Berikut ini kami sajikan sebuah
kajian mengenai sejarah dalam Islam oleh Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat
dalam memandang persoalan Peristiwa Karbala yang menewaskan salah satu cucu
Nabi Muhammad, Husain bin Ali bin Abi Thalib:
Urgensi Sanad
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah mengatakan dalam kitab Aqidah al-Wasithiyyah: “Ahlus-Sunnah
menahan lidah dari permasalahan atau pertikaian yang terjadi diantara para
Sahabat radhiyallahu ‘anhum. Dan mereka juga mengatakan: ‘Sesungguhnya
riwayat-riwayat yang dibawakan dan sampai kepada kita tentang
keburukan-keburukan para Sahabat radhiyallahu ‘anhum (pertikaian atau
peperangan) ada yang dusta dan ada juga yang ditambah, dikurangi dan dirubah
dari aslinya (serta ada pula yang shahih-pen). Riwayat yang shahih menyatakan,
bahwa para Sahabat radhiyallahu ‘anhum ini ma’dzûrûn (orang-orang yang diberi
udzur). Baik dikatakan karena mereka itu para mujtahid yang melakukan ijtihad
dengan benar ataupun juga para mujtahid yang ijtihadnya keliru.’”1
Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah
memposisikan riwayat-riwayat ini. Ketiga riwayat ini bertebaran dalam
kitab-kitab tarikh (sejarah). Dan ini mencakup semua kejadian dalam sejarah
Islam, termasuk kisah pembunuhan Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhuma di
Karbala. Sebagian besar riwayat tentang peristiwa menyedihkan ini adalah
kebohongan belaka. Sebagian lagi dha’if dan ada juga yang shahih. Riwayat yang
dinyatakan shahih oleh para ulama ahli hadits yang bersesuaian dengan kaidah
ilmiah dalam ilmu hadits, (maka) inilah yang wajib dijadikan pedoman dalam
mengetahui apa yang terjadi sebenarnya. Dari sini, kita dapat memahami betapa
sanad itu sangat penting untuk membungkam para pendusta dan membongkar niat
busuk mereka.
Sufyan ats-Tsauri rahimahullah
mengatakan; “Sanad itu senjata kaum Muslimin, jika dia tidak memiliki senjata
lalu apa yang dia pergunakan dalam berperang?” Perkataan ini diriwayatkan oleh
al-Hâkim dalam kitab al-Madkhal.
‘Abdullah bin Mubârak rahimahullah
mengatakan; “Sanad ini termasuk bagian dari agama. kalau tidak ada isnad, maka
siapapun bisa berbicara semaunya.” Perkataan ini diriwayatkan oleh Imam Muslim
dalam Muqaddimah kitab Shahih Beliau rahimahullah.
Di tempat yang sama, Imam Muslim
rahimahullah juga membawakan perkataan Ibnu Sîrin; “Dahulu, mereka tidak pernah
bertanya tentang sanad. Ketika fitnah mulai banyak, mereka mengatakan;
‘Sebutkanlah nama orang-orangmu yang meriwayatkannya!’”
Kronologi Terbunuhnya Husain
radhiyallahu ‘anhu
Berkait dengan peristiwa Karbala,
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan; “Orang-orang yang
meriwayatkan pertikaian Husain radhiyallahu ‘anhu telah memberikan tambahan
dusta yang sangat banyak, sebagaimana juga mereka telah membubuhkan dusta pada
peristiwa pembunuhan terhadap ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu, sebagaimana mereka
juga memberikan tambahan cerita (dusta) pada peristiwa-peristiwa yang ingin
mereka besar-besarkan, seperti dalam riwayat mengenai peperangan, kemenangan
dan lain sebagainya. Para penulis tentang berita pembunuhan Husain radhiyallahu
‘anhu, ada diantara mereka yang merupakan ahli ilmu (ulama) seperti al-Baghawi
rahimahullah dan Ibnu Abi Dun-ya dan lain sebagainya. Namun demikian, diantara
riwayat yang mereka bawakan ada yang terputus sanadnya. Sedangkan yang
membawakan cerita tentang peristiwa ini dengan tanpa sanad, kedustaannya sangat
banyak.”2
Oleh karenanya, dalam pembahasan
tentang peristiwa ini perlu diperhatikan sanadnya.
