Di akhir bulan
April tepatnya 25-27 April 2012 sebuah acara Training of
Trainer (TOT) digelar oleh BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme)
kerja bareng dengan Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa
Timur.
Dari
penelusuran yang dilakukan, acara ini dilakukan dengan melibatkan 45 peserta
mewakili beberapa elemen ormas dan pesantren. Peserta datang dari
beberapa daerah khususnya Surabaya, Mojokerto, Lamongan, Madura, Nganjuk dan
Ponorogo. Acara berlangsung di Sativa Sanggarloka Hotel, Mojokerto dan semua
biaya ditanggung panitia dari transport hingga seluruh akomodasi yang
dibutuhkan peserta selama training. Bahkan kemudian peserta berhak mendapatkan
sertifikat TOT Anti Radikalisme dan Terorisme setelah dinyatakan lulus oleh
panitia.
Narasumber
yang dihadirkan untuk proyek ini 2 orang dari pihak BNPT (direktur Deradikalisasi
BNPT Prof. Irfan Idris,MA, dan Komandan Densus 88 Polda Jatim), 3 orang
akademisi dari UPN Veteran, 1 orang peneliti dari Rajaratnam School Of
International Studies, NTU, Singapura (M. Taufiqurrohman, MSi), 1 orang dari
Lembaga Pusat Rehabilitasi Korban NII di Jakarta (Sukanto, S.IP) dan 2 orang
dari MUI pusat (Prof.Dr.H. Baharun, MA dan Dr.H. Amirsyah Tambunan,MA).
BNPT di Jawa
Timur sebelumnya juga pernah mengadakan acara serupa dalam tajuk Halaqoh
Nasional Penangulangan Terorisme yang dilaksanakan pada tanggal 28
Nopember 2010, bertempat di Masjid Nasional Al Akbar Surabaya.
Tak kurang dari
100 orang dari berbagai Ormas Islam se-Jatim dan pengurus MUI
Gerbangkertosusilo, memenuhi undangan acara tersebut. Acara ini merupakan
rangkaian acara serupa yang diselenggarakan di 6 kota besar Indonesia, meliputi
Jakarta, Medan, Solo, Bandung, Surabaya dan Makasar.Begitu juga TOT BNPT kali
ini adalah suatu rangkaian acara yang digagas langsung oleh BNPT melalui
koordinasi langsung oleh presiden Republik Indonesia dan diadakan serentak
dibeberapa kota diseluruh Indonesia.
Dibulan Maret
sebelum TOT di Jawa Timur, BNPT sudah menggelar agendanya di kota lainya
diantaranya adalah Solo, karena dianggap daerah yang sangat potensial
menjadi sarang pembenihan teroris. TOT di mulai hari Kamis 29 Maret hingga
Sabtu 31 Maret 2012, dengan menggandeng Lembaga Pengembangan Pendidikan dan
Sumber Daya Manusia (LPPSDM), dengan tajuk "Training of Trainer
(TOT) Anti Radikalisme dan Terorisme, Dalam Rangka Penangkalan Radikalisme dan
Terorisme”.
Seminar tiga
hari di Hotel Sahid Kusuma Solo ini dibuka oleh Deputi Kepala BNPT Mayjen Agus
Surya Bakti pada Kamis 29/03 dan ditutup hari Sabtu 31/03 oleh pendiri Jaringan
Islam Liberal Ulil Abshar Abdala.
Tujuan seminar
dan training BNPT adalah untuk menjawab kritik dari masyarakat selama ini,
bahwa pemerintah dianggap terlalu mengedepankan pendekatan keamanan dalam
menangani terorisme. Kritik kemudian dijawab oleh pemerintah dengan
program-program yang dianggap lebih komprehensif, program itu adalah
deradikalisasi.
Intinya untuk
menjawab doktrin terorisme dengan doktrin lain yang lebih moderat, karena itu
BNPT mengajak sejumlah kalangan yang lebih moderat dalam hal ini, wajar kalau
kemudian dibeberapa tempat orang liberal seperti Ulil Abshar nimbrung di
acara BNPT.
Bahkan yang
mengherankan seorang wakil Sekjen MUI pusat Amirsyah Tambunan dengan
getolnya mendukung penguatan elemen Islam moderat dan menggalakkan forum
kerukunan umat beragama sebagai jawaban tuntas atas fenomena radikalisme di
Indonesia seperti dalam paparan materinya.
Dari
penelusuran terkait materi-materi yang disampaikan ke peserta training BNPT,
intinya proyek deradikalisasi bisa diharapkan untuk mengaborsi dua bentuk
radikalisme, yaitu (1) radikalisme dalam pikiran yang disebut fundamentalisme,
dan (2) radikalisme dalam tindakan yang disebut dengan terorisme. Dan
keterkaitan point pertama dengan kedua berdasarkan asumsi BNPT sangat kuat,
point pertama adalah katalisator lahirnya point kedua.
