Muslim Burma atau Myanmar — negara di selatan-timur Asia– mengeluhkan
berbagai diskriminasi dan pelanggaran di tanah air mereka sendiri. Myo Win,
seorang Muslim Burma, mengaku mengalami diskriminasi sejak dia masih berusia
muda.
“Sebagian besar siswa dan bahkan guru di sekolah memperlakukan siswa dari
kalangan minoritas (Muslim),” kata Myo kepada ABC News, Minggu (18/3).
“Mereka pikir kami orang asing, kami orang luar, walaupun nenek moyang kita
lahir di Burma.”
Myo tidak sendirian. Muslim Burma lainnya, Zaw Minn Htwe, juga berbicara
tentang pelanggaran berulang tanpa alasan yang jelas selain hanya karena
dirinya Muslim.
Dia ingat ketika dijuluki sesama siswa sebagai “Kalar”. “Ini penghinaan,
terutama bagi orang Muslim,” katanya. “Itu artinya kami bukan orang Burma.”
Myanmar’s Muslims, mainly of Rohingyas ethnic minority, number upwards of
five percent of the nation’s more than 50 million people. Muslim Myanmar,
terutama dari minoritas etnis Rohingya, jumlah lebih dari lima persen bangsa
lebih dari 50 juta orang.
Muslim Burmi, utamanya dari etnis Rohingya, telah lama menderita
diskriminasi dan pelecehan di tangan militer.
Amandemen terhadap undang-undang kewarganegaraan tahun 1982 telah mencabut
kewarganegaraan mereka dan membuat mereka menjadi imigran ilegal di tanah air
mereka sendiri.
Burma berpenduduk mayoritas Budha. Selain Rohingya yang Muslim, ada
keturunan India-Muslim yang tinggal di Yangon dan etnis-Cina Muslim, yang
dikenal sebagai “