Senin, 07 Januari 2013

Minimarket Anti-Jilbab?


http://i2.wp.com/islampos.com/wp-content/uploads/2012/10/discrimination.jpg?resize=300%2C288SEINGAT saya, sudah lama—sekitar tiga tahun atau lewat—terakhir kali mendapati pegawai perempuan sebuah jaringan minimarket berjilbab. Baru tersadar belakangan ketika saya sering jumpai pegawai perempuan yang di foto ID mereka di dada masih mengalungkan jilbab rapat, tapi si empunya kini tidak menutup kepala sama sekali. Ya, saya tersentak dari hal ini. Tidak pernah saya dapati lagi pegawai perempuan berjilbab di jaringan minimarket itu.


Saya tidak tahu apakah ini berlaku di kota saya, Yogyakarta, sajakah ataukah berlaku di seluruh tempat yang ada jaringan minimarket tadi. Seingat saya, ketika di luar kota, dari sampel yang saya pernah dapati, hasilnya tidak berbeda. Menjadi menarik di sini, kalau di foto ID mereka diperbolehkan tapi di penampilan aslinya tidak. Apakah dari ratusan pegawai perempuan Muslim semuanya berpikiran sama untuk bersikap praktis, yakni melepas jilbab di ruang kerja dan menggunakannya kembali di rumah?

Saya ragu. Kalau di Yogyakarta, mungkin saja demikian, walaupun patut dikritisi adanya kekompakan tersebut. Hanya saja, fakta berikutnya menarik disaksamai. Saya tahu, orang Yogyakarta yang berjilbab terbagi dua; ada yang karena dasar iman, ada yang masuk kategori mengikuti ritme di lingkungan saja. Kategori pertama, aman. Kalau diminta memilih bekerja tapi melepas jilbab ataukah tidak bekerja sama sekali tapi silakan berjilbab dan cari pekerjaan di tempat lain, ini baka ditempuh perempuan Muslim di kategori pertama.

Sementara bagi perempuan kategori kedua, mereka bisa dengan sesuka hati dan enteng lepas-pasang jilbab. Pragmatis saja sesuai tujuan dan motif yang ditempuhkan dalam rentang pendek. Ketika aturan kerja membolehkan (baca: mengharuskan) berjilbab, dia pakai. Kalau kantor melarang, dia lepas. Tidak ada berat di hati selain demi mempertahankan periuk nasi.

Saya dapati beberapa kali, pegawai Muslimah di minimarket tadi rata-rata jilbab di fotonya cukup lebar. Bukan jilbab praktis ala kadarnya. Saya ragu kalau mereka sekadar untuk foto mau repot berjilbab (lebar pula!), tapi di aktivitasnya nanti sama sekali tidak dipakai. Ingat, ini tipikal Yogya yang pragmatis dan tidak mau repot. Artinya, menjadi tanda tanya mengapa foto dan orangnya kini menjadi beda? Dan itu berlaku di banyak (semua?) tempat di jaringan minimarket tadi.

Seketika pikiran saya meluncur ke jaringan minimarket lainnya, pesaing minimarket pertama di atas. Bila di minimarket pertama kita amat susah mendapati pegawai perempuan berjilbab, di minimarket kedua ini sebaliknya: kita amat susah mendapati pegawai perempuan tidak berjilbab. Dua minimarket ini selalu bersaing di mana-mana.

Saya cemas minimarket yang diindikasikan tidak membolehkan pegawai perempuannya berjilbab itu semata demi pencitraan bisnis, betapapun putusan itu mendiskriminasi hak pegawai dalam menjalankan keyakinannya. Semua ini dikorbankan semata agar mereka harus beda dengan pesaing. Bila pesaing mencirikan jilbab, di tempatnya harus membuka sama sekali. Dus, jadilah perempuan baik-baik yang semula berjilbab rapi dan lebar kini ‘terpaksa’ ikut sistem sang pemilik.

Yusuf Maulana

http://islampos.com/minimarket-anti-jilbab-21550/