Riwayat Shahih tentang Peristiwa
Karbala
Riwayat yang paling shahih ini
dibawakan oleh Imam al-Bukhâri, nomor 3748:
“Aku diberitahu oleh Muhammad bin
Husain bin Ibrâhîm, dia mengatakan; aku diberitahu oleh Husain bin Muhammad,
kami diberitahu oleh Jarîr dari Muhammad dari Anas bin Mâlik radhiyallahu
‘anhu, dia mengatakan; ‘Kepala Husain dibawa dan didatangkan kepada ‘Ubaidullah
bin Ziyâd3. Kepala itu ditaruh di bejana. Lalu ‘Ubaidullah bin Ziyâd
menusuk-nusuk (dengan pedangnya) seraya berkomentar sedikit tentang ketampanan
Husain. Anas radhiyallahu ‘anhu mengatakan; ‘Diantara Ahlul-Bait, Husain adalah
orang yang paling mirip dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ Saat
itu, Husain radhiyallahu ‘anhu disemir rambutnya dengan wasmah (tumbuhan,
sejenis pacar yang condong ke warna hitam).’”
Kisahnya, Husain bin Ali
radhiyallahu ‘anhuma tinggal di Makkah bersama beberapa Shahabat, seperti Ibnu
‘Abbâs dan Ibnu Zubair radhiyallahu ‘anhuma. Ketika Muawiyah radhiyallahu ‘anhu
meninggal dunia pada tahun 60 H, anak Beliau Yazîd bin Muâwiyah menggantikannya
sebagai imam kaum Muslimin atau khalifah. Saat itu, penduduk Irak yang
didominasi oleh pengikut ‘Ali radhiyallahu ‘anhu menulis surat kepada Husain
radhiyallahu ‘anhu meminta Beliau radhiyallahu ‘anhu pindah ke Irak. Mereka
berjanji akan membai’at Husain radhiyallahu ‘anhu sebagai khalifah karena
mereka tidak menginginkan Yazîd bin Muâwiyah menduduki jabatan khalifah. Tidak
cukup dengan surat, mereka terkadang mendatangi Husain radhiyallahu ‘anhu di
Makkah, mengajak Beliau radhiyallahu ‘anhu berangkat ke Kufah dan berjanji akan
menyediakan pasukan. Para Sahabat seperti Ibnu Abbâs radhiyallahu ‘anhuma kerap
kali menasehati Husain radhiyallahu ‘anhu agar tidak memenuhi keinginan mereka,
karena ayah Husain radhiyallahu ‘anhu, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu,
dibunuh di Kufah dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu khawatir mereka membunuh
Husain radhiyallahu ‘anhu juga disana. Husain radhiyallahu ‘anhu mengatakan;
“Saya sudah melakukan istikharah dan akan berangkat kesana.”
Sebagian riwayat menyatakan bahwa
Beliau radhiyallahu ‘anhu mengambil keputusan ini karena belum mendengar kabar
tentang sepupunya, Muslim bin ‘Aqil, yang telah dibunuh disana.
Akhirnya, berangkatlah Husain
radhiyallahu ‘anhu bersama keluarga menuju Kufah.
Sementara di pihak yang lain,
‘Ubaidullah bin Ziyâd diutus oleh Yazid bin Muawiyah untuk mengatasi pergolakan
di Irak. Akhirnya, ‘Ubaidullah dengan pasukannya berhadapan dengan Husain
radhiyallahu ‘anhu bersama keluarganya yang sedang dalam perjalanan menuju
Irak. Pergolakan ini sendiri dipicu oleh orang-orang yang ingin memanfaatkan
Husain radhiyallahu ‘anhu. Dua pasukan yang sangat tidak imbang ini bertemu,
sementara orang-orang Irak yang (telah) membujuk Husain radhiyallahu ‘anhu, dan
berjanji akan membantu dan menyiapkan pasukan justru melarikan diri
meninggalkan Husain radhiyallahu ‘anhu dan keluarganya berhadapan dengan
pasukan ‘Ubaidullah. Sampai akhirnya, terbunuhlah Husain radhiyallahu ‘anhu
sebagai orang yang terzhalimi dan sebagai syahid. Kepalanya dipenggal lalu
dibawa ke hadapan ‘Ubaidullah bin Ziyâd dan kepala itu diletakkan di bejana.
