ISRAEL telah menggempur Gaza sejak
hari Rabu (14/11/2011) melalui operasi militer Pillar of Defence. Aksi
militer ini dilakukan lewat serangan udara dan laut yang hingga Rabu
(21/11/2011) telah menewaskan 130 orang, 27 di antaranya anak-anak, dan korban
luka-luka mencapai lebih dari 1000 orang. Sementara dari pihak Israel, lima
orang tewas dan belasan lainnya luka-luka.[1]
Aksi militer Israel ini mendapat
dukungan dari negara-negara Barat seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Uni
Eropa karena dianggap sebagai hak Israel untuk membela diri.[2] Hal ini berdasarkan klaim dari
Israel bahwa mereka harus menyerang untuk mempertahankan diri dari serangan
roket Hamas seminggu sebelum operasi militer.
Hal ini bertentangan dengan fakta
bahwa Israel menyerang terlebih dahulu sejak Rabu (14/11/2011) dengan tewasnya
komandan Hamas Ahmed Jabari setelah dibom oleh serangan udara tentara Israel
hanya beberapa jam setelah ia menerima rancangan perjanjian gencatan senjata
jangka panjang dengan Israel.[3] Israel justru lebih memilih
aksi militer daripada perjanjian damai.
Klaim bah Israel membela diri juga
sulit untuk diterima karena faktanya mereka menjajah Palestina dan kini
berusaha mempertahankan wilayah jajahannya melawan penduduk yang telah mereka
jajah. Ini adalah kejahatan perang.
Kejahatan perang adalah tindakan
yang melanggar hukum internasional, perjanjian, kebiasaan, dan praktek-praktek
yang mengatur konflik militer antara negara-negara atau pihak-pihak yang
berperang. Kejahatan perang dapat dilakukan oleh angkatan bersenjata suatu
negara atau angkatan bersenjata yang tidak teratur.
Kejahatan perang dapat jatuh dalam
tiga kategori: kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan terhadap kemanusiaan,
dan kejahatan perang tradisional. Sulit dibantah Israel terlibat dalam tiga
jenis kejahatan perang tersebut.
Selama 66 tahun, rakyat Palestina
terus menerus terbunuh karena dunia internasional gagal menetapkan resolusi
untuk menghentikan masalah di Palestina atau mengkriminalisasikan pelaku
pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat yang dilakukan militer Israel
terhadap rakyat Palestina.
Jika kita melihat dengan cermat ke
belakang, tidak ada kejahatan perang atau gerakan sistematik terorisme di luar
Eropa sebelum bangsa Eropa dan bangsa Yahudi mendirikan negara Zionis Yahudi di
tanah Palestina. Aksi kejahatan perang dalam bentuk terorisme negara justru
pertama kali dilakukan oleh Haganah dan Irgun Zeva’i Le’umi untuk
membujuk Inggris agar mendirikan Israel.
Rakyat Palestina kemudian diusir
dari tanah airnya dan dipaksa untuk menjalani hidup sengsara sebagai
pengungsi selama lebih dari 50 tahun. Karena perjuangan rakyat Palestina
untuk mendapatkan kembali tanah mereka inilah terjadi perang konvensional,
kemudian protes sipil, dan pada akhirnya demonstrasi dengan kekerasan.
Israel menuntut Eropa dan dunia
internasional untuk menebus kejahatan terhadap mereka di masa lalu tetapi
mereka terus menerus melakukan kejahatan perang di Palestina. Dalam keadaan
putus asa, rakyat Palestina terpaksa menggunakan apa yang disebut sebagai aksi
teror.
Dunia pun mengutuknya. Tetapi dunia
tidak mengutuk aksi teror yang lebih mengerikan yang dilakukan oleh Israel
seperti pembantaian di Sabra dan Shatila, penembakan dan pembunuhan anak-anak,
penggunaan peluru yang dilapisi uranium terdeplesi yang apabila terkena satu
objek akan meledak dan mengeluarkan 40 persen uranium radioaktif yang
menyebabkan partikelnya menyebar di atmosfer bertahun-tahun setelah perang
usai, merusak DNA sperma dan sel telur sehingga menyebabkan cacat pada bayi
yang baru lahir hingga kematian fatal, bom fosfor putih yang ketika meledak
maka fosfor putih yang mematikan akan tumpah dan mengenai penduduk sipil yang
akhirnya akan memakan korban dalam jumlah besar, penghancuran rumah warga
Palestina sementara penghuninya berada di dalam, serangan pesawat dan
helikopter tempur Israel, dan bahkan kini Israel mengancam menggunakan senjata
nuklir.
