Tidak banyak orang Indonesia tahu, bahwa Diah S Darmawaty adalah insinyur
wanita jebolan Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) kini berganti nama
menjadi PT Dirgantara Indonesia, karirnya menanjak di Boeing Company, Seattle,
Amerika Serikat.
Cenderung pendiam dan lebih banyak bekerja keras sambil belajar (learning
by doing), Diah kini menjadi ‘srikandi alumnus IPTN’’ yang pantas diapresiasi.
Bahkan bisa ‘dibanggakan’ sebagai anak kandung ‘bapak pembangunan teknologi’
Prof BJ Habibie, mantan Menristek dan Presiden RI. Mengapa Diah layak
diapresiasi?
Pasalnya, dari sekitar 30-an alumni IPTN yang berkiprah di Boeing yang
hampir semua pria, Diah adalah satu dari dua perempuan yang berhasil menanjak
karirnya di bidang aeronatika. Perempuan kelahiran 40 tahun lalu itu dikenal
tak suka banyak bicara apalagi bertemu wartawan.
Di bawah udara dingin dengan rintik salju tipis, saya temui Diah di luar
jam kerja Boeing, perusahaan pembuat pesawat terbang AS yang super sibuk itu,
kemarin. “Terimakasih Tuhan, saya tak menyangka, kita dipertemukan di sini
ya?,” ujarnya tersenyum, didampingi sang suami Ir Effendy.
Beberapa teman lulusan IPTN seperti Ir Tony Soeharto dan Ir Soepeno yang
juga tinggal di Seattle merekomendasikan saya untuk bertemu dengan Diah. Banyak
orang mengira dia lulusan ITB, padahal bukan. Dia datang dari kampus Sriwijaya,
Palembang. Di Boeing, banyak orang AS tak tahu dimana Sriwijaya itu, di
Indiakah? Atau di Bali?.
Sebagai ‘anak negeri’ dari Palembang, Diah Darmawaty yang lulusan Fakultas
Teknik Sipil Universitas Sriwijaya, Sumsel itu, tidak pernah menyangka akan
dipanggil test Boeing dan bekerja di perusahaan raksasa dengan karyawan lebih
dari 160 ribu orang dan produksi pesawat lebih dari 1 unit per hari atau lebih
dari 365 pesawat per tahun.
“Setelah banyak rekan saya terkena lay off (pensiun dini) oleh IPTN
akibat krisis moneter yang menerjang Indonesia 1997-1998, saya sempat
termenung, tidak tahu harus bagaimana dan saya tetap berkiprah di IPTN sampai
2004, di tengah situasi gonjang-ganjing. Saya bertahan ingin berkarir di IPTN
sebagai seorang insinyur,” tutur Diah pelan.
Diah merasa ia bukan tipe pemikir dan cendekiawan. Ia hanya merasa seorang
insinyur yang terkagum dan ingin meneruskan cita-cita dan kehebatan Prof BJ
Habibie. “Dia orang hebat, the great engineer, yang mendidik saya di
IPTN. Saya anak negeri, dari Palembang, yang sering dianggap seperti ‘anak
bawang’ di IPTN karena saya bukan alumnus ITB,UI atau UGM,” bebernya.
Dalam bekerja, ia selalu ingat pesan ibu dan ayahnya di Palembang agar tak boleh
menyerah, banyak belajar dan menyesuaikan diri. “Ini menyangkut dignity dan
harga diri,” imbuhnya dengan mata berkaca-kaca mengenang hari-hari pertamanya
sebagai ‘wong kito galo’ di IPTN pada 1993.
Pada waktu itu, Diah yang berlatar insinyur Teknik Sipil UNSRI harus
belajar Aeronatika dengan cepat dan tepat , jika tak mau terkena PHK dari IPTN.
“Background saya civil engineering, bukan Aeronatika. Ini hal baru bagi saya,’’
katanya perlahan.
Diah memang masih berada di ‘zona masa percobaan’ dalam prosesi training
untuk waktu sebulan-dua bulan di IPTN yang megah saat era Orde Baru itu. “IPTN
pimpinan Pak Habibie adalah sekolah terbaik dan kebanggaan simbolik kita
sebagai insinyur Indonesia yang bekerja di bidang aeronatika, saya tak akan
melupakannya,” tandasnya.
Begitu Diah ditempatkan pada analisa struktur di IPTN, dia meminta bantuan
suaminya membeli buku dan memfoto kopi buku-buku aeronatika untuk beradaptasi
pada pekerjaannya sebagai ‘orang baru’ IPTN yang harus berlatih semi otodidak
dalam menempa ilmu di industri dirgantara. Beberapa tahun berkiprah di IPTN,
Diah berkembang karirnya sebagai analis struktur.
Namun sejarah berkata dan berkehendak lain. Diah kemudian harus menghadapi
kenyataan dimana krisis moneter yang menerjang Indonesia dan Asia 1997-1998,
membuat IPTN drop dan kolaps, serta harus melakukan perampingan ribuan
karyawan.