Lalu ‘Ubaidullah yang durhaka4 ini
kemudian menusuk-nusuk hidung, mulut dan gigi Husain radhiyallahu ‘anhu,
padahal disitu ada Anas bin Mâlik, Zaid bin Arqam dan Abu Barzah al-Aslami
radhiyallahu ‘anhuma. Anas radhiyallahu ‘anhu mengatakan; “Singkirkan pedangmu
dari mulut itu, karena aku pernah melihat mulut Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam mencium mulut itu!”
Mendengarnya, orang durhaka ini
mengatakan; “Seandainya saya tidak melihatmu sudah tua renta yang akalnya sudah
rusak, maka pasti kepalamu saya penggal.”
Dalam riwayat at-Tirmidzi dan Ibnu
Hibbân dari Hafshah binti Sirîn dari Anas radhiyallahu ‘anhu dinyatakan:
“Lalu ‘Ubaidullah mulai menusukkan
pedangnya ke hidung Husain radhiyallahu ‘anhu.”
Dalam riwayat ath-Thabrâni
rahimahullah dari hadits Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu:
“Lalu dia mulai menusukkan pedang
yang di tangannya ke mata dan hidung Husain radhiyallahu ‘anhu. Aku (Zaid bin
Arqam) mengatakan; ‘Angkat pedangmu, sungguh aku pernah melihat mulut
Rasulullah (mencium) tempat itu.’”
Demkian juga riwayat yang
disampaikan lewat jalur Anas bin Mâlik radhiyallahu ‘anhu:
“Aku (Anas bin Malik) mengatakan
kepadanya; ‘Sungguh aku telah melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mencium tempat dimana engkau menaruh pedangmu itu.’ Lalu Ubaidullah mengangkat
pedangnya.”
Demikianlah kejadiannya, setelah
Husain radhiyallahu ‘anhu terbunuh, kepala Beliau radhiyallahu ‘anhu dipenggal
dan ditaruh di bejana. Dan mata, hidung dan gigi Beliau radhiyallahu ‘anhu
ditusuk-tusuk dengan pedang. Para Sahabat radhiyallahu ‘anhuma yang menyaksikan
hal ini meminta kepada ‘Ubaidullah, orang durhaka ini, agar menyingkirkan
pedang itu, karena mulut Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
menempel (di) tempat itu. Alangkah tinggi rasa hormat mereka kepada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan alangkah sedih hati mereka menyaksikan cucu
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, orang kesayangan Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam dihinakan di depan mata mereka.
Dari sini, kita mengetahui betapa
banyak riwayat palsu tentang peristiwa ini yang menyatakan bahwa kepala Husain
radhiyallahu ‘anhu diarak sampai diletakkan di depan Yazid rahimahullah. Para
wanita dari keluarga Husain radhiyallahu ‘anhu dikelilingkan ke seluruh negeri
dengan kendaaraan tanpa pelana, ditawan dan dirampas. Semua ini merupakan
kepalsuan yang dibuat Rafidhah (Syiah). Karena Yazid rahimahullah saat itu
sedang berada di Syam, sementara kejadian memilukan ini berlangsung di Irak.
