SEINGAT
saya, sudah lama—sekitar tiga tahun atau lewat—terakhir kali mendapati
pegawai perempuan sebuah jaringan minimarket berjilbab. Baru tersadar
belakangan ketika saya sering jumpai pegawai perempuan yang di foto ID mereka
di dada masih mengalungkan jilbab rapat, tapi si empunya kini tidak menutup
kepala sama sekali. Ya, saya tersentak dari hal ini. Tidak pernah saya dapati
lagi pegawai perempuan berjilbab di jaringan minimarket itu.
Saya tidak tahu apakah ini berlaku
di kota saya, Yogyakarta, sajakah ataukah berlaku di seluruh tempat yang ada
jaringan minimarket tadi. Seingat saya, ketika di luar kota, dari sampel yang
saya pernah dapati, hasilnya tidak berbeda. Menjadi menarik di sini, kalau di
foto ID mereka diperbolehkan tapi di penampilan aslinya tidak. Apakah dari
ratusan pegawai perempuan Muslim semuanya berpikiran sama untuk bersikap
praktis, yakni melepas jilbab di ruang kerja dan menggunakannya kembali di
rumah?
Saya ragu. Kalau di Yogyakarta,
mungkin saja demikian, walaupun patut dikritisi adanya kekompakan tersebut.
Hanya saja, fakta berikutnya menarik disaksamai. Saya tahu, orang Yogyakarta
yang berjilbab terbagi dua; ada yang karena dasar iman, ada yang masuk kategori
mengikuti ritme di lingkungan saja. Kategori pertama, aman. Kalau diminta
memilih bekerja tapi melepas jilbab ataukah tidak bekerja sama sekali tapi
silakan berjilbab dan cari pekerjaan di tempat lain, ini baka ditempuh
perempuan Muslim di kategori pertama.
Sementara bagi perempuan kategori
kedua, mereka bisa dengan sesuka hati dan enteng lepas-pasang jilbab. Pragmatis
saja sesuai tujuan dan motif yang ditempuhkan dalam rentang pendek. Ketika
aturan kerja membolehkan (baca: mengharuskan) berjilbab, dia pakai. Kalau
kantor melarang, dia lepas. Tidak ada berat di hati selain demi mempertahankan
periuk nasi.
Saya dapati beberapa kali, pegawai
Muslimah di minimarket tadi rata-rata jilbab di fotonya cukup lebar. Bukan
jilbab praktis ala kadarnya. Saya ragu kalau mereka sekadar untuk foto mau
repot berjilbab (lebar pula!), tapi di aktivitasnya nanti sama sekali tidak
dipakai. Ingat, ini tipikal Yogya yang pragmatis dan tidak mau repot. Artinya,
menjadi tanda tanya mengapa foto dan orangnya kini menjadi beda? Dan itu
berlaku di banyak (semua?) tempat di jaringan minimarket tadi.
Seketika pikiran saya meluncur ke
jaringan minimarket lainnya, pesaing minimarket pertama di atas. Bila di
minimarket pertama kita amat susah mendapati pegawai perempuan berjilbab, di
minimarket kedua ini sebaliknya: kita amat susah mendapati pegawai perempuan
tidak berjilbab. Dua minimarket ini selalu bersaing di mana-mana.
Saya cemas minimarket yang
diindikasikan tidak membolehkan pegawai perempuannya berjilbab itu semata demi
pencitraan bisnis, betapapun putusan itu mendiskriminasi hak pegawai dalam
menjalankan keyakinannya. Semua ini dikorbankan semata agar mereka harus beda
dengan pesaing. Bila pesaing mencirikan jilbab, di tempatnya harus membuka sama
sekali. Dus, jadilah perempuan baik-baik yang semula berjilbab rapi dan lebar
kini ‘terpaksa’ ikut sistem sang pemilik.
Yusuf Maulana
http://islampos.com/minimarket-anti-jilbab-21550/