Ir Tonny H Soeharto dikenal sebagai ‘kepala suku’ bagi diaspora alumni IPTN
yang berkiprah di Boeing Company, Seattle, AS. Alumnus Teknik Mesin ITB tak
lelah menggalang persaudaraan ‘anak-anak negeri’ di Washington, Seattle.
Tonny dikenal sebagai sosok yang hangat membangun kebersamaan alumni IPTN,
kini PT Dirgantara Indonesia, dan keluarga Indonesia di Seattle sehingga nyaris
tak ada orang yang tidak kenal sosok didikan Prof Habibie dalam ilmu dan
teknologi aeronatika itu. Dialah yang membuka pintu bagi riset independen saya
di Seattle.
“Selamat datang dan ayo kita makan malam,” ujarnya perlahan ketika
menyambut saya tiba di rumahnya yang asri di 148 Ave North East, Bellevue,
Seattle. Di tengah kesibukannya yang luar biasa, Tonny Soeharto rajin
menggerakkan pengajian dan kegiatan sosial, sholat di masjid dan puasa
Senin-Kamis.
Lulusan ITB 1982 di Boeing Company itu adalah Lead Engineer-MRB Production
Support Engineering Boeing 777. Tonny yang berdarah Purworejo, Kedu dan Bali
itu berkiprah di pembuatan pesawat berbadan lebar untuk lintas benua.
Tonny termasuk orang yang merasakan kejayaan IPTN sekaligus duka tatkala
BUMN yang kini berganti nama menjadi PT Dirgantara Indonesia itu diterjang
gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal pada 1998/2000 yang dialami
anak-anak negeri.
Tonny masuk pada 1982 di pabrik pesawat kreasi BJ Habibie itu. Tonny
kemudian meminta pensiun dini dari IPTN pada 1998. Semasa di IPTN, ayah dua
anak yakni Aditya (alumnus teknik sipil Universitas Washington dan Paramita,
mahasiswi teknIk Arsitektur Universitas Washington, Seattle) ini pernah
ditugaskan belajar di Spanyol beberapa tahun.
Karena itu, tak sulit bagi Tonny untuk diterima di Boeing pada 1999.
"Saya orang IPTN pertama yang kerja di Boeing," kenang mantan Vice
President IPTN North America di Seattle itu.
Tonny berkisah, setamat SMA d Bali, masuk ke ITB dan beradaptasi dengan
lingkungan budaya Sunda yang ramah, gotong-royong dan sangat baik. Di ITB Tonny
pun menemukan jodoh yakni Ir Wartini yang juga alumnus IPTN.
“Mas Tonny Soeharto, istri dan keluarganya adalah pribadi yang hangat,
terbuka dan selalu ‘ngewongke’ (memanusiakan) anak-anak negeri,” kata Ir
Soepeno dan Ir Diah S Darmawaty, dua alumni IPTN yang kini tinggal di Seattle
ditemui terpisah, kemarin. “Mas Tonny adalah pemimpin informal yang dituakan
atau katakanlah dia itu ‘kepala suku’ alumni IPTN di Seattle ini,” imbuh Diah.
Tonny sebagai ‘kepala suku’ adalah sosok hangat yang tak lelah membawa saya
untuk bertemu dan berdiskusi dengan para alumni IPTN di Boeing Company antara
lain Ir Diah S Darmawaty (alumnus Teknik Sipil Universitas Sriwijaya), Ir Lily
Iriana (alumnus Sipil FT ITB), Ir Rahmat Sudrajat (FT Univ.Ahmad Yani Bandung)
dan Ir Soepeno (alumnus Mesin ITB),Ir Dudi Prasetio (lulusan Teknik Mesin
Universitas Brawijaya), Ir Bram Djermani (lulusan Universitas Toledo,USA) dan
belasan lainnya. Tonny merupakan satu dari sekitar 30 orang Indonesia yang kini
bekerja di Boeing.
Menurut Tonny, para insinyur IPTN itu hijrah dari Indonesia ke Boeing
Amerika demi harkat, martabat dan harga diri sebagai anak negeri yang bertarung
di pasar global, dengan suka dukanya. Tonny mengakui, sudah bukan lagi cerita
aneh bahwa orang-orang Indonesia jebolan IPTN dan program Habibie yang bekerja
di Boeing itu merasa bangga sekaligus prihatin.
“Hari depan industri PT Dirgantara Indonesia (PT DI) masih prospektif.
Pimpinannya sekarang butuh dukungan negara agar bisa berkembang maju. Saya
yakin kita mampu dan Presiden SBY maupun Meneg BUMN Dahlan Iskan tidak perlu
ragu. Kepercayaan adalah amanah,” kata Tonny Soeharto yang sejak 1999 sudah
berkarir di pabrik pesawat terbang terkemuka dan tertua di dunia itu. Tonny merupakan
satu dari sekitar 30 orang Indonesia yang kini bekerja di Boeing.
Tonny menuturkan, untuk memajukan industri kedirgantaraan Indonesia, tidak
hanya diperlukan kebijakan yang baik dari pemerintah. Kebijakan tersebut juga
harus disertai tindakan nyata dalam mendukung riset yang dilakukan para tenaga
ahli, pakar dan cendikiawan.
Seraya merujuk nama Prof Habibie, dia menguraikan bahwa pada 16 tahun lalu,
Indonesia sudah mampu membuat pesawat N-250 Gatot Kaca dan CN-235 serta
produk-produk lainnya yang sempat mendulang sukses di dunia penerbangan
nasional dan internasional. Namun saat krisis moneter 19971998, atas desakan
IMF, kejayaan industri IPTN tersebut terpaksa harus pupus karena berbagai
alasan, yang bersifat sangat politis ala IMF.
Tonny mengaku banyak pihak bertanya kemana sekarang alumni IPTN setelah
pabrik pesawat terbang nasional itu terpuruk? “Lebih dari 100 orang tersebar di
Inggris, Prancis, Jerman (Airbus), Brasil, Kanada, dan Amerika Serikat (AS).
Sekitar 30-an alumni IPTN di antaranya berkarir di Boeing Company, Seattle, AS
dengan karir yang baik, kompetitif. Mereka berjuang demi martabat manusia
Indonesia dan melawan kekalahan,” kata Tonny.
Tonny juga mengimbau agar seluruh jajaran PT DI di bawah pimpinan Dr Budi
Santoso, bekerja keras dan cerdas, well-managed, untuk menyelesaikan pesawat
pesanan Kementrian Pertahanan dan lembaga lain secara tepat waktu dan bermutu
baik bisa bangkit kembali. “Saya yakin mereka mampu,” imbuhnya.
“Ijinkan saya berpesan kepada Kepala Negara dan masyarakat bahwa harus ada
menteri atau presiden/wapres yang sekokoh Habibie untuk mengembangkan industri
dirgantara agar bisa membawa peradaban kita maju di Asia dan dunia,” imbuh
Tonny. [mdr]
Sumber http://web.inilah.com