Akhir-akhir ini
penangkapan terhadap para aktivis Islam oleh Densus 88 kian gencar. Kelompok
Islam menyebut otak dari Densus 88 adalah Goris Mere yang Nasrani.
Sebenarnya ini adalah lagu lama kaset kusut. Ini adalah pengulangan kelakuan aparat pada masa Orde Baru. Kalau dulu mendapat stempel ektrem kanan, sekarang dicap teroris.
Bagaimana penangkapan terhadap aktivis Islam pada masa Orde Baru?
Orde Baru (Orba) adalah orde yang bertekad melaksanakan pembangunan untuk nantinya menjadi ideologi pembangunan sebagaimana ditulis Adam Scwarz dalam A Nation in Waiting.
Pada masa awal Orba ada dua kubu dalam hal kebijakan strategi pembangunan. Kubu pertama adalah kubu yang menekankan pada pemerataan, dimotori oleh Hatta. Seperti kita ketahui Hatta dengan gagasan koperasinya menitikberatkan pembangunan pada aspek pemerataan.
Yang kedua adalah kubunya Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, beserta kawan-kawannya yang lulusan University of California Berkeley, sehinggasejumlah kalangan pengamat menjulukinya sebagai ‘Mafia Berkeley’.
Kubu kedua ini sangat mengagungkan pembangunan ekonomi melalui pertumbuhan dengan harapan nantinya akan terjadi trickle down effect (efek menetes/merembes ke bawah) alias otomatis terjadi pemerataan.
Widjojo Nitisastro
Maka, gagasan dari
kubu pertama tidak dipakai. Kalaupun dipakai hanyalah sebagai ‘pelengkap
penderita’ saja. Gagasan kedua dipakai karena para lulusan ‘Berkeley’ itu
dipercaya penuh oleh Presiden Soeharto untuk mengobati luka-luka masa Orde
Lama. Apalagi menurut Assar Lindbeck dalam bukunya ‘Kritik atas Ekonomi Kiri
Baru’ terbitan LP3ES (1988), saat mereka kuliah di Berkeley yang trendy adalah
kecenderungan pemikiran perkembangan ekonomi yang berorientasi pada
pertumbuhan, yang dikritik dengan keras oleh aliran ‘Kiri Baru’.
Yang dipakai oleh pemerintah Orba pada awalnya (dan bahkan sampai sekarang walaupun kadar penekanannya sudah agak sedikit berbeda) adalah gagasan dari kubu kedua. Alasannya, menurut Nurcholish Madjid dalam ‘Politik Pembangunan’, “Kalau kita hendak membagi-bagikan kue pembangunan harus kita buat dulu kuenya.”
Pemerintah Orba beralasan bahwa ekonomi negara sangat morat-marit. Inflasi mencapai 600%, utang negara sangat bertumpuk. Untuk itu, perlu secepatnya diadakan stabilisasi ekonomi dengan tiang penyangga utamanya berupa stabilitas politik.
Maka setiap potensi konflik diredam sedemikian rupa secara terus-menerus agar kekuatan laten yang disebut pemerintah Orba sebagai ekstrem kiri dan ekstrem kanan, tak muncul.
Terhadap ekstrem kiri, yang dilakukan Orba berupa: pembubaran PKI beserta ormas-ormasnya sekaligus pernyataan sebagai organisasi terlarang. Pelarangan terhadap ajaran Marxisme-Leninisme ini berlaku di seluruh wilayah RI.
Terhadap golongan Islam, tindakannya malah lebih banyak lagi. Secara jelas Yudi Latif dalam buku ‘Mencari Islam’ (Mizan 1990) membeberkan langkah-langkah yang merugikan umat Islam, yaitu: 1. Penolakan rehabilitasi Masyumi; 2. Dikeluarkannya peraturan Mendagri No 12/1969 dan PP No 6/1970 tentang monoloyalitas pegawai negeri yang mengakibatkan ‘marginalisasi’ pegawai negeri dari partai Islam; 3. Pemaksaan fusi (parpol) dengan UU No 3/1973; 4. Terbitnya UU Perkawinan 1974 yang merupakan de-Islamisasi kaidah-kaidah kemasyarakatan karena banyak bertentangan dengan hukum-hukum perkawinan Islam; 5. Terbentuknya MUI sebagai perwakilan tunggal umat Islam pada 1975 yang lebih sering merupakan alat legitimasi pemerintah; 6. Disahkannya aliran kepercayaan dan Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila (P4) melalui Tap MPR No II/1978 yang merupakan usaha pemerintah untuk memperlemah potensi alternatif umat Islam.
