Jumat, 23 November 2012

Dimana Indonesia Dalam Aksi Militer dan Kejahatan Perang Israel?


ISRAEL telah menggempur Gaza sejak hari Rabu (14/11/2011) melalui operasi militer Pillar of Defence. Aksi militer ini dilakukan lewat serangan udara dan laut yang hingga Rabu (21/11/2011) telah menewaskan 130 orang, 27 di antaranya anak-anak, dan korban luka-luka mencapai lebih dari 1000 orang. Sementara dari pihak Israel, lima orang tewas dan belasan lainnya luka-luka.[1]


Aksi militer Israel ini mendapat dukungan dari negara-negara Barat seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Uni Eropa karena dianggap sebagai hak Israel untuk membela diri.[2] Hal ini berdasarkan klaim dari Israel bahwa mereka harus menyerang untuk mempertahankan diri dari serangan roket Hamas seminggu sebelum operasi militer.

Hal ini bertentangan dengan fakta bahwa Israel menyerang terlebih dahulu sejak Rabu (14/11/2011) dengan tewasnya komandan Hamas Ahmed Jabari setelah dibom oleh serangan udara tentara Israel hanya beberapa jam setelah ia menerima rancangan perjanjian gencatan senjata jangka panjang dengan Israel.[3] Israel justru lebih memilih aksi militer daripada perjanjian damai.

Klaim bah Israel membela diri juga sulit untuk diterima karena faktanya mereka menjajah Palestina dan kini berusaha mempertahankan wilayah jajahannya melawan penduduk yang telah mereka jajah. Ini adalah kejahatan perang.

Kejahatan perang adalah tindakan yang melanggar hukum internasional, perjanjian, kebiasaan, dan praktek-praktek yang mengatur konflik militer antara negara-negara atau pihak-pihak yang berperang. Kejahatan perang dapat dilakukan oleh angkatan bersenjata suatu negara atau angkatan bersenjata yang tidak teratur.

Kejahatan perang dapat jatuh dalam tiga kategori: kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang tradisional. Sulit dibantah Israel terlibat dalam tiga jenis kejahatan perang tersebut.

Selama 66 tahun, rakyat Palestina terus menerus terbunuh karena dunia internasional gagal menetapkan resolusi untuk menghentikan masalah di Palestina atau mengkriminalisasikan pelaku pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat yang dilakukan militer Israel terhadap rakyat Palestina.

Jika kita melihat dengan cermat ke belakang, tidak ada kejahatan perang atau gerakan sistematik terorisme di luar Eropa sebelum bangsa Eropa dan bangsa Yahudi mendirikan negara Zionis Yahudi di tanah Palestina. Aksi kejahatan perang dalam bentuk terorisme negara justru pertama kali dilakukan oleh Haganah dan Irgun Zeva’i Le’umi untuk  membujuk Inggris agar mendirikan Israel.

Rakyat Palestina kemudian diusir dari tanah airnya dan dipaksa untuk menjalani hidup sengsara sebagai pengungsi  selama lebih dari 50 tahun. Karena perjuangan rakyat Palestina untuk mendapatkan kembali tanah mereka inilah terjadi perang konvensional, kemudian protes sipil, dan pada akhirnya demonstrasi dengan kekerasan.

Israel menuntut Eropa dan dunia internasional untuk menebus kejahatan terhadap mereka di masa lalu tetapi mereka terus menerus melakukan kejahatan perang di Palestina. Dalam keadaan putus asa, rakyat Palestina terpaksa menggunakan apa yang disebut sebagai aksi teror.