Syaikhul-Islam Taimiyyah
rahimahullah mengatakan; “Dalam riwayat dengan sanad yang majhul dinyatakan
bahwa peristiwa penusukan ini terjadi di hadapan Yazid, kepala Husain
radhiyallahu ‘anhu dibawa ke hadapannya dan dialah yang menusuk-nusuknya, gigi
Husain radhiyallahu ‘anhu. Disamping dalam cerita (dusta) ini terdapat isyarat
yang menunjukkan bahwa cerita ini bohong, maka (untuk diketahui juga-red) para
Sahabat yang menyaksikan peristiwa penusukan ini tidak berada di Syam, akan
tetapi di negeri Irak. Justru sebaliknya, riwayat yang dibawakan oleh beberapa
orang menyebutkan bahwa Yazid tidak memerintahkan ‘Ubaidullah untuk membunuh
Husain.”5
Yazid rahimahullah sangat
menyesalkan terjadinya peristiwa menyedihkan itu. Karena Mu’awiyah berpesan
agar berbuat baik kepada kerabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Maka, saat mendengar kabar bahwa Husain dibunuh, mereka sekeluarga menangis dan
melaknat ‘Ubaidullah. Hanya saja dia tidak menghukum dan meng-qishash
‘Ubaidullah, sebagai wujud pembelaan terhadap Husain secara tegas.6
Jadi memang benar, Husain
radhiyallahu ‘anhu dibunuh dan kepalanya dipotong, tapi cerita tentang
kepalanya diarak, wanita-wanita dinaikkan kendaraan tanpa pelana dan dirampas,
semuanya dha’if (lemah). Alangkah banyak riwayat dha’if serta dusta seputar
kejadian menyedihkan ini sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul-Islam Ibnu
Taimiyyah diatas.
Kemudian juga, kisah pertumpahan darah
yang terjadi di Karbala ditulis dan diberi tambahan-tambahan dusta.
Tambahan-tambahan dusta ini bertujuan untuk menimbulkan dan memunculkan fitnah
perpecahan di tengah kaum Muslimin. Sebagian dari kisah-kisah dusta itu bisa
kita dapatkan dalam kitab Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam
Minhâjus-Sunnah IV/517 dan 554, 556:
- Ketika hari pembunuhan terhadap Husain radhiyallahu ‘anhu, langit menurunkan hujan darah lalu menempel di pakaian dan tidak pernah hilang dan langit nampak berwarna merah yang tidak pernah terlihat sebelum itu.
- Tidak diangkat sebuah batu melainkan di bawahnya terdapat darah penyembelihan Husain radhiyallahu ‘anhu.
- Kemudian mereka juga menisbatkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebuah perkataan yang berbunyi:“Mereka ini adalah titipanku pada kalian, kemudian Allah Azza wa Jalla menurunkan ayat; ‘Katakanlah: ‘Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upah pun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan.” (QS. asy Syûrâ : 42-23)”Riwayat ini dibantah oleh para ulama diantaranya Ibnu Taimiyyah rahimahullah dengan mengatakan; “Apa masuk di akal, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menitipkan kepada makhluk padahal Allah ‘Azza wa Jalla tempat penitip yang terbaik? Sedangkan ayat diatas yang mereka anggap diturunkan Allah ‘Azza wa Jalla berkenaan dengan peristiwa pembunuhan Husain radhiyallahu ‘anhu, maka ini juga merupakan satu bentuk kebohongan. Karena ayat ini terdapat dalam surat as-Syûrâ dan surat ini Makkiyah. Allah ‘Azza wa Jalla menurunkan surat ini sebelum Ali radhiyallahu ‘anhu dan Fathimah radhiyallahu anha menikah.”
Husain radhiyallahu ‘anhu Terbunuh
sebagai Orang yang Terzhalimi dan Mati Syahid
Ini merupakan keyakinan
Ahlus-Sunnah. Pendapat ini berada diantara dua pendapat yang saling berlawanan.
Syaikhul-Islam rahimahullah mengatakan; “Tidak disangsikan lagi bahwa Husain
radhiyallahu ‘anhuma terbunuh dalam keadaan terzhalimi dan syahid. Pembunuhan
terhadap Husain radhiyallahu ‘anhu merupakan tindakan maksiat kepada Allah
‘Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari para pelaku
pembunuhan dan orang-orang yang membantu pembunuhan ini. Di sisi lain,
merupakan musibah yang menimpa kaum Muslimin, keluarga Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan yang lainnya. Husain radhiyallahu ‘anhu berhak
mendapatkan gelar syahid, kedudukan dan derajat ditinggikan.”7
Kemudian, di halaman yang sama, Ibnu
Taimiyyah rahimahullah mengatakan bahwa pembunuhan terhadap Husain radhiyallahu
‘anhu tidak lebih besar daripada pembunuhan terhadap para Rasul. Allah ‘Azza wa
Jalla telah memberitahukan bahwa Bani Isra’il telah membunuh para Nabi tanpa
alasan yang benar. Pembunuhan terhadap para Nabi itu lebih besar dosanya dan
merupakan musibah yang lebih dahsyat. Begitu pula pembunuhan terhadap ‘Ali
radhiyallahu ‘anhu (bapak Husain radhiyallahu ‘anhuma) lebih besar dosa dan
musibahnya, termasuk pembunuhan terhadap ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu juga.