Tapi dari tragedi industry dirgantara ini, Diah, ibu seorang puteri yang
selalu bangga dengan ke-Indonesiaan dan kemuslimannya, kemudian bangkit,
berubah dan mengubah diri menjadi seorang Srikandi bidang Aeronatika? Bagaimana
kisahnya?
Suatu hari, pada 2004, atas saran suami dan keluarga, Diah memilih mundur
dari IPTN karena kondisi kerja yang sangat tidak kondusiif, akibat tata kelola
organisasi, dan kondisi keuangan di industri aeronatika ini sudah sangat
merosot dan banyak himpitan masalah serta tak ada kepastian ke depan. Diah
mencari alternatif di rimba kehidupan yang sulit.
Sekian bulan, di luar dugaan, kemudian ada email dari agen Boeing untuk
Diah yang masih tinggal di Bandung. Ia berfikir email itu hanya orang iseng
atau main-main atau spam/salah email. Seminggu kemudian email itu ia sampaikan
kepada suaminya, Ir Effendy, salah satu lulusan terbaik Fakultas Teknik Universitas
Sriwijaya,Palembang, bahwa ada email dari agen Boeing.
“Suami saya bilang sebaiknya email dibalas, siapa tahu itu email beneran.
Lalu saya balas, ternyata itu email dari agen Boeing berdasarkan informasi dan
rekomendasi dari orang Kanada, mantan mentor saya di IPTN, yang sudah berkiprah
di Jerman atau Eropa. Sekian hari kemudian, saya kemudian dites/diseleksi oleh
Boeing dan ternyata diterima, karena pertolongan Allah,” imbuhnya.
Maka, berangkatlah Diah ke Boeing Company sekitar 2004, untuk memulai bekerja
sebagai ‘anak rantauan’ di negeri Paman Sam. Bahasa Inggrisnya yang cukup baik,
sangat menolong Diah dalam mengejar kelolosan selama masa percobaan dalam karir
di industry aeronatika kaliber dunia itu. “Apabila menguasai bahasa Inggris
dengan baik, sebenarnya alumni IPTN hebat-hebat, tak kalah sama India,
Malaysia, Timur Tengah dan China,” katanya.
Tapi di Boeing, Diah belum lupa bahwa ‘hantu PHK’ sebagaimana tragedi IPTN,
ternyata berulang. Kali ini akibat Bom di World Trade Center (WTC) New York,
September 2001 (tragedy 9/11) yang membuat rakyat AS enggan naik pesawat karena
ancaman terorisme dan pasar dunia.
Akibatnya fatal, Boeing pada 2001, tiga tahun sebelum Diah bergabung,
melakukan PHK berskala besar. “Dan kegalauan, ketegangan dan kepasrahan saya
dengar menggelayuti ribuan karyawannya, dimana sejumlah insinyur lulusan IPTN
yang sudah bekerja di Boeing terkena dampaknya di PHK. Yah begitulah nasib.
Saya bergabung ke Boeing dengan memori ancaman PHK dapat terjadi setiap saat,
tapi saya harus berbuat, saya siap risiko,” ujar Diah.
Diah memutuskan bergabung ke Boeing pada 2004, dengan memori kelam bahwa
ada PHK massal di Boeing pada 2001 yang sewaktu-waktu bisa saja terjadi lagi.
“Sungguh, saya siap menerima risiko apapun, begitulah nasib orang swasta,
apalagi ini di Amerika yang menuntut disiplin dan keseriusan keras dalam
bekerja,” imbuhnya.
Dalam prosesi masa percobaan di Boeing, Diah dinyatakan lolos dan lepas
dari ancaman lay off. Pada 2004 itu, Diah sempat mencari tahu bahwa beberapa
insyinyur dari India, AS, Indonesia, China, Arab dan sebagainya terkena lay
off. Keadaan ini mendorongnya bekerja dengan keras dan belajar dengan
cerdas, karena ingin membawa nama baik Indonesia dari alam Sriwijaya.
Kini Diah sudah mapan dalam karirnya di Boeing sebagai ‘senior leader’ yang
sudah beberapa kali menangani proyek-proyek penting untuk struktur interior
pesawat dari jenis Boeing 737, 767, 747, kecuali Boeing 787. Yang lebih
membanggakan, anak buahnya lebih dari 20 insinyur semuanya pria dari AS, India,
Rusia, Kanada dan negara lainnya. Diah pernah memperoleh penghargaan dari CEO
Boeing Commercial Aircraft pada 2011.
Kini Diah menempati rumah di Mukilteo, Washington dengan sang suami Ir
Effendy dan puteri semata wayangnya, Riri yang masih SMA di Kamiak High School,
Mukilteo, kota indah menghadap samudera Pasifik ini.
“Sampaikan salam saya untuk Pak Habibie dan staf PT DI maupun Habibie
Center, saya rindu,” kata Diah yang bertugas di bidang Interior Responsibility
Center, Boeing Co mengakhiri pembicaraannya. [mdr]
Sumber http://web.inilah.com