Sabtu, 24 November 2012

Soegija, Jawa Wurung, Landa Durung


Istilah Jawa Wurung Landa Durung merupakan pasemon (sindiran) di kalangan orang Jawa, bahwa orang jawa yang keluar dari agama Islam dan menganut agama Kristen adalah orang yang kehilangan jati diri. Sebab pada masa lalu, orang Jawa identik dengan agama Islam. Bahkan kalau ada orang Jawa yang keluar dari Islam disebut sebagai “Wong Jawa Ilang Jawane”.


Soegijapranata, Korban Kristenisasi

(Oleh: Arif Wibowo, Peneliti Pusat Studi Peradaban Islam)

Tanggal 25 November 1896 [2], Soegijapranata lahir, yang pada masa itu merupakan  era keemasan bagi kegiatan missionarisme di Indonesia. Misionarisme telah langsung diprogramkan oleh partai yang berkuasa saat itu di Belanda, yaitu Partai berbasis agama, Partai Katolik. Semangat misionaris kalangan Kristen didukung secara finansial, baik berupa gaji dan tunjangan hidup lainnya serta berbagai fasilitas pendukung seperti perumahan, alat transportasi dsb. Selain itu, kebebasan bergerak misionaris juga didukung untuk mobilitas ke seluruh wilayah Hindia Belanda. Pada masa seperti itulah, seorang anak bernama Soegijapranata lahir dan bertumbuh.

Berbeda dengan anak-anak lain yang mudah menyerah dan mengkonversi ke Islamannya menjadi Katolik, Soegija kecil termasuk ”fanatik” dengan keislamannya. Hal ini dikarenakan dalam diri Soegija masih mengalir darah kiai dari kakeknya yang bernama Kiai Soepa, seorang kiai yang cukup terkenal di Yogyakarta. Selain itu Soegija kecil, sebelum sekolah di Kolese Xaverius mempunyai sahabat karib yang alim. Sahabatnya itu sering mengajarkan bahasa Arab dan menceritakan kisah para nabi kepada Soegija kecil. Juga ditunjang dengan keberadaan rumahnya, yang merupakan keturunan Kiai, dekat dengan masjid [3].

Oleh karena itu, meskipun memutuskan untuk melanjutkan sekolah guru di Kolese Xaverius, Soegija kecil berulangkali menjelaskan bahwa kesediaannya sekolah di Muntilan adalah untuk menjadi guru, bukan menjadi Katolik. Pada masa-masa awal di Muntilan, Soegija mengambil jarak dalam pergaulan. Bahkan untuk mempertahankan prinsipnya tersebut Soegija sering bertengkar dengan para seniornya yang membujuknya untuk menjadi Katolik. Akan tetapi intensitas pergaulan dan pengajaran di Muntilan kemudian mengubah pandangan Soegijapranata.

(Bagian II)

Pendekatan yang lembut dan santun dari Van Lith dan para Romo yang menjadi pembimbing di Kolese Xaverius, pelan tapi pasti menggoyahkan keimanan Soegija. Kesan akan kedekatan ini diceritakan oleh Soegija:

"Kehidupan asrama diselenggarakan dalam suasana keluarga. Di sana disediakan beraneka ragam permainan dan seperangkat gamelan. Romo van Lith sering mengisahkan kisah sejarah yang terjadi di Eropa atau bercerita hal-hal yang lucu. Ini membuka wawasan pengetahuan anak yang disampaikan secara segar dan dan diselingi dengan gelak tawa. Romo van Lith mengusahakan terciptanya hubungan yang dekat antara guru dan murid. Sebagaimana diceritakan mantan muridnya bahwa di dalam kelas, Romo van Lith tidak segan-segan membagikan makanan sambil berucap ”Iki tanda tresna, bocah” (Anak-anak, ini adalah tanda cinta kasih) [4]. "Akhirnya Soegija pun luluh, bahkan kemudian justru, Soegija kecil, yang waktu itu masih berumur 13 tahun, yang meminta kepada Van Lith untuk mendapatkan pengajaran agama Katolik, bahkan akhirnya minta untuk dibaptis. Sebuah pertarungan iman yang tentu saja tidak seimbang.

