Hari ini, saya
hadiahkan apresiasi tertinggi kepada seorang mahasiswi. Ia tampil sangat elegan
menghadapi lima dosen
penguji. Ia pertahankan karya ilimiahnya dengan penuh spirit, tiada ‘ketakutan’
yang tergambar di wajahnya. Iapun tak segan-segan minta pertanyaan diulangi
kepada seorang profesor. “Maaf Prof. Apa pertanyaannya boleh diulangi?”
Tiada perlulah
saya ceritakan bagaimana debat ilmiah itu dimulai. Saya terkesima saat sang
professor berucap tegas: “Mestinya Anda merujuk ke teori yang ada”. Dengan
sigap sang kandidat menjawab: “Saya jenuh dengan teori orang lain Prof. Saya
justru ingin membuat teori”. Kian terkesima saya mendengar langsung
sanggahan mahasiswiku ini.
Saya amati,
mahasiswi ini sangat ekspresif. Ia bangga ungkapkan apa yang dia inginkan.
Calon sarjana ini sungguh memukau di mata saya. Pertama kalinya, saya sebagai
penguji kagum dengan anak ini. Saya perhatikan, tak ada ucapan berlebihan dan
subyektif akan jawaban-jawaban mahasiswi ini.
Hari ini
cita-cita saya tergapai, lama sudah saya rindukan sebuah ujian skripsi
berlangsung debat ilmiah. Bukan sebuah formalitas yang membuat suasana ujian
jauh dari atmosfir akademik. Skripsi adalah buatan murni seorang mahasiswa
akhir. Saya sangat percaya, mahasiswi ini membuat skripsi dengan penuh naluri
keilmuwan, roh skeptisnya terhadap sebuah perkembangan keilmuan benar-benar
tampak dari hasil karya dalam penguasaannya. Potret ini sangat berbeda ekstrim
jika seorang mahasiswa akhir yang skripsinya ‘dibuatkan’ orang lain. Wajahnya
penuh ketegangan, ketakutan, dan terhantui rasa non akademis dan rasa bersalah.
Hari ini,
durasi ujian berlangsung alot dan menyita waktu dua jam. Bukan basa-basi,
perdebatan benar-benar sarat keilmiahan. Bahkan ada penguji yang dibuatnya
‘grogi’, karena pemandangan ilmiah ini pertama terjadi di kampus ini. Apalagi
setingkat ujian skripsi, yang identik dengan manut-manutnya seorang kandidat.
Angguk-angguk kepala bukan sepenuhnya menunjukkan sebuah kesopanan tetapi tak
lebih dari sebuah rasa takut ketidaklulusan alias UJIAN ULANG.
Saya sering
terheran-heran, seorang kandidat di ujian thesis malah tak sanggup
mempertahankan karya ilmiahnya, padahal yang lebih menguasai thesis buatannya
itu adalah dirinya sendiri. Bukan dosen penguji.
Ketakutan
apakah yang sebetulnya di diri setiap kandidat?. Sungguh saya sayangkan sebab
ajang ujian skripsi, thesis, bahkan disertasi kadang menjadi momok non teknis,
terjatuh bukan lantaran nuansa akademik tapi karena faktor lain yang di luar
marka-marka akademik.
Di akhir ujian
skripsi sang mahasiswi ini, kami berlima sebagai penguji melakukan rapat
penentuan kelulusan/ketidaklulusan. Dimintalah sang mahasiswi ini berdiri di
depan meja ujian. Sang profesor menyampaikan rekapitulasi hasil ujian, penuh
ketegasan profesor ini membacanya: “Saudari kandidat. Setelah memperhatikan
proses ujian, nilai dari setiap penguji serta sikap Saudari selama ujian
berlangsung. Maka dengan ini, Saudari dinyatakan tidak lulus”.
Pembacaan hasil
keputusan ini tak membuat sang kandidat goyah, sedih, apalagi menangis. Ia
malah berucap: “Terima kasih Prof. Saya tidak terima ketidaklulusan ini. Saya
mohon tunjukkan dimana kesalahan jawaban saya sehingga nilai saya rendah. Jika
terbukti secara ilmiah, jawaban saya salah. Saya terima hasil keputusan
ketidaklulusan saya”.
Sang profesor
diam sejenak, beliau lalu berkata: “Andai semua mahasiswaku seperti Anda,
sayalah orang yang paling bangga di dunia ini. Anda benar-benar memperjuangkan
hak-hak akademik Anda. Budaya debat ilmiah dari Anda membuat saya kagum. Kami
nyatakan Anda LULUS dengan Cum Laude”.
Sumber http://edukasi.kompasiana.com