Ini merupakan bantahan telak bagi
kaum Syi’ah yang meratapi kematian Husain radhiyallahu ‘anhu, namun, tidak
meratapi kematian para Nabi. Padahal pembunuhan yang dilakukan oleh Bani
Isra’il terhadap para Nabi tanpa alasan yang benar lebih besar dosa dan
musibahnya. Ini juga menunjukkan bahwa mereka bersikap ghuluw (melampau batas)
kepada Husain radhiyallahu ‘anhu.
Sikap ghuluw ini mendorong mereka
membuat berbagai hadits palsu. Misalnya, riwayat yang menerangkan bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan, pembunuh Husain
radhiyallahu ‘anhu akan berada di tabut (peti yang terbuat dari api), dia mendapatkan
siksa setengah siksa penghuni neraka, kedua tangan dan kakinya diikat dengan
rantai dari api neraka, ditelungkupkan sampai masuk ke dasar neraka dan dalam
keadaan berbau busuk, penduduk neraka berlindung dari bau busuk yang keluar
dari orang tersebut dan dia kekal di dalamnya.
Syaikhul-Islam Ibnu Tamiyyah
rahimahullah mengomentari riwayat ini dengan mengatakan; “Hadits ini termasuk
diantara riwayat yang berasal dari para pendusta.”
Menyikapi Peristiwa Karbala
Menyikapi peristiwa wafatnya Husain
radhiyallahu ‘anhu, umat manusia terbagi menjadi tiga golongan. Syaikhul-Islam
rahimahullah mengatakan; “Dalam menyikapi peristiwa pembunuhan Husain
radhiyallahu ‘anhu, manusia terbagi menjadi tiga, dua golongan yang ekstrim dan
satu berada di tengah-tengah.
Golongan Pertama: Mengatakan bahwa
pembunuhan terhadap Husain radhiyallahu ‘anhu itu merupakan tindakan benar.
Karena Husain radhiyallahu ‘anhu ingin memecah-belah kaum Muslimin. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya):
“Jika ada orang yang mendatangi kalian dalam keadaan urusan kalian berada dalam satu pemimpin lalu pendatang hendak memecah-belah jama’ah kalian, maka bunuhlah dia.”8
“Jika ada orang yang mendatangi kalian dalam keadaan urusan kalian berada dalam satu pemimpin lalu pendatang hendak memecah-belah jama’ah kalian, maka bunuhlah dia.”8
Kelompok pertama ini mengatakan
bahwa Husain radhiyallahu ‘anhu datang saat urusan kaum Muslimin berada dibawah
satu pemimpin (yaitu Yazid bin Muawiyah) dan Husain radhiyallahu ‘anhu hendak
memecah-belah umat.
Sebagian lagi mengatakan bahwa
Husain radhiyallahu ‘anhu merupakan orang pertama yang memberontak kepada
penguasa. Kelompok ini melampaui batas, sampai berani menghinakan Husain
radhiyallahu ‘anhu. Inilah kelompok ‘Ubaidullah bin Ziyâd, Hajjâj bin Yusûf dan
lain-lain. Sedangkan Yazid bin Muâwiyah rahimahullah tidak seperti itu.
Meskipun tidak menghukum ‘Ubaidullah, namun ia tidak menghendaki pembunuhan ini.
Golongan Kedua: Mereka mengatakan
Husain radhiyallahu ‘anhu adalah imam yang wajib ditaati; tidak boleh
menjalankan suatu perintah kecuali dengan perintahnya; tidak boleh melakukan
shalat jama’ah kecuali dibelakangnya atau orang yang ditunjuknya, baik shalat
lima waktu ataupun shalat Jum’at dan tidak boleh berjihad melawan musuh kecuali
dengan izinnya dan lain sebagainya.9
Kelompok pertama dan kedua ini berkumpul di Irak. Hajjâj bin Yûsuf adalah pemimpin golongan pertama. Ia sangat benci kepada Husain radhiyallahu ‘anhu dan merupakan sosok yang zhalim. Sementara kelompok kedua dipimpin oleh Mukhtâr bin Abi ‘Ubaid yang mengaku mendapat wahyu dan sangat fanatik dengan Husain radhiyallahu ‘anhu. Orang inilah yang memerintahkan pasukannya agar menyerang dan membunuh ‘Ubaidullah bin Ziyad dan memenggal kepalanya.
