Istilah Jawa Wurung Landa Durung
merupakan pasemon (sindiran) di kalangan orang Jawa, bahwa orang jawa yang
keluar dari agama Islam dan menganut agama Kristen adalah orang yang kehilangan
jati diri. Sebab pada masa lalu, orang Jawa identik dengan agama Islam. Bahkan
kalau ada orang Jawa yang keluar dari Islam disebut sebagai “Wong Jawa Ilang
Jawane”.
Soegijapranata, Korban
Kristenisasi
(Oleh: Arif Wibowo, Peneliti Pusat
Studi Peradaban Islam)
Tanggal 25 November 1896 [2],
Soegijapranata lahir, yang pada masa itu merupakan era keemasan bagi
kegiatan missionarisme di Indonesia. Misionarisme telah langsung diprogramkan
oleh partai yang berkuasa saat itu di Belanda, yaitu Partai berbasis agama,
Partai Katolik. Semangat misionaris kalangan Kristen didukung secara finansial,
baik berupa gaji dan tunjangan hidup lainnya serta berbagai fasilitas pendukung
seperti perumahan, alat transportasi dsb. Selain itu, kebebasan bergerak
misionaris juga didukung untuk mobilitas ke seluruh wilayah Hindia Belanda.
Pada masa seperti itulah, seorang anak bernama Soegijapranata lahir dan
bertumbuh.
Berbeda dengan anak-anak lain yang
mudah menyerah dan mengkonversi ke Islamannya menjadi Katolik, Soegija kecil
termasuk ”fanatik” dengan keislamannya. Hal ini dikarenakan dalam diri Soegija
masih mengalir darah kiai dari kakeknya yang bernama Kiai Soepa, seorang kiai
yang cukup terkenal di Yogyakarta. Selain itu Soegija kecil, sebelum sekolah di
Kolese Xaverius mempunyai sahabat karib yang alim. Sahabatnya itu sering
mengajarkan bahasa Arab dan menceritakan kisah para nabi kepada Soegija kecil.
Juga ditunjang dengan keberadaan rumahnya, yang merupakan keturunan Kiai, dekat
dengan masjid [3].
Oleh karena itu, meskipun memutuskan
untuk melanjutkan sekolah guru di Kolese Xaverius, Soegija kecil berulangkali
menjelaskan bahwa kesediaannya sekolah di Muntilan adalah untuk menjadi guru,
bukan menjadi Katolik. Pada masa-masa awal di Muntilan, Soegija mengambil jarak
dalam pergaulan. Bahkan untuk mempertahankan prinsipnya tersebut Soegija sering
bertengkar dengan para seniornya yang membujuknya untuk menjadi Katolik. Akan
tetapi intensitas pergaulan dan pengajaran di Muntilan kemudian mengubah
pandangan Soegijapranata.
(Bagian II)
Pendekatan yang lembut dan santun
dari Van Lith dan para Romo yang menjadi pembimbing di Kolese Xaverius, pelan
tapi pasti menggoyahkan keimanan Soegija. Kesan akan kedekatan ini diceritakan
oleh Soegija:
"Kehidupan asrama
diselenggarakan dalam suasana keluarga. Di sana disediakan beraneka ragam
permainan dan seperangkat gamelan. Romo van Lith sering mengisahkan kisah
sejarah yang terjadi di Eropa atau bercerita hal-hal yang lucu. Ini membuka
wawasan pengetahuan anak yang disampaikan secara segar dan dan diselingi dengan
gelak tawa. Romo van Lith mengusahakan terciptanya hubungan yang dekat antara
guru dan murid. Sebagaimana diceritakan mantan muridnya bahwa di dalam kelas,
Romo van Lith tidak segan-segan membagikan makanan sambil berucap ”Iki tanda
tresna, bocah” (Anak-anak, ini adalah tanda cinta kasih) [4]. "Akhirnya
Soegija pun luluh, bahkan kemudian justru, Soegija kecil, yang waktu itu masih
berumur 13 tahun, yang meminta kepada Van Lith untuk mendapatkan pengajaran
agama Katolik, bahkan akhirnya minta untuk dibaptis. Sebuah pertarungan iman
yang tentu saja tidak seimbang.
Seorang Soegija kecil yang ingin
derajatnya naik menjadi priyayi, guru yang merupakan kelas terhormat di
kalangan bangsa terjajah, ketika memasuki Kolese Xaverius di tahun 1909,
bertarung dengan iman Van Lith dan para Romo Jesuit senior. Hal ini dikuatkan
fakta bahwa Soegija bukanlah satu-satunya korban, sebab pada akhirnya semua
anak muslim yang sekolah di Kolese Xaverius berhasil di-Katolik-kan seperti
yang diuraikan oleh Kareel Steenbrink, yaitu anak-anak lelaki yang masuk
sekolah ini semuanya muslim dan semuanya tamat sebagai orang Katolik [5].
