Kampung Jawa dan gamelannya
jadi atraksi Pameran Semesta Paris. Menginpirasi musikus dunia. Sebuah pameran akbar digelar di Kota Paris, Prancis,
6 Mei sampai 31 Oktober 1889. Exposition Universelle atau Pameran
Semesta diadakan untuk memperingati 100 tahun penyerbuan ke penjara Bastille,
yang mengawali Revolusi Prancis.
Simbol utama dari pameran adalah Menara Eiffel yang termahsyur hingga saat ini. Puluhan atraksi digelar kala itu, juga pertunjukkan musik. Salah satunya gamelan Jawa.
Seperangkat gamelan, juga penabuh dari Jawa dan Sunda diboyong ke Paris. Dalam status sebagai wilayah jajahan Belanda.
Seperti dimuat situs Radio Nederland, mereka didatangkan untuk mengisi paviliun Belanda, le village Javanais (Desa Jawa). Dalam pameran ini gamelan menancapkan pengaruhnya pada musik barat. Sehingga disebut-sebut, musik Debussy terpengaruh gamelan Jawa.
Lalu, mengapa ada gamelan di pameran semesta Paris?
Sejarawati Belanda Marieke Bloembergen mengatakan, selain bermaksud menonjolkan kemajuan teknologi yang diwakili oleh Menara Eiffel, pameran itu juga ingin memamerkan wilayah-wilayah kolonial. Agar kolonialisme memperoleh dukungan rakyat Prancis.
Selain kampung Jawa, ada juga Kampung Negro, (village nègre) di mana 400 orang berkulit hitam menjadi atraksi utama.
Dalam pameran tersebut, Belanda adalah satu-satunya negara asing yang ikut serta. Prancis kala itu ingin meneladani kolonialisme Belanda.
Pada pintu masuk Paviliun Belanda tertera tulisan besar "Le Village Javanais", Desa Jawa. Tetapi pada buku pengantar tertera tulisan "Le Kampong Javanais", Kampung Jawa.
Desa Jawa di Paris dihuni oleh orang Jawa, mereka yang memang didatangkan dari Sunda dan Jawa. Ada pemain gamelan yang berasal dari desa Parakan, Salak di dekat Sukabumi. Mereka sejatinya bukan pemain gamelan profesional tetapi buruh kebun teh yang main gamelan di waktu senggang.
Orang-orang dari Surabaya dan Yogyakarta juga didatangkan untuk menunjukkan keterampilan memahat, membatik dan menenun.
Ada lagi penari yang berasal di Kraton Mangkunegaran di Solo. Tarian kraton Mangkunegaran yang diiringi gamelan adalah tontonan yang benar-benar baru, membikin orang heran.
Toh, publik di Paris yang penasaranberbondong-bondong menonton dan tercatat 875 ribu orang mengunjungi Desa Jawa.
Menurut Marieke Bloembergen, melalui Desa Jawa ini, Belanda kala itu ingin diperhitungkan dalam percaturan politik Eropa waktu itu. Maklum Belanda yang kecil itu tidak punya pengaruh di Eropa. Seberapapun luasnya jajahan saat itu tak mengubah tingkat pengaruhnya yang minim.
Jadi inspirasi musik barat
Salah satu tokoh yang bertandang ke Desa Jawa adalah komponis Prancis Claude Debussy. Sekali datang, Debussy menghabiskan waktu sampai berjam-jam.
Meresensi Sari Oneng, komponis Prancis ini menulis: “berguru pada irama abadi ombak lautan, desir daun terhembus angin, dan banyak bunyi-bunyian lain."
“Harus diakui,” tulisnya lagi, “instrumen perkusi orkestra Barat hanya memperdengarkan bunyi-bunyian primitif seperti yang terdengar di pasar malam”.
Pada 1903 Debussy menerbitkan Estampes, kumpulan tiga komposisi piano karyanya. Nomor pertama, berjudul Pagodes, merupakan pembaruan penting. Kalau musik aliran romantis begitu bergejolak dan berapi-api, maka musik Debussy, disebut musik aliran impresionis, lebih lamat-lamat dan lebih mementingkan nuansa.
Itu dicapainya dengan menggubah paduan nada (akord) yang mengambang dan tidak pernah mencapai penjelesaian. Caranya, antara lain, dengan menggunakan musik pentatonis lima nada, nada gamelan. Tak pelak lagi, Pagodes adalah karya Debussy yang paling terdengar pengaruh pentatonisnya.
Namun, pakar gamelan Belanda Ernst Heins tidak setuju kalau langsung disebut bahwa Debussy terpengaruh gamelan Jawa. “Itu mitos belaka,” tuturnya.
Dia menjelaskan, saat itu, Debussy mendengarkan gamelan Sunda Sari Oneng dengan tangga nada lain dari pelog atau slendro. Jadi mengkaitkan Debussy dengan dua tangga nada itu juga tindakan ceroboh, demikian Ernst Heins. Buktinya tidak ada, dia menegaskan.(np)
Sumber http://nasional.vivanews.com