Golongan Ketiga: Yaitu Ahlus-Sunnah
wal-Jama’ah yang tidak sejalan dengan pendapat golongan pertama, juga tidak
dengan pendapat golongan kedua. Mereka mengatakan bahwa Husain radhiyallahu
‘anhu terbunuh dalam keadaan terzhalimi dan mati syahid. Inilah keyakinan
Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, yang selalu berada ditengah antara dua kelompok.
Ahlus-Sunnah mengatakan Husain
radhiyallahu ‘anhu bukanlah pemberontak. Sebab, kedatangannya ke Irak bukan
untuk memberontak. Seandainya mau memberontak, Beliau radhiyallahu ‘anhu bisa
mengerahkan penduduk Makkah dan sekitarnya yang sangat menghormati dan
menghargai Beliau radhiyallahu ‘anhu. Karena, saat Beliau radhiyallahu ‘anhu di
Makkah, kewibawannya mengalahkan wibawa para Sahabat lain yang masih hidup pada
masa itu di Makkah. Beliau radhiyallahu ‘anhu seorang alim dan ahli ibadah.
Para Sahabat sangat mencintai dan menghormatinya. Karena Beliaulah Ahli Bait
yang paling besar.
Jadi Husain radhiyallahu ‘anhu sama
sekali bukan pemberontak. Oleh karena itu, ketika dalam perjalanannya menuju
Irak dan mendengar sepupunya, Muslim bin ‘Aqîl, dibunuh di Irak, Beliau
radhiyallahu ‘anhu berniat untuk kembali ke Makkah. Akan tetapi, Beliau
radhiyallahu ‘anhu ditahan dan dipaksa oleh penduduk Irak untuk berhadapan
dengan pasukan ‘Ubaidullah bin Ziyâd. Akhirnya, Beliau radhiyallahu ‘anhu tewas
terbunuh dalam keadaan terzhalimi dan mati syahid.
Setan Menyebarkan Bid’ah
Syaikhul-Islam mengatakan (10);
“Dengan sebab kematian Husain radhiyallahu ‘anhu, setan memunculkan dua bid’ah
di tengah manusia.
Pertama: Bid’ah kesedihan dan
ratapan para hari ‘Asyûra (di negeri kita ini, acara bid’ah ini sudah mulai
diadakan -pen) seperti menampar-nampar, berteriak, merobek-robek, sampai-sampai
mencaci-maki dan melaknat generasi Salaf, memasukkan orang-orang yang tidak
berdosa ke dalam golongan orang yang berdosa (para Sahabat seperti Abu Bakar
dan Umar dimasukkan, padahal mereka tidak tahu apa-apa dan tidak memiliki andil
dosa sedikit pun. Pihak yang berdosa adalah yang terlibat langsung kala itu).
Mereka sampai mereka berani mencaci Sâbiqûnal-awwalûn. Kemudian riwayat-riwayat
tentang Husain radhiyallahu ‘anhu dibacakan yang kebanyakan merupakan
kebohongan. Karena tujuan mereka adalah membuka pintu fitnah (perpecahan) di
tengah umat.
Kemudian Syaikhul-Islam rahimahullah
juga mengatakan; “Di Kufah, saat itu terdapat kaum yang senantiasa membela
Husain radhiyallahu ‘anhu yang dipimpin oleh Mukhtâr bin Abi ‘Ubaid al-Kadzdzâb
(karena dia mengaku mendapatkan wahyu-pen). Di Kufah juga terdapat satu kaum
yang membenci ‘Ali dan keturunan Beliau radhiyallahu ‘anhu. Di antara kelompok
ini adalah Hajjâj bin Yûsuf ats-Tsaqafi. Dalam sebuah hadits shahîh dijelaskan,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya);
“Akan ada di suku Tsaqif seorang
pendusta dan perusak.”