Kasihan Soegija dan teman-temannya, keinginannya untuk menaikkan derajat
keduniaan telah menyebabkan tergantikannya harta yang paling berharga bagi
seorang muslim yakni keimanan dan keIslaman.
(Bagian III)
Keuntungan besar yang diperoleh
pemerintah Belanda dari hasil merampok kekayaan Indonesia melalui sistem tanam
paksa (cultuurstelsel), maka demi kehormantan, kata Conrad Th Van Deventer,
mengikat Belanda untuk melakukan politik balas budi [6]. Politik balas budi
atau politik etis ini bisa dikatakan seperti sebutir permen yang diberikan
Belanda setelah mereka merampas kebun tebu milik bangsa Indonesia, kata
budayawan Emha Ainun Najib [7]. Dan permen itu, bukan permen biasa, sebab ia
mengandung racun “barat dan Kristen” yang tercermin dari program-program partai
yang berkuasa saat itu di Belanda, yaitu partai Katolik, dalam menyambut
politik etis ini.
De Kerstening van Indie blijve
roeping van het Christenvolk in het moederland, maar vinde, alsook uit
staatkundig en maatschappelijk oogpunt van overwegend belang, bij de koloniale
Regeering, tegemoitkoming, beide in het verleenen van volle vrijheid en in het
geldeijk steunen van onderwijs en krankenvenpleging. (Pengkristenan Nusantara
tetap merupakan panggilan rakyat Kristen Eropa (Belanda), yang jika ditinjau
dari segi kenegaraan maupun kemasyarakatan adalah juga sangat penting. Maka
dari itu, pemerintah Kolonial harus memberikan kebebasan yang seluas-luasnya
dan tunjangan keuangan dalam melakukan pendidikan dan perawatan (misi) [8].)
Selain misionarisme langsung seperti
yang diprogramkan Partai berbasis agama yang sedang berkuasa di Belanda, khususnya
Partai Katolik, juga dilakukan politik Nativisasi. Politik Nativisasi ini
dimotori oleh Instituut voor de Javaansche Taal (Lembaga Bahasa Jawa) yang
diotaki oleh para cendekiawan dari Netherlands Zending Genootschap (NZG).
Lembaga Bahasa Jawa ini berdiri pada tahun 1832, awalnya bertujuan untuk
kepentingan penerjemahan Bible ke dalam bahasa Jawa, tapi dalam
perkembangannya, Lembaga ini menjadi alat politik kebudayaan untuk melakukan de
Islamisasi Kebudayaan.
(Bagian IV)
Para javanolog Belanda dalam Instituut
voor de Javaansche Taal ini menggali kesusastraan, bahasa dan sejarah Jawa kuno
yang telah lama menghilang di kalangan orang Jawa yaitu Jawa Pra Islam. Untuk
kemudian menghidupkan kembali tradisi Jawa kuno pra Islam tersebut dan
menghubungkannya dengan kesultanan/kesunanan Surakarta. Javanolog Belanda
lah yang “menemukan”, “mengembalikan” dan “memberikan makna terhadap Jawa masa
lalu. Jika orang Jawa ingin kembali ke masa lalunya, mereka harus melalui
screening pemikiran Javanolog Belanda [9].
Godaan Dunia dari Muntilan
Pembukaan sekolah-2 rakyat oleh
pemerintah kolonial Belanda dlm rangka politik asosioasi dan memperoleh tenaga
administrasi murah dari kalangan pribumi, dengan dalih pencerdasan, menyebabkan
tingginya permintaan tenaga pengajar pada saat itu. Peluang ini ditangkap
Fransiscus Georgius Josephus van Lith, seorang Jesuit senior yg berkarya di
Jawa Tengah. Dalam pandangan Van Lith, posisi strategis guru adalah masa depan
bagi perkembangan umat Katolik di Jawa.
Van Lith mengatakan:
Usaha misi di antara bangsa Jawa
mulai dengan metode yang salah: mewartakan Injil kepada individu. Kita harus
insaf bahwa karya kita bergantung pada pendidikan pemimpin dan guru [10]. Van
Lith kemudian mendirikan Kolese Xaverius, yg merupakan sekolah untuk para calon
guru. Kesempatan untuk menjadi guru yang dalam pandangan orang Jawa masuk ke
dalam kasta priyayi, merupakan magnet tersendiri bagi kolese Xaverius. Salah
seorang alumni Muntilan angkatan 1915, Michael Slamet memaparkan:
Untuk itu, Muntilan telah menjadi
”medan magnet” yang mampu menarik banyak orang dari berbagai daerah di Jawa,
bahkan juga di luar Jawa utk belajar di sana. Bagi siswa dan alumni Muntilan,
Kolese Xaverius dapat dianggap sebagai ”dewa penolong” bagi suatu mobilitas
sosial yang dicita-citakan. Dalam pemahaman demikian, mereka akan dengan mudah
menyinergikan diri pada kegiatan para misionaris utk tujuan-tujuan yg lebih
mulia. ”Harta” didapat, ”sorga” diperoleh [11].