Dunia pun mengutuknya. Tetapi dunia tidak mengutuk aksi teror yang lebih mengerikan yang dilakukan oleh Israel seperti pembantaian di Sabra dan Shatila, penembakan dan pembunuhan anak-anak, penggunaan peluru yang dilapisi uranium terdeplesi yang apabila terkena satu objek akan meledak dan mengeluarkan 40 persen uranium radioaktif yang menyebabkan partikelnya menyebar di atmosfer bertahun-tahun setelah perang usai, merusak DNA sperma dan sel telur sehingga menyebabkan cacat pada bayi yang baru lahir hingga kematian fatal, bom fosfor putih yang ketika meledak maka fosfor putih yang mematikan akan tumpah dan mengenai penduduk sipil yang akhirnya akan memakan korban dalam jumlah besar, penghancuran rumah warga Palestina sementara penghuninya berada di dalam, serangan pesawat dan helikopter tempur Israel, dan bahkan kini Israel mengancam menggunakan senjata nuklir.

Impunitas dan kebiadaban Israel tidak boleh dibiarkan berlanjut terus menerus. Karena apabila ini terjadi, maka akan menunjukkan kejelasan standard ganda yang digunakan Barat dengan paradigma HAM-nya dan akibatnya justru akan menimbulkan reaksi teror yang tiada habisnya.

Penindasan dan ketidakadilan yang dirasakan rakyat Palestina akan terus berlanjut dan tak terperikan, konflik akan terus memanas, dan ekskalasinya semakin menajam. Komunitas internasional termasuk juru damai, seperti Indonesia, dapat mengambil peran penting dalam konflik ini.

Pertama, Indonesia sebagai negara berpenduduk Islam terbesar di dunia dapat membuat pernyataan jelas dan tegas kepada Israel agar menghentikan serangan militer ke Gaza. Setelah itu kemudian dapat menindaklanjutinya dengan mengirimkan bantuan kemanusiaan kepada rakyat Palestina, khususnya Gaza, untuk menunjukkan bahwa Indonesia mendukung perjuangan kemerdekaan bangsa Palestina.

Hal ini sesuai dengan amanat UUD 1945 bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.

Sebagai umat Islam, kita meyakini bahwa “sesungguhnya orang Mukim itu bersaudara…” (surah al-Hujurat (49): 10) dan sabda Rasulullah SAW bahwa “perumpamaan orang-orang yang beriman dalam hal kasih sayang, kecintaan dan kelemah-lembutan diantara mereka adalah bagaikan satu tubuh, apabila ada satu anggotanya yang sakit maka seluruh tubuh juga merasakan sakit dan tidak bisa tidur” (HR. Bukhari, Muslim).

Kedua, Indonesia dapat mendesak Dewan Keamanan PBB untuk mengambil langkah cepat dan nyata untuk menghentikan aksi militer Israel ini agar tidak berkembang menjadi invasi seperti yang terjadi di tahun 2008-2009. Invasi ini dilakukan dengan dalih yang sama untuk membela diri guna merespons terorisme yang dilakukan oleh Hamas dari Gaza.

Invasi tiga minggu ini telah membumihanguskan kota Gaza, memakan korban sebanyak 1417 orang, 926 warga sipil tewas termasuk 313 anak-anak dan 116 wanita, dan 5303 orang terluka. Sementara dari pihak Israel 13 orang tewas, tiga di antaranya warga sipil, dan 518 orang terluka.[4] Kali ini harus ada sanksi yang tegas kepada Israel agar tercipta efek jera dan kejahatan perang tidak terulang lagi.

Ketiga, komunitas internasional harus memperjelas bahwa aksi militer Israel dianggap sebagai kejahatan perang karena telah melakukan serangan secara indiskriminatif. Israel harus diseret ke Mahkamah Pidana Internasional (ICC) untuk mempertanggungjawabkan penjajahan dan penindasan yang mereka lakukan terhadap bangsa Palestina.

Meski Indonesia belum menjadi negara pihak dalam ICC, namun Indonesia dapat mendorong komunitas internasional agar kejahatan Israel diselidiki dan ditindak tegas karena telah melanggar hukum humaniter internasional dan hukum HAM.

