Sekitar
50 santri dan pengurus pondok pesantren Darul Akhfiya yang terletak di Desa
Kepuh, Kecamatan Kertosono, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur, dibawa ke markas
Polres Nganjuk. Tak main-main, mereka difitnah terlibat jaringan teroris,
dan dibawa aparat kepolisian pada Selasa (13/11) dini hari.
Puluhan
polisi dengan membawa senjata lengkap mendatangi pondok yang jaraknya tidak
begitu jauh dari jalan raya utama, yang menghubungkan Provinsi Jatim dengan
Provinsi Jateng tersebut.
Mereka
membawa 50 santri, termasuk pengasuh pondok yang bernama Nasiruddin Ahmad alias
Landung Tri Bawono (34), asal Sukoharjo, Solo.
Awalnya,
petugas membawa mereka ke markas Polsek Kertosono, Kabupaten Nganjuk, tapi
kemudian mereka dievakuasi ke Polres Nganjuk. Mereka dibawa menggunakan bus
untuk diangkut ke Polres Nganjuk
Kronologis
Fitnah Keterlibatan Ponpes Darul Akhfiya Terhadap Kasus Terorisme
Dari
kronologis yang dikirimkan pihak pondok pesantren Darul Akhfiya kepada redaksi
voa-islam.com, jelas tercium skenario busuk dari pihak-pihak yang tidak
bertanggung jawab untuk mengusir para santri di pondok pesantren tersebut.
Pada
tanggal 9 November 2012, di lokasi pondok didatangi sejumlah aparat desa,
pertanyaan yang diajukan; pertama, masalah perijinan dan yayasan.
Kedua, keberadaan pondok meresahkan masyarakat.
Ustadz
Nashir selaku pengurus pondok pesantren tersebut pun memberikan penjelasan
dengan baik. “Maaf pak masyarakat mana yang bapak anggap resah, sedangkan kami
disini seringkali diundang untuk mengisi khutbah Jumat stiap sholat Jumat, kami
juga sering diundang untuk melakukan kerja bakti pembangunan masjid-masjid, dan
masyarakat juga senang dengan keberadaan pondok karena kami juga sering
membantu warga masyarakat dalam proses pemanenan hasil pertanian.
Coba
bapak tunjukkan mana yang meresahkan, kalau meresahkan pastinya warga tidak
mengundang kami bahkan seringkali makan kami juga dijamin oleh warga sekitar,"
jawab ustadz Nashir.
Mendengar
jawaban diplomatis tersebut aparat desa tidak menggubris perkataan ustadz
Nashir dan tetap bersikukuh untuk segera menghentikan aktivitas pondok dan
mengosongkan lokasi pondok.
Hari
Senin, 12 November 2012 ketika rapat di balai desa, keputusannya adalah
pemaksaan agar para santri dan pengurus segera meninggalkan lokasi pondok pada
hari Senin tanggal 12 November 2012 paling lambat jam 16:00 WIB.
Karena
pihak aparat desa tidak bisa menunjukkan alasan yang tepat maka para asatidz
dan santri tidak mengindahkan pernyataan aparat desa tersebut.
Pada
akhirnya pada pukul 17:30 WIB, ada pengerahan massa sejumlah puluhan orang dari
masyarakat ke lokasi pondok untuk menekan keberadaan pondok pesantren tersebut.
Menurut
kesaksian warga sekitar, massa yang datang menentang dan mengusir santri pondok
pesantren diduga kuat bukan berasal dari desa tersebut.
“Kapan
mulih iki jarene di pakani rawon iki rokokku yo entek” (ini katanya mau dikasih
makan rawon, trus rokokku juga udah habis!) ujar salah satu massa yang hadir
saat itu.
Ada
indikasi bahwa mereka adalah orang-orang bayaran yang dipersiapkan aparat desa
untuk melakukan aksi massa.
Warga
sekitar mengungkapkan jika sebagian yang datang dalam kerumunan massa tersebut
‘anggota’ atau aparat berpakaian preman.
Warga
Merasa Senang atas Keberadaan Pondok Pesantren
Pernyataaan
aparat desa beserta aparat keamanan bahwa warga menolak Pondok Pesantren Darul
Akhfiya sangat bertentangan dengan realita di lapangan.
Masyarakat
sekitar justru sangat senang dan bersyukur adanya pondok pesantren di
lingkungan mereka. Hal ini seperti pernyataan bapak Gani menceritakan komentar
dari bapak Amin bahwa sebagai jamaah masjid Al Fattah senang para santri turut
kerja bakti di masjid.
“kami
sangat senang karena santri sering mengadakan kerja bakti di masjid ini, dan
juga membantu mengikis paham-paham Islam abangan di desa ini” ujar pak Ghani.
Memang
salah satu kegiatan dari Ponpes Darul Akhfiya adalah membantu membersihkan
masjid-masjid di sekitar. Diantara masjid yang sudah dibantu adalah Masjid Al
Fattah, Masjid Al Raudloh, dan Masjid Al Ikhlas.
Massa
Bayaran
Massa
tidak dikenal yang mendatangi dan melakukan penolakan terhadap pondok pesantren
disinyalir adalah massa bayaran dari aparat desa Kepuh Selatan yang letaknya
500M dari pondok Pesantren.
“yang
tidak setuju itu dari sana mas dari desa kepuh selatan, letaknya 500M dari
pondok,” ujar pak Gani, warga sekitar pondok.
Ketika
terjadi konsentrasi massa itu, pihak kepolisian justru membawa para santri dan
pengurus Ponpes ke Polsek setempat. Bukannya mengamankan Ponpes dari massa yang
tidak jelas, polisi justru melakukan penggeledahan di lokasi pesantren tanpa
didampingi pihak/pengurus ponpes, pengacara, ataupun aparat desa setempat.
Bahkan
tersebar berita di media massa bahwa telah ditemukan senjata laras panjang,
alat memanah, dan sebagainya, seakan-akan aparat berupaya memberikan stigma
bahwa pesantren tersebut adalah sarang teroris.
Siang
ini setelah didatangi penasehat hukum, pihak Polres menyatakan tidak ada
satupun dari 49 orang yang diamankan dari Pesantren terkait terorisme ataupun
kegiatan yang melanggar hukum lainnya dan hari ini akan dipulangkan. Sementara
opini yang berkembang di media sudah sedemikian santernya mendiskreditkan citra
pesantren tersebut. [Ahmed Widad]