Presiden Soeharto sejak awal menjalankan suatu model kepemimpinan sangat khas, yang merupakan hasil penjumlahan dari: (1) Cara berpikirnya yang sangat Jawa; (2) Kapabilitasnya yang tak terbantahkan sebagai seorang perwira militer yang cakap dan kaya pengalaman lapangan; (3) Kecanggihannya sebagai aktor politik dalam melakukan manajemen kekuasaan, sebagaimana ditulis Eep Saefulloh Fatah dalam ‘Masalah dan Prospek Demokrasi di Indonesia’.
Otaknya Ali Moertopo
Ali Moertopo
Otak pemberangusan
gerakan politik Islam adalah Letnan Jenderal Ali Moertopo. Langkah-langkahnya
yang cukup ketahuan dan transparan cukup banyak. Penjelasan berikut ini adalah
sebagian dari padanya.
Pada tahun 1970 Partai Muslimin Indonesia (PARMUSI) di bawah pimpinan Djarnawi Hadikusumo telah ‘digarap’ atau dibajak oleh J Naro, ‘diotaki’ oleh Ali Moertopo.
Kemudian pada tahun 1971 PSII di bawah pimpinan M Ch Ibrahim ‘digarap’ oleh Drs Syarifudin Harahap, juga diotaki oleh Ali Moertopo. Perihal pembajakan ini dimasukkan dalam berita TVRI, yaitu media massa resmi pemerintah Indonesia. (Bincang-bincang dengan Dahlan Ranuwihardjo).
Selanjutnya pada Peristiwa 15 Januari (Malari) 1974, Ali Moertopo menuduh dan memfitnah umat Islam. Dikatakan bahwa eks PSI dan eks Masyumi atau ekstrem kanan adalah dalang peristiwa tersebut.
Tetapi setelah para tokoh peristiwa Malari seperti Hariman Siregar diadili, tidak ada sedikit pun fakta dan tak Seorang pun eks Masyumi terlibat di situ.
Belakangan, ada pengakuan dari mendiang Jenderal Soemitro dalam buku Heru Cahyono, ‘Pangkopkamtib Jendral Soemitro dan Peristiwa Malari’, bahwa justru Ali Moertopo sendiri dengan CSIS-nya yang mendalangi Peristiwa Malari.
Kemudian dalam sidang pengadilan Ismail Pranoto di Jawa Timur pada 1978, yang dituduh membentuk Komando Jihad, terbukti yang terungkap di pengadilan bahwa kegiatan Ismail Pranoto adalah atas perintah dan biaya Ali Moertopo dalam rangka membentuk Front Pancasila Anti Komunis.
Dengan terungkapnya masalah ini tim pembela meminta kepada majelis Hakim untuk menghadirkan Ali Moertopo sebagai saksi. Tetapi majelis hakim menolaknya, sehingga Ismail Pranoto dijatuhi hukuman seumur hidup.
Dengan peristiwa ini, jelas bahwa Ali Moertopo telah menjebak Ismail Pranoto (bekas DI/TII) untuk kemudian dihancurkan.
Aksi Ali Moertopo berikutnya adalah pada Peristiwa Lapangan Banteng, 1982. Ali yang ketika itu menjadi Menteri Penerangan dalam briefingnya di hadapan pimpinan teras Departemen Penerangan dua hari setelah kejadian telah menuduh dan memfitnah umat Islam yang lagi-lagi disebut ekstrem kanan.
Ali Moertopo menuduh KH Yusuf Hasyim dari PPP dan Ali Sadikin dari Petisi 50 berada di balik peristiwa rusuh di Lapangan Banteng saat kampanye Golkar berlangsung menjelang pemilu 1982 itu.