(Bagian V)
Godaan untuk menjadi priyayi inilah
yang akhirnya mengantarkan Sogijapranata kecil untuk memutuskan memilih Kolese
Xaverius menjadi tempat bagi pendidikan dan pengembangan dirinya. Dan bagi umat
Islam, Soegija adalah potret buram sejarah yang tidak boleh lagi terulang di
masa kini maupun masa depan.
Catatab kaki:
[1] Istilah Jawa Wurung Landa Durung
merupakan pasemon (sindiran) di kalangan orang Jawa, bahwa orang jawa yang
keluar dari agama Islam dan menganut agama Kristen adalah orang yang kehilangan
jati diri. Sebab pada masa lalu, orang Jawa identik dengan agama Islam. Bahkan
kalau ada orang Jawa yang keluar dari Islam disebut sebagai “Wong Jawa Ilang
Jawane”.
[2] G. Budi Subanar, SJ, Soegija Si
Anak Betlehem van Java, Biografi Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ, (Yogyakarta
: Kanisius, 2003) hlm. 11
[3] G. Budi Subanar, SJ, 2003, Idem,
hal. 24-25
[4] G. Budi Subanar, SJ, 2003,
Soegija Si Anak Betlehem ...., hal. 33
[5] Kareel Steenbrink, Orang-orang
Katolik di Indonesia, Sebuah Pemulihan Bersahaja 1808 – 1903, (Maumere :
Penerbit Ledalero, 2006) hlm 384.
[6] Bernard H.M. Vlekke, Nusantara,
Sejarah Indonesia (Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia, 2008) hlm. 732
[7] Prayogi R. Saputra, Spiritual
Journey, Pemikiran dan Perenungan Emha Ainun Najib, (Jakarta : Kompas,
2012) hlm. 113
[8] O. Hashem, Menaklukkan Dunia
Islam, (Surabaya: YAPI, 1968) hlm. 26
[9] Takashi, Shiraisi, Zaman
Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, (Jakarta: Grafiti Press, 1997).
hal. 7
[10] G. Budi Subanar, SJ, 2003,
Idem, hal. 50
[11] Anton Haryono, 2009, Awal
Mulanya adalah Muntilan, Misi Yesuit di Yogyakarta 114 – 1940, Penerbit
Kanisius, Yogyakarta, hal. 84
(Bagian VI - habis)
CATATAN oleh ahli sejarah UI, Tiar
Anwar Bachtiar:
Selama jadi pastur, Soegija dibiayai
(digaji) oleh pemerintah Hindia Belanda. Selama menjajah Indonesia, Belanda
membiayai semua jenis missi dan zending. Terlebih saat Partai Katolik menjadi
pemenang di Parlemen Belanda. Pastur-pastur di Indonesia dikirim juga dari
Belanda seperti Frans van Lith tokoh Yesuit yang sangat aktif melakukan
kegiatan misi melalui pendidikan dan budaya Jawa.
Bisa dikata bahwa perkembangan dan
penyebaran Kristen ini ditopang sepenuhnya oleh pemerintah kolonial Belanda
yang tidak lain adalah penjajah. Kristenisasi di negeri ini adalah salah satu
buah dari kolonialisme Spanyol, Portugis, dan Belanda yang notabene adalah
Negara Kristen. Karena itu, dalam sejarahnya, dengan misi dan zending dibiayai
pemerintah kolonial, maka tidak pernah tercatat ada pastur yang memberontak
melawan Belanda.
Saat Jepang datang, semua fasilitas
bagi gereja dihapus, termasuk gaji para pastur dan biaya untuk gereja, Jepang
membatasi gerakan orang-orang Kristen karena dianggap antek-antek Belanda.
Jadi, kalau Soegija melawan Jepang, itu sesungguhnya bukan suatu yang
heroik.Pada film SOEGIJA, terlalu ditonjolkan sisi-sisi yang
"dianggap heroik" dan "kemanusiaan", sementara sisi yang
lain seperti perselingkuhan misi dengan pemerintah Belanda, tidak diangkat ke
permukaan. ~oo~