Seorang Soegija kecil yang ingin derajatnya naik menjadi priyayi, guru yang merupakan kelas terhormat di kalangan bangsa terjajah, ketika memasuki Kolese Xaverius di tahun 1909, bertarung dengan iman Van Lith dan para Romo Jesuit senior. Hal ini dikuatkan fakta bahwa Soegija bukanlah satu-satunya korban, sebab pada akhirnya semua anak muslim yang sekolah di Kolese Xaverius berhasil di-Katolik-kan seperti yang diuraikan oleh Kareel Steenbrink, yaitu anak-anak lelaki yang masuk sekolah ini semuanya muslim dan semuanya tamat sebagai orang Katolik [5]. Kasihan Soegija dan teman-temannya, keinginannya untuk menaikkan derajat keduniaan telah menyebabkan tergantikannya harta yang paling berharga bagi seorang muslim yakni keimanan dan keIslaman.

(Bagian III)

Keuntungan besar yang diperoleh pemerintah Belanda dari hasil merampok kekayaan Indonesia melalui sistem tanam paksa (cultuurstelsel), maka demi kehormantan, kata Conrad Th Van Deventer, mengikat Belanda untuk melakukan politik balas budi [6]. Politik balas budi atau politik etis ini bisa dikatakan seperti sebutir permen yang diberikan Belanda setelah mereka merampas kebun tebu milik bangsa Indonesia, kata budayawan Emha Ainun Najib [7]. Dan permen itu, bukan permen biasa, sebab ia mengandung racun “barat dan Kristen” yang tercermin dari program-program partai yang berkuasa saat itu di Belanda, yaitu partai Katolik, dalam menyambut politik etis ini.

De Kerstening van Indie blijve roeping van het Christenvolk in het moederland, maar vinde, alsook uit staatkundig en maatschappelijk oogpunt van overwegend belang, bij de koloniale Regeering, tegemoitkoming, beide in het verleenen van volle vrijheid en in het geldeijk steunen van onderwijs en krankenvenpleging. (Pengkristenan Nusantara tetap merupakan panggilan rakyat Kristen Eropa (Belanda), yang jika ditinjau dari segi kenegaraan maupun kemasyarakatan adalah juga sangat penting. Maka dari itu, pemerintah Kolonial harus memberikan kebebasan yang seluas-luasnya dan tunjangan keuangan dalam melakukan pendidikan dan perawatan (misi) [8].)

Selain misionarisme langsung seperti yang diprogramkan Partai berbasis agama yang sedang berkuasa di Belanda, khususnya Partai Katolik, juga dilakukan politik Nativisasi. Politik Nativisasi ini dimotori oleh Instituut voor de Javaansche Taal (Lembaga Bahasa Jawa) yang diotaki oleh para cendekiawan dari  Netherlands Zending Genootschap (NZG). Lembaga Bahasa Jawa ini berdiri pada tahun 1832, awalnya bertujuan untuk kepentingan penerjemahan Bible ke dalam bahasa Jawa, tapi dalam perkembangannya, Lembaga ini menjadi alat politik kebudayaan untuk melakukan de Islamisasi Kebudayaan.

(Bagian IV)

Para javanolog Belanda dalam Instituut voor de Javaansche Taal ini menggali kesusastraan, bahasa dan sejarah Jawa kuno yang telah lama menghilang di kalangan orang Jawa yaitu Jawa Pra Islam. Untuk kemudian menghidupkan kembali tradisi Jawa kuno pra Islam tersebut dan menghubungkannya dengan kesultanan/kesunanan Surakarta.  Javanolog Belanda lah yang “menemukan”, “mengembalikan” dan “memberikan makna terhadap Jawa masa lalu. Jika orang Jawa ingin kembali ke masa lalunya, mereka harus melalui screening pemikiran Javanolog Belanda [9].

Godaan Dunia dari Muntilan

Pembukaan sekolah-2 rakyat oleh pemerintah kolonial Belanda dlm rangka politik asosioasi dan memperoleh tenaga administrasi murah dari kalangan pribumi, dengan dalih pencerdasan, menyebabkan tingginya permintaan tenaga pengajar pada saat itu. Peluang ini ditangkap Fransiscus Georgius Josephus van Lith, seorang Jesuit senior yg berkarya di Jawa Tengah. Dalam pandangan Van Lith, posisi strategis guru adalah masa depan bagi perkembangan umat Katolik di Jawa.