Tetapi setelah pengadilan memeriksa para terdakwa yang dituduh terlibat peristiwa Lapangan Banteng terbukti tidak ada satu pun anggota PPP ataupetisi 50 yang terlibat, bahkan menjadi saksi pun tidak.
Lanjutannya, Benny Moerdani
Pasca 1982 peran Ali Moertopo digantikan oleh Jenderal Benny Moerdani. Pada tahun 1983-1985 Benny melakukan penggarapan terhadap ummat Islam dengan memuluskan perintah Soeharto yaitu bahwa semua ormas dan parpol harus berasaskan Pancasila.
Benny Moerdani
Garapan pertama Benny
adalah organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII). Organisasi pelajar ini
memiliki sejarah harum di masa lalu. Beberapa kadernya menghiasi kepemimpinan
umat Islam pada 1990-an.
Gagasan asas tunggal Pancasila mengharuskan mereka menjadikan organisasi PII berjuang di ‘bawah tanah’. Sebab tahun 1985 PII merencanakan kongres yang isinya menolak Pancasila sebagai asas, tetapi kongres itu tidak mendapat izin.
Gagasan asas tunggal Pancasila mengharuskan mereka menjadikan organisasi PII berjuang di ‘bawah tanah’. Sebab tahun 1985 PII merencanakan kongres yang isinya menolak Pancasila sebagai asas, tetapi kongres itu tidak mendapat izin.
Pada 17 Juli 1987, tanggal terakhir pendaftaran ulang ormas-ormas, PII tidak ikut didaftarkan. Maka sejak saat itu PII menjadi organisasiilegal atau organisasi ‘bawah tanah’. Maka PII pun dicap sebagai ekstrem kanan oleh pemerintah Orba.
‘Kakak’-nya PII yaitu HMI juga digarap oleh Benny Moerdani. Hanya bedanya HMI tidak menjadi organisasi ilegal melainkan pecah menjadi dua. HMI Diponegoro 16 yang menerima Pancasila sebagai asas dan HMI MPO (Majelis Penyelamat Organisasi) yang menolak Pancasila.
Penerimaan asas tunggal Pancasila oleh HMI berjalan alot. Pada mulanya, dalam persiapan Kongres 1983 sudah ada utusan-utusan pemerintah yang alumni HMI atau penyebutan oleh anggota HMI saat itu adalah ‘antek-antek pemerintah’ dan ‘hilang ke HMI-annya’, contohnya Menteri Pemuda & Olahraga (Menpora) Abdul Gafur.
Terjadilah konflik antara anggota HMI dan alumni HMI. Benih-benih konflik ini semakin bersemi dan terbuka dalam kongres berikut di Padang, tahun 1986. Menyadari potensi reaktif HMI yang radikal, pemerintah mulai menggarap anggota-anggotanya yang dianggap ‘akomodatif’.
Melalui berbagai ‘lobbying’ yang dilakukan oleh Abdul Gafur dan Akbar Tanjung, mereka berhasil meyakinkan HMI untuk mencari ‘jalan selamat’.Dalam sidang pleno PB HMI 1983/1985 tanggal 5 April 1985 di Ciloto Jawa Barat, HMI menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas.
Keputusan ini kemudian dikukuhkan dalam kongresnya di Padang tahun 1986. Pelaksanaan kongres ini sempat tertunda beberapa bulan karena adanya conditioning oleh pemerintah.
Kemudian tokoh-tokoh akomodatif diberi lampu hijau oleh pemerintah dan tokoh-tokoh yang dianggap garis keras seperti Abdullah Hehamahua dan Eggy Sudjana diberi lampu merah.
Terpilihlah Saleh Khalid sebagai ketua umum PB HMI. Persoalan tidak berhenti sampai di situ karena keputusan ini ditolak oleh banyak sekalianggota HMI. Mereka berpendapat bahwa penetapan Pancasila sebagai asas tunggal diterima tidak melalui kongres.
