Rabu, 23 Mei 2012

Fenomena Lady Gaga Diantara Keringnya Keteladanan Dan Krisis Jati Diri Bangsa


Pada Rabu malam lalu (16/5/2012) sebuah stasiun televisi menyiarkan perdebatan tentang kedatangan penyanyi kontroversial, Lady Gaga dan lesbian Irshad Manji ke Indonesia. Selain yang kontra, terdapat seorang tokoh tidak mempersoalkan dua wanita kontroversial itu datang ke Indonesia menemui penggemarnya. Alasannya, iman umat sudah kuat, sehingga seribu wanita model Lady Gaga tidak akan menggoyahkan iman umat.


Di lain persoalan siapa Lady Gaga itu sehingga mendapat resistensi di sejumlah Negara (China Korea Selatan dan Filipina) — termasuk Indonesia — hal penting lainnya adalah lemahnya keilmuan para tokoh.

Pernyataan seorang tokoh bahwa tidak perlu lagi mempersoalkan kemungkaran itu datang — lebih-lebih tokoh agama — adalah kemungkaran juga. Bahkan derajat mafsadatnya juga besar. Lebih dari itu, jika seorang cendekiawan muslim yang melindungi kemungkaran — misalnya –maka hal itu jauh lebih dikhawatirkan dari kemungkaran itu sendiri.

Oleh sebab itu, menurut imam al-Ghazali, seorang “ulama” yang fasik lebih berbahaya daripada seorang awam yang maksiat. “Ulama” yang fasik disebut dengan “ulama jahat” (ulama’ suu’). Cirinya, menjual ilmu dengan harta. Parameternya bukan ilmu, tapi duniawi – kedudukan (jaah), harta (maal), dan kebanggaan diri. Jika ada kemungkaran, dibiarkan – demi kepentingan sesaat.

Sesungguhnya ini problem ilmu. Ilmunya keliru. Jika ilmunya keliru, sesungguhnya seorang tokoh belum layak disebut ulama’. Karena ia salah memahami konsep dakwah. Dakwah adalah syi’ar setiap Nabi. Dalam dakwah ada dua poin penting; amar ma’ruf (memerintahkan yang baik) dan nahi munkar (mencegah kejahatan).
Dakwah itu adalah seruan dan ajakan bukan pemaksaan (QS. Al-Baqarah: 256).

Berkenaan dengan itu, Allah berfirman : “Hendaklah di antar kalian ada segolongan umat yang memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran. Dan Merekalah termasuk orang-orang yang beruntung” (QS. Ali Imran: 104).

Ayat tersebut merupakan inti dalam menjalankan agama. Sebuah masyarakat akan rusak, jika meninggalkan konsep dakwah ini, rusak peradabannya, menjadi peradaban badlawah (primitif), tidak beretika dan beradab. Lebih ironis lagi jika diucapkan oleh seorang yang disebut ulama’. Maka kata imam al-Ghazali kerusakan masyarakat dikarenakan rusaknya ulama’.

Kita sesungguhnya mendambakan seorang suri tauladan dari ulama’. Secara naluriah, kata al-Ghazali, seorang manusia membutuhkan seorang yang bisa dijadikan teladan. Ketika nabi dan para sahabatnya telah tiada, maka penggantinya adalah ulama’. Jika penggantinya juga tidak dapat ditemukan, maka umat akan mudah terombang-ambing.

Atau jika pengganti para nabi tidak mengajarkan etika, maka umat akan mudah digoyahkan imannya. Mudah dipengaruhi oleh serangan pemikiran yang hegemonik.

Kenapa kita masih memperdebatkan sosok Ladi Gaga — yang sudah maklum kerusakannya –, maka sesungguhnya kita telah berada dalam kondisi krisis. Apalagi sejumlah tokoh mendukungnya. Kita berada dalam krisis teladan, krisis ulama’ dan krisis ilmu.

Akibat dari krisis itu, masyarakat menjadi tidak terdidik. Cirinya, mereka tidak lagi menghargai ulama’. Anti ilmu dan tidak lagi menghargai ilmu. Yang dihargai adalah hal-hal yang memberi kemanfaatan duniawi. Tengoklah, jumlah masa yang menghadiri konsep musik lebih banyak daripada yang menghadiri majelis ilmu.

Tiket konser Lady Gaga dihargai antara 500 rib hingga 4 juta, namun harga yang ‘melangit’ itu tidak menghalangi penggemarnya untuk merogoh kocek. Namun, betapa beratnya pemuda kita untuk membeli buku, meski dengan harga 50 ribu. Mereka lebih cinta konser daripada mengkaji ilmu.

Fatwa para ulama’ didengar untuk dicaci dan dicemooh. Saat Majelis Ulama’ Indonesia (MUI) dan Majelis Intelektual dan Ulama’ Muda Indonesia (MIUMI) mengeluarkan peringatan agar konser-konser yang mengumbar pornoaksi ditolak, sebagian masyarakat justru mencemoohnya. Argumentasi seolah-olah akademik, padahal tidak rasional.

Sebuah sikap yang tidak beradab. Seorang yang berilmu tapi dicemooh. Justru budaya hura-hura yang dijunjung tinggi atas nama Hak Asasi Manusia (HAM).

Inilah yang disebut fenomena anti-otoritas. Ketika para pemuka agamanya mengabaikan konsep dakwah, pada saat yang lain para ulama yang istiqamah ditolak. Tidak ada kebebasan yang tak terbatas. Kebebasan itu dibatasi oleh adab, syari’ah dan etika. Ketika kebebasan itu melewati tiga hal tadi maka kebebasan berubah wajah menjadi kenistaan. Kebebasan yang tak terbatas sesungguhnya tidak rasional. Itu hanya berlaku untuk masyarakat yang primitif tidak memiliki keadaban.

Fenomena anto-otoritas adalah salah satu tanda bangkitnya kaum postmodernisme. Cirinya menolak kemapanan hukum dan membiarkan realitas sebebas-bebasnya. Ilmu dirusak dari fenomena ini.

Maka yang haru dilakukan adalah membangkitkan kembali budaya ilmu. Tapi pembenahan ilmu harus didahulukan. Komunitas-komunitas pengkaji ilmu diperbanyak. Komunitas inilah yang menjadi ‘imun’ terhadap pemikiran anti-otoritas. Untuk membentuk pribadi yang cinta ilmu, hati, jiwa dan pemikiran harus dibenahi. Dibersihkan dari ego kelompok, takabbur, hasud dan cinta dunia. Inilah modal seorang muslim menjadi beradab, berilmu dan beretika. Oleh sebab itu, sudah semestinya umat Islam ini berwajah intelektual []. Wallahu a’lam bishowab

Oleh: Kholili Hasib – Alumni Pesantren Gontor
Red : Catalist Fist