Orang Syi’ah yang bernama Mukhtâr
bin Abi ‘Ubaid itulah sang pendusta. Sedangkan sang perusak adalah al-Hajjaj.
Yang pertama membuat bid’ah kesedihan, sementara yang kedua membuat bid’ah
kesenangan. Kelompok kedua ini pun meriwayatkan hadits yang menyatakan bahwa
barangsiapa melebihkan nafkah keluarganya pada hari ‘Asyûra, maka Allah ‘Azza
wa Jalla melonggarkan rezekinya selama setahun itu.”
Juga hadits “barangsiapa memakai
celak pada hari ‘Asyûra, maka tidak akan mengalami sakit mata pada tahun itu,”
dan lain sebagainya.
Kedua: Bid’ah yang kedua adalah
bid’ah kesenangan pada hari ‘Asyura. Karena itu, para khatib yang sering
membawakan riwayat ini -karena ketidak-tahuannya tentang ilmu riwayat atau
sejarah-, sebenarnya secara tidak langsung, masuk ke dalam kelompok al-Hajjâj,
kelompok yang sangat membenci Husain radhiyallahu ‘anhu. Padahal wajib bagi
kita meyakini bahwa Husain radhiyallahu ‘anhu terbunuh dalam keadaan terzhalimi
dan mati syahid. Dan wajib bagi kita mencintai Sahabat yang mulia ini dengan
tanpa melampaui batas dan tanpa mengurangi haknya, tidak mengatakan Husain
radhiyallahu ‘anhu seorang Imam yang maksum (terbebas dari semua kesalahan),
tidak pula mengatakan bahwa pembunuhan terhadap Husain radhiyallahu ‘anhu itu
adalah tindakan yang benar.
Pembunuhan terhadap Husain
radhiyallahu ‘anhu adalah tindakan maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.
Itulah sekilas mengenai beberapa
permasalahan yang berhubungan dengan peristiwa pembunuhan Husain radhiyallahu
‘anhu. Semoga bermanfaat dan memberikan pencerahan. Kita memohon kepada Allah
‘Azza wa Jalla agar menghindarkan kita semua dari berbagai fitnah yang
disebarkan oleh setan dan para tentaranya.
________________________________________
Catatan Kaki:
1. ^ Syarhu al-’Aqidah al-Wâsithiyyah, Syaikh Shalih al-Fauzan, halaman198.
2. ^ Minhâjus-Sunnah, IV/556.
3. ^ Komandan pasukan yang memerangi Husain radhiyallahu ‘anhu, pada tahun 60-61 H di Irak di sebuah daerah yang bernama Karbala.
4. ^ Ia disebut orang durhaka, karena dia tidak diperintah untuk membunuh Husain radhiyallahu ‘anhu, namun melakukannya.
5. ^ Minhâjus-Sunnah, IV/557.
6. ^ Lihat Minhâjus-Sunnah, V/557-558.
7. ^ Minhâjus-Sunnah, IV/550.
8. ^ HR. Muslim, Kitabul-Imârah.
9. ^ Minhâjus-Sunnah, IV/553.
10. ^ Minhâjus-Sunnah, IV/554.
1. ^ Syarhu al-’Aqidah al-Wâsithiyyah, Syaikh Shalih al-Fauzan, halaman198.
2. ^ Minhâjus-Sunnah, IV/556.
3. ^ Komandan pasukan yang memerangi Husain radhiyallahu ‘anhu, pada tahun 60-61 H di Irak di sebuah daerah yang bernama Karbala.
4. ^ Ia disebut orang durhaka, karena dia tidak diperintah untuk membunuh Husain radhiyallahu ‘anhu, namun melakukannya.
5. ^ Minhâjus-Sunnah, IV/557.
6. ^ Lihat Minhâjus-Sunnah, V/557-558.
7. ^ Minhâjus-Sunnah, IV/550.
8. ^ HR. Muslim, Kitabul-Imârah.
9. ^ Minhâjus-Sunnah, IV/553.
10. ^ Minhâjus-Sunnah, IV/554.