Impunitas dan kebiadaban Israel
tidak boleh dibiarkan berlanjut terus menerus. Karena apabila ini terjadi, maka
akan menunjukkan kejelasan standard ganda yang digunakan Barat dengan paradigma
HAM-nya dan akibatnya justru akan menimbulkan reaksi teror yang tiada habisnya.
Penindasan dan ketidakadilan yang
dirasakan rakyat Palestina akan terus berlanjut dan tak terperikan, konflik
akan terus memanas, dan ekskalasinya semakin menajam. Komunitas internasional
termasuk juru damai, seperti Indonesia, dapat mengambil peran penting dalam
konflik ini.
Pertama, Indonesia sebagai negara
berpenduduk Islam terbesar di dunia dapat membuat pernyataan jelas dan tegas
kepada Israel agar menghentikan serangan militer ke Gaza. Setelah itu kemudian
dapat menindaklanjutinya dengan mengirimkan bantuan kemanusiaan kepada rakyat
Palestina, khususnya Gaza, untuk menunjukkan bahwa Indonesia mendukung
perjuangan kemerdekaan bangsa Palestina.
Hal ini sesuai dengan amanat UUD
1945 bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab
itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan.
Sebagai umat Islam, kita meyakini
bahwa “sesungguhnya orang Mukim itu bersaudara…” (surah al-Hujurat (49): 10)
dan sabda Rasulullah SAW bahwa “perumpamaan orang-orang yang beriman dalam hal
kasih sayang, kecintaan dan kelemah-lembutan diantara mereka adalah bagaikan
satu tubuh, apabila ada satu anggotanya yang sakit maka seluruh tubuh juga
merasakan sakit dan tidak bisa tidur” (HR. Bukhari, Muslim).
Kedua, Indonesia dapat mendesak
Dewan Keamanan PBB untuk mengambil langkah cepat dan nyata untuk menghentikan
aksi militer Israel ini agar tidak berkembang menjadi invasi seperti yang
terjadi di tahun 2008-2009. Invasi ini dilakukan dengan dalih yang sama untuk
membela diri guna merespons terorisme yang dilakukan oleh Hamas dari Gaza.
Invasi tiga minggu ini telah
membumihanguskan kota Gaza, memakan korban sebanyak 1417 orang, 926 warga sipil
tewas termasuk 313 anak-anak dan 116 wanita, dan 5303 orang terluka. Sementara
dari pihak Israel 13 orang tewas, tiga di antaranya warga sipil, dan 518 orang
terluka.[4] Kali ini harus ada sanksi yang
tegas kepada Israel agar tercipta efek jera dan kejahatan perang tidak terulang
lagi.
Ketiga, komunitas internasional
harus memperjelas bahwa aksi militer Israel dianggap sebagai kejahatan perang
karena telah melakukan serangan secara indiskriminatif. Israel harus diseret ke
Mahkamah Pidana Internasional (ICC) untuk mempertanggungjawabkan penjajahan dan
penindasan yang mereka lakukan terhadap bangsa Palestina.
Meski Indonesia belum menjadi negara
pihak dalam ICC, namun Indonesia dapat mendorong komunitas internasional agar
kejahatan Israel diselidiki dan ditindak tegas karena telah melanggar hukum
humaniter internasional dan hukum HAM.
Bentuk dukungan terhadap Pengadilan
Kejahatan Perang di Kuala Lumpur yang telah mengadili secara simbolis G.W. Bush
dan T. Blair sebagai penjahat perang, yang diinisiasi oleh mantan PM Malaysia
Mahathir Mohammad, dapat dijadikan bentuk alternatif dukungan untuk melawan
kejahatan perang.[5]
Instrumen hukum humaniter
internasional yang utama adalah Konvensi Jenewa (I-IV) tahun 1949. Konvensi
Jenewa 1949 adalah pranata hukum internasional yang pada pokoknya mengatur cara
memperlakukan tentara yang cedera, sakit atau mengalami kecelakaan di medan
perang. Konvensi ini disepakati pada 12 Agustus 1949 di Jenewa, Swiss. Pada
tahun 1977, sejumlah negara sepakat membuat aturan tambahan terhadap Konvensi
itu, kemudian dikenal sebagai Protokol Tambahan I tentang Perlindungan Terhadap
Korban Sengketa Bersenjata Internasional, dan Protokol Tambahan II tentang
Perlindungan Terhadap Korban Sengketa Bersenjata Non Internasional.[6]
Indonesia sendiri adalah negara
pihak dalam Konvensi Jenewa 1949 setelah diratifikasi tahun 1958, tetapi hingga
saat ini masih belum meratifikasi Protokol Tambahan tersebut.