Van Lith mengatakan:

Usaha misi di antara bangsa Jawa mulai dengan metode yang salah: mewartakan Injil kepada individu. Kita harus insaf bahwa karya kita bergantung pada pendidikan pemimpin dan guru [10]. Van Lith kemudian mendirikan Kolese Xaverius, yg merupakan sekolah untuk para calon guru. Kesempatan untuk menjadi guru yang dalam pandangan orang Jawa masuk ke dalam kasta priyayi, merupakan magnet tersendiri bagi kolese Xaverius. Salah seorang alumni Muntilan angkatan 1915, Michael Slamet memaparkan:

Untuk itu, Muntilan telah menjadi ”medan magnet” yang mampu menarik banyak orang dari berbagai daerah di Jawa, bahkan juga di luar Jawa utk belajar di sana. Bagi siswa dan alumni Muntilan, Kolese Xaverius dapat dianggap sebagai ”dewa penolong” bagi suatu mobilitas sosial yang dicita-citakan. Dalam pemahaman demikian, mereka akan dengan mudah menyinergikan diri pada kegiatan para misionaris utk tujuan-tujuan yg lebih mulia. ”Harta” didapat, ”sorga” diperoleh [11].

(Bagian V)

Godaan untuk menjadi priyayi inilah yang akhirnya mengantarkan Sogijapranata kecil untuk memutuskan memilih Kolese Xaverius menjadi tempat bagi pendidikan dan pengembangan dirinya. Dan bagi umat Islam, Soegija adalah potret buram sejarah yang tidak boleh lagi terulang di masa kini maupun masa depan.

Catatab kaki:

[1] Istilah Jawa Wurung Landa Durung merupakan pasemon (sindiran) di kalangan orang Jawa, bahwa orang jawa yang keluar dari agama Islam dan menganut agama Kristen adalah orang yang kehilangan jati diri. Sebab pada masa lalu, orang Jawa identik dengan agama Islam. Bahkan kalau ada orang Jawa yang keluar dari Islam disebut sebagai “Wong Jawa Ilang Jawane”.
[2] G. Budi Subanar, SJ, Soegija Si Anak Betlehem van Java, Biografi Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ, (Yogyakarta : Kanisius, 2003) hlm. 11
[3] G. Budi Subanar, SJ, 2003, Idem, hal. 24-25
[4] G. Budi Subanar, SJ, 2003, Soegija Si Anak Betlehem ...., hal. 33
[5] Kareel Steenbrink, Orang-orang Katolik di Indonesia, Sebuah Pemulihan Bersahaja 1808 – 1903, (Maumere : Penerbit Ledalero, 2006) hlm 384.
[6] Bernard H.M. Vlekke, Nusantara, Sejarah Indonesia (Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia, 2008) hlm. 732
[7] Prayogi R. Saputra, Spiritual Journey, Pemikiran dan Perenungan Emha Ainun Najib,  (Jakarta : Kompas, 2012) hlm. 113
[8] O. Hashem, Menaklukkan Dunia Islam, (Surabaya: YAPI, 1968) hlm. 26
[9] Takashi, Shiraisi, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, (Jakarta: Grafiti Press, 1997). hal. 7
[10] G. Budi Subanar, SJ, 2003, Idem, hal. 50
[11] Anton Haryono, 2009, Awal Mulanya adalah Muntilan, Misi Yesuit di Yogyakarta 114 – 1940, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, hal. 84

(Bagian VI -  habis)

CATATAN oleh ahli sejarah UI, Tiar Anwar Bachtiar:

Selama jadi pastur, Soegija dibiayai (digaji) oleh pemerintah Hindia Belanda. Selama menjajah Indonesia, Belanda membiayai semua jenis missi dan zending. Terlebih saat Partai Katolik menjadi pemenang di Parlemen Belanda. Pastur-pastur di Indonesia dikirim juga dari Belanda seperti Frans van Lith tokoh Yesuit yang sangat aktif melakukan kegiatan misi melalui pendidikan dan budaya Jawa.

Bisa dikata bahwa perkembangan dan penyebaran Kristen ini ditopang sepenuhnya oleh pemerintah kolonial Belanda yang tidak lain adalah penjajah. Kristenisasi di negeri ini adalah salah satu buah dari kolonialisme Spanyol, Portugis, dan Belanda yang notabene adalah Negara Kristen. Karena itu, dalam sejarahnya, dengan misi dan zending dibiayai pemerintah kolonial, maka tidak pernah tercatat ada pastur yang memberontak melawan Belanda.

Saat Jepang datang, semua fasilitas bagi gereja dihapus, termasuk gaji para pastur dan biaya untuk gereja, Jepang membatasi gerakan orang-orang Kristen karena dianggap antek-antek Belanda. Jadi, kalau Soegija melawan Jepang, itu sesungguhnya bukan suatu yang heroik.Pada film SOEGIJA,  terlalu ditonjolkan sisi-sisi yang "dianggap heroik" dan "kemanusiaan", sementara sisi yang lain seperti perselingkuhan misi dengan pemerintah Belanda, tidak diangkat ke permukaan.  ~oo~