasulullah lalu bersyahadat di depannya. Ya, dialah Salman, sang pencari kebenaran.

Ikhtiarnya mendapatkan kebenaran tentunya dapat menjadi renungan bagi kita semua, betapa kita hari ini sudah jelas mendapatkan satu kebenaran di depan mata kita dengan mudah. Kita tidak perlu berjalan kaki, merantau sejauh dari Persia ke Madinah. Melalui berbagai rintangan dari sekeliling kita untuk mengakui kebenaran yang sudah ada di depan mata kita. Ya, semoga semua kisah ini menjadi sarana tafakur yang tepat bagi kita semua. Aamiin.

Oleh: Muhammad Fathan Mubina, Depok
Universitas Indonesia