Indonesia dapat mendorong agar
komunitas internasional yang termasuk dalam negara pihak Konvensi Jenewa
memenuhi kewajiban hukum mereka, seperti yang diatur dalam pasal 146 Konvensi
Jenewa Keempat, untuk menghukum setiap orang yang diduga melakukan pelanggaran
berat terhadap Konvensi Jenewa.
Keempat, Indonesia dapat menggalang
solidaritas internasional untuk membuka perbatasan di jalur Gaza agar bantuan
kemanusiaan dan rekonstruksi internasional bisa masuk. Ini penting untuk
memulihkan kehidupan warga sipil yang hancur akibat aksi militer Israel.
Indonesia dapat mendorong dunia internasional untuk mendesak Israel mematuhi
kewajiban hukum pasal 55 Konvensi Jenewa agar penjajah (Israel) menyediakan
barang yang diperlukan untuk menjamin keselamatan dan kesejahteraan warga sipil
karena sumber daya yang terbatas di Gaza.
Terakhir, agar pemerintah Indonesia
juga bersikap konsisten melihat permasalahan lain terhadap umat Islam, seperti
di Rohingya, Myanmar, misalnya.
Perlu diberikan catatan penting juga
agar umat Islam tidak lupa dengan saudara-saudaranya di tanah air yang sedang
membutuhkan uluran tangan kita semua. Kita dapat membantu saudara-saudara kita,
tidak hanya umat Islam, secara bersamaan di tanah air dan dunia internasional
tanpa harus mempermasalahkan kedua-duanya.
Skala prioritas memang ada di tanah
air tetapi tidak sewajarnya kita berdiam diri di saat krisis kemanusiaan saat
ini sedang terjadi di Gaza. Setidaknya kita bisa berdoa, memberikan sumbangan
apabila memungkinkan, peduli dengan mengikuti perkembangannya, dan mendorong
agar pemerintah kita aktif membantu perjuangan bangsa Palestina yang saat ini
sedang dijajah dan ditindas oleh Israel.
Komunitas internasional
sessungguhnya mengetahui bahwa bangsa Palestina, baik yang Muslim dan yang
non-Muslim, sedang dijajah oleh Israel dan pemukiman Yahudi di wilayah yang
dijajah Israel jelas ilegal. Sudah banyak hukum internasional atau norma
universal sebagai bangsa beradab yang dilanggar Israel.
Israel jelas melanggar Konvensi
Jenewa Keempat pasal 49 yang menyebutkan bahwa “penjajah tidak akan
mendeportasi atau mentransfer sebagian penduduknya sendiri ke wilayah yang
dijajah.” Kenyataannya, Israel telah menjajah di Tepi Barat, Jerusalem Timur,
Jaluar Gaza, dan Dataran Tinggi Golan. Fakta ini didukung oleh Palang Merah
Internasional, PBB, dan Mahkamah Internasional.[7] Tetapi apa daya mereka tak
berkutik di hadapan Israel.
*Frassminggi Kamasa. Penulis adalah mahasiswa S2 jurusan Hubungan Internasional
di Victoria University of Wellington, New Zealand.
Catatan Akhir
[1] http://news.xinhuanet.com/english/world/2012-11/21/c_123977769.htm,
http://www.tehrantimes.com/component/content/article/103493
[2] http://www.guardian.co.uk/world/2012/nov/16/us-full-backing-israel-gaza,
http://www.telegraph.co.uk/news/worldnews/middleeast/israel/9679747/Israel-to-take-whatever-action-necessary-in-Gaza.html,
http://www.jpost.com/DiplomacyAndPolitics/Article.aspx?id=292602.
[3] http://www.globalresearch.ca/israel-approved-killing-of-hamas-commander-amid-talks-on-long-term-truce/5311922
[4] http://web.archive.org/web/20090612193512/http://www.pchrgaza.org/files/PressR/English/2008/36-2009.html
[5] http://www.stuff.co.nz/world/americas/6924694/George-W-Bush-guilty-of-war-crimes,
http://www.globalresearch.ca/breaking-historic-judgment-bush-associates-found-guilty-of-torture/30816
[6] http://hukumonline.com/berita/baca/hol17528/indonesia-berniat-ratifikasi-protokol-konvensi-jenewa-1949,
http://www.icrc.org/ihl.nsf/full/380