Bentuk dukungan terhadap Pengadilan Kejahatan Perang di Kuala Lumpur yang telah mengadili secara simbolis G.W. Bush dan T. Blair sebagai penjahat perang, yang diinisiasi oleh mantan PM Malaysia Mahathir Mohammad, dapat dijadikan bentuk alternatif dukungan untuk melawan kejahatan perang.[5]

Instrumen hukum humaniter internasional yang utama adalah Konvensi Jenewa (I-IV) tahun 1949. Konvensi Jenewa 1949 adalah pranata hukum internasional yang pada pokoknya mengatur cara memperlakukan tentara yang cedera, sakit atau mengalami kecelakaan di medan perang. Konvensi ini disepakati pada 12 Agustus 1949 di Jenewa, Swiss. Pada tahun 1977, sejumlah negara sepakat membuat aturan tambahan terhadap Konvensi itu, kemudian dikenal sebagai Protokol Tambahan I tentang Perlindungan Terhadap Korban Sengketa Bersenjata Internasional, dan Protokol Tambahan II tentang Perlindungan Terhadap Korban Sengketa Bersenjata Non Internasional.[6]

Indonesia sendiri adalah negara pihak dalam Konvensi Jenewa 1949 setelah diratifikasi tahun 1958, tetapi hingga saat ini masih belum meratifikasi Protokol Tambahan tersebut.

Indonesia dapat mendorong agar komunitas internasional yang termasuk dalam negara pihak Konvensi Jenewa memenuhi kewajiban hukum mereka, seperti yang diatur dalam pasal 146 Konvensi Jenewa Keempat, untuk menghukum setiap orang yang diduga melakukan pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa.

Keempat, Indonesia dapat menggalang solidaritas internasional untuk membuka perbatasan di jalur Gaza agar bantuan kemanusiaan dan rekonstruksi internasional bisa masuk. Ini penting untuk memulihkan kehidupan warga sipil yang hancur akibat aksi militer Israel. Indonesia dapat mendorong dunia internasional untuk mendesak Israel mematuhi kewajiban hukum pasal 55 Konvensi Jenewa agar penjajah (Israel) menyediakan barang yang diperlukan untuk menjamin keselamatan dan kesejahteraan warga sipil karena sumber daya yang terbatas di Gaza.

Terakhir, agar pemerintah Indonesia juga bersikap konsisten melihat permasalahan lain terhadap umat Islam, seperti di Rohingya, Myanmar, misalnya.

Perlu diberikan catatan penting juga agar umat Islam tidak lupa dengan saudara-saudaranya di tanah air yang sedang membutuhkan uluran tangan kita semua. Kita dapat membantu saudara-saudara kita, tidak hanya umat Islam, secara bersamaan di tanah air dan dunia internasional tanpa harus mempermasalahkan kedua-duanya.

Skala prioritas memang ada di tanah air tetapi tidak sewajarnya kita berdiam diri di saat krisis kemanusiaan saat ini sedang terjadi di Gaza. Setidaknya kita bisa berdoa, memberikan sumbangan apabila memungkinkan, peduli dengan mengikuti perkembangannya, dan mendorong agar pemerintah kita aktif membantu perjuangan bangsa Palestina yang saat ini sedang dijajah dan ditindas oleh Israel.

Komunitas internasional sessungguhnya mengetahui bahwa bangsa Palestina, baik yang Muslim dan yang non-Muslim, sedang dijajah oleh Israel dan pemukiman Yahudi di wilayah yang dijajah Israel jelas ilegal. Sudah banyak hukum internasional atau norma universal sebagai bangsa beradab yang dilanggar Israel.

Israel jelas melanggar Konvensi Jenewa Keempat pasal 49 yang menyebutkan bahwa “penjajah tidak akan mendeportasi atau mentransfer sebagian penduduknya sendiri ke wilayah yang dijajah.” Kenyataannya, Israel telah menjajah di Tepi Barat, Jerusalem Timur, Jaluar Gaza, dan Dataran Tinggi Golan. Fakta ini didukung oleh Palang Merah Internasional, PBB, dan Mahkamah Internasional.[7] Tetapi apa daya mereka tak berkutik di hadapan Israel.

*Frassminggi Kamasa. Penulis adalah mahasiswa S2 jurusan Hubungan Internasional di Victoria University of Wellington, New Zealand.
Catatan Akhir