Mereka yang menolak asas tunggal Pancasila membentuk ‘HMI Tandingan’, yaitu HMI MPO dan mencoba ‘mengadili’ pengurus HMI ‘bentukan’ pemerintah. Sejak saat itulah muncul ‘pengurus tandingan’ pada banyak cabang HMI di Indonesia. Sejak itu pula HMI MPO disebut ekstrem kanan.
Tahun 1984 meletus peristiwa Tanjung Priok. Selain kondisi masyarakat yang memang sangat tidak puas terhadap pemerintah dan kehadiran para penceramah yang yang dianggap keras, unsur rekayasa dan provokasi juga terlihat (walaupun masih misteri sampai saat ini), maka meledaklah Peristiwa Tanjung Priok, 12 September 1984.
Menarik pula peristiwa sesudahnya, yaitu kasus ‘lembaran putih’, surat protes yang dikeluarkan oleh Petisi 50 dan ditandatangani oleh sejumlah tokoh Islam dan para Mubaligh yang dianggap keras.
‘Lembaran putih’ ini dijadikan alasan oleh Benny Moerdani untuk menangkapi penceramah-penceramah yang dianggap garis keras seperti AM Fatwa, Abdul Qadir Jailani, Tasrif Tuasikal, HM Sanusi, HR Dharsono, Oesmany El Hamidy, Mawardi Noor, Tonie Ardie, dan lain-lain. Mereka juga dicap sebagai ekstrem kanan. Menurut majalah Panji Masyarakat yang terbit pasca persidangan, persidangan ini mirip dagelan.
Beberapa bulan setelah peristiwa Tanjung Priok, tanggal 4 Maret 1985, timbul peristiwa peledakan dua kantor BCA yang mengakibatkan banyak korban yang tewas. Di malam Natal dua gereja di Malang, Jawa Timur, mendapat serangan bom. Sebulan kemudian, tepatnya pada tahun baru 1986, 9 Stupa Candi Borobudur diledakkan.
Hal yang lucu adalah yang dituduh sebagai pelaku pengeboman ini antara lain Hussein Al Habsyi, seorang mubaligh yang tuna netra. Bagaimana mungkin seorang tuna netra yang berjalan atau berlari sebelum bom meledak saja susah (apalagi di Candi Borobudur yang banyak sekali tangganya), dituduh meledakkan bom. Pelaku pengeboman ini juga dicap ekstrem kanan.
Pada 1987 di Aceh muncul barisan jubah putih dipimpin Teuku Bantaqiyah. Gerakan ini mencita-citakan ‘tegaknya Islam sedunia’. Bulan Mei 1987, bertepatan dalam suasana Ramadhan, dengan berjalan kaki di desa Blang Beuradeh, Beutung Aseuh, Aceh Barat, mereka membunuhi orang Cina yang dijumpai di jalan serta memaksa tutup warung-warung yang buka di siang hari. (Tempo, 18 Februari 1989, hal 26). Mereka juga dicap sebagai Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) dan ekstrem kanan.
Soeharto
Kemudian terjadi
peristiwa Lampung. Gerakan ini meletus ke permukaan pada Februari 1989, dengan
membunuh beberapa anggota ABRI (TNI). Sedangkan di pihak rakyat Lampung jatuh
27 korban, termasuk Anwar alias Warsidi, yang disebut sebagai pemimpin gerakan.
Pemerintah menyebut pelaku peristiwa ini sebagai Gerakan Pengacau Keamanan dan
ekstrem kanan.
Lantas muncul kasus Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh dan berubah menjadi arena ‘killing field’. Dan sederet kasus penindasan umat Islam lainnya di era Orba yang kini berlanjut atas nama “terorisme”.
Mengapa Soeharto mempertahankan orang-orang seperti Ali Moertopo dan Benny Moerdani? Agar Soeharto dianggap pahlawan yang bisa mengerem tindakan Benny dan Ali.
Terbukti kemudian umat Islam yang menjadi korban langsung atau tidak langsung sampai sekarang tak mengarahkan kebencian itu kepada Soeharto, melainkan kepada Ali Moertopo dan Benny Moerdani. Apalagi setelah Soeharto ‘naik haji’ dan tampil takbiran di malam Lebaran.