Tirai yang tersingkap mempertontonkan sebuah patung
perunggu, yang berdiri tegak di Gordon Square Gardens, halaman milik
University of London, Inggris. Cetakan wajah seorang perempuan berambut pendek,
yang menatap ke bawah. Ada ketegaran yang terpancar dari mata patung bisu itu.
Itu adalah patung peringatan pertama yang didedikasikan Inggris kepada seorang Muslimah. Ini juga yang pertama untuk seorang perempuan asa Asia.
Model patung itu adalah Noor Inayat Khan, perempuan berdarah India. Dia operator radio nirkabel perempuan pertama yang berhasil menyusup ke Prancis, yang diduduki Nazi selama Perang Dunia II. Medan peranglah yang mengubah seorang perempuan lembut, penulis cerita anak-anak sekaligus musisi, menjadi "harimau betina" yang tak kenal rasa takut.
Noor adalah jaringan penting terakhir Inggris setelah penahanan besar-besaran Gestapo yang merusak misi mata-mata Special Operations Executive (SOE) di Paris. Komandannya memintanya untuk secepatnya pulang, namun ia menolak untuk mengabaikan rekan-rekannya di Prancis.
Selama tiga bulan, seorang diri, ia mendirikan sel mata-mata di Paris, sembari secara berkala mengubah penampilan dan namanya. Namun, Noor dikhianati dan ditangkap. Dia dikirim ke penjara Pforzheim di Jerman di mana ia terus dibelenggu dalam sel isolasi.
Selama 10 bulan dalam siksaan, dalam kondisi kelaparan, dipukul, disiksa, Noor tetap bungkam. Ia tetap pada pendiriannya, menolak untuk mengungkapkan informasi apapun.
Pada September 1944, ia dan tiga agen lainnya dipindahkan ke kamp konsentrasi Dachau. Dan tibalah hari itu, tanggal 13 September. Eksekusi mati dilakukan.
Saat regu tembak mengangkat senapannya, siap memuntahkan peluru, Khan sempat mengucapkan kata terakhirnya, hanya satu kata: "Liberte". Kemerdekaan. Noor Inayat Khan meninggal dunia pada usia 30 tahun.
Untuk keberaniannya, ia secara anumerta dianugerahi George Cross oleh Pemerintah Inggris. Di Prancis dia diganjar penghargaan Croix de Guerre.
Intel Inggris
Pengakuan kepahlawanan Khan adalah hasil kerja panjang Noor Inayat Khan Memorial Trust, yang dipimpin penulis biografinya Shrabani Basu. Tujuannya untuk menghidupkan kembali memori tentang pahlawan yang terlupakan itu. Usaha ini menarik perhatian dan dukungan banyak orang, di antaranya, Perdana Menteri Inggris David Cameron
Basu mengatakan, ia tertarik pada kisah hidup Khan diawali "rasa penasaran" bagaimana seorang perempuan India bisa terlibat dalam teater kolosal perang di Eropa.
"Saat memulai penelitian, saya menyadari dia adalah seorang sufi yang percaya pada jalan anti-kekerasan dan harmoni dalam beragama. Ia bahkan belum pernah menjadi sukarelawan perang," kata Basu, seorang jurnalis.
Noor, yang memiliki kode Madeline dan Nora Baker, adalah cicit dari seorang penguasa yang menentang Inggris. Keturunan Tipu Sultan, penguasa abad ke-18 dari Mysore yang wafat dengan gagah di medan pertempuran pada tahun 1799.
Nasionalis Sejati
Ayahnya, Hazrat Inayat Khan, adalah seorang
nasionalis sejati. Noor juga seorang pengagum Pandit Jawaharlal Nehru dan
Mahatma Gandhi. Sementara ibunya, Ora Ray Baker berasal dari Amerika Serikat.
Lalu mengapa ia menjadi mata-mata Inggris?
"Meski sikapnya tegas, kemerdekaan India adalah harga mati, ia orang yang fokus dan tahu jelas arti penting untuk melawan fasisme," kata Basu.
Perempuan yang dilukiskan sebagai sosok berani tapi glamor, sensitif sekaligus tangguh, tidak berjuang atas dasar cintanya untuk Inggris, yang pernah ia tinggali dari bayi hingga usia 6 tahun. Juga bukan bagi Prancis, rumahnya kala masih belia. Namun rasa muak pada fasisme dan kediktatoran.
Menurut Basu, Noor "tidak tahan melihat negara yang dijajah". Sebuah gagasan yang berlaku di keluarganya yang cinta damai.
"Peringatan untuk Noor akan memastikan bahwa kisah keberanian dan pengorbanannya tidak dilupakan oleh generasi mendatang."
Lalu mengapa ia menjadi mata-mata Inggris?
"Meski sikapnya tegas, kemerdekaan India adalah harga mati, ia orang yang fokus dan tahu jelas arti penting untuk melawan fasisme," kata Basu.
Perempuan yang dilukiskan sebagai sosok berani tapi glamor, sensitif sekaligus tangguh, tidak berjuang atas dasar cintanya untuk Inggris, yang pernah ia tinggali dari bayi hingga usia 6 tahun. Juga bukan bagi Prancis, rumahnya kala masih belia. Namun rasa muak pada fasisme dan kediktatoran.
Menurut Basu, Noor "tidak tahan melihat negara yang dijajah". Sebuah gagasan yang berlaku di keluarganya yang cinta damai.
"Peringatan untuk Noor akan memastikan bahwa kisah keberanian dan pengorbanannya tidak dilupakan oleh generasi mendatang."