Dalam bahasa
Amirsyah Tambunan wakil Sekjen MUI Pusat bidang Hukum dan Litbang mengutip
pendapat Muladi Mughni,Lc bahwa ada lima faktor yang menyulut dan memunculkan
aksi terorisme dan radikalisme yaitu ekstrimisme (at tatarif al-diniy),
berlebihan (ghuluw), berpaham sempit (dhayyiq), kaku (tanathu’/rigid), dan
keras (tasyaddud).
Senada dengan
Amirsyah, Dr.Nusron Wahid ketua umum PP GP Ansor dalam sebuah FGD (forum
group discussion) dengan tema “Deradikalisasi (Meningkatkan Ketahanan
Masyarakat) Melalui Advokasi Komunikasi dan Edukasi di Ruang Publik” hari Kamis
9 uni 2011 bertempat di Bogor Jawa Barat yang diadakan oleh Kementerian Kominfo
berpendapat bahwa masalah radikalisme berawal dari masalah pemahaman,
kemiskinan bukan semata-mata menjadi pemicu radikalisme dan justru saat ini
orang yang berpendidikan tinggi menjadi sasaran rekrutmen radikalisasi.
Terkait
agenda TOT-nya BNPT, Harits Abu Ulya pemerhati Kontra-terorisme dan Direktur
CIIA (The Community Of Ideological Islamic Analyst) memberikan tanggapan
langkah BNPT tidak ubahnya seperti pepatah Jawa “nabok rai nyilih tangan”
(nampar muka orang dengan meminjam tangan). Kenapa demikian, dari acara
TOT terlihat secara sengaja BNPT dan panitia yang menjadi patnernya menghindari
face to face dengan komponen yang selama ini di asosiasikan
radikal dan fundamentalis bahkan yang sudah dalam justifikasi sebagai kelompok
teroris versi Amerika.
Lebih lanjut,
menurut catatan Harits agenda TOT di Mojokerto Jawa Timur hanya melibatkan
ormas dan pesantren yang selama ini pro dengan logika-logika BNPT tentang
radikalisme dan terorisme. Dari aspek substansi yang disampaikan dalam TOT
lebih parah lagi, paparan M. Taufiqurrohman peneliti dari Rajaratnam
School of International Studies, NTU Singapura dalam acara TOT tersebut dengan
sangat gegabah membuat peta jaringan teroris di Indonesia.
Memasukkan
kelompok Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) dan lainya hanya berdasarkan informasi
dan data-data sekunder dari opini dan propaganda media. Terlihat
cenderung menfitnah banyak kelompok dan person. Jadi lanjut Harits, acara TOT
tidak lebih sebagai upaya mengadu domba tokoh-tokoh masyarakat dan key
person lainya dengan elemen umat Islam lainya, tanpa di sadari oleh peserta
bahwa ada kepentingan untuk penguatan liberalisasi umat Islam di Indonesia.
Kasus TOT di Solo, BNPT juga menilep MUI Solo yang dianggap radikal dan ini
cara-cara yang tidak fair seperti main petak umpet saja, ungkap Harits.
Argumentasi-argumentasi
BNPT banyak yang sumir untuk membungkus langkah-langkah pembungkaman gerakan
yang menghendaki formalisasi syariah dalam tatanan sosial politik Indonesia.
Lebih tegas lagi Harits menambahkan, kadang terhendus ada cara-cara yang
culas mencoba menghentikan langkah dan agenda-agenda kampanye syariah dan
Khilafah.
Satu contoh
menurut analisanya Pemerhati Kontra-terorisme ini adalah agenda Hizbut Tahrir
di Jember dalam bentuk tablig akbar di desain untuk digagalkan dengan melakukan
“operasi intelijen” memprovokasi oknum-oknum dari sayap ormas NU agar
menghadang peserta tablig akbar dibeberapa titik jalan menuju tempat acara. Dan
dibuat sikon yang tidak sehat, bahkan kondisi tersebut kemudian di advokasi
oleh pejabat dan pimpinan aparat keamanan setempat dihadapan para pengurus HTI
Jember agar acara tablig di hentikan dan tidak dilanjutkan sampai selesai
dengan asumsi ada pihak dari masyarakat yang tidak menghendaki acara tersebut,
tegas Harits.
Deradikalisasi
akan terus berjalan dengan anggaran dari APBN. Dan apa yang dilakukan BNPT
tidak luput dari penolakan sebagian umat Islam yang melek tentang proyek
turunan dari perang global melawanan teroris ala Amerika ini. Namun sikap BNPT
seperti pepatah “anjing menggonggong kafilah berlalu”, padahal sadar atau tidak
langkah deradikalisasi melahirkan kontraksi sosial ditengah umat Islam dan
terlihat lebih mudharat dibanding maslahatnya. [SK]
Sumber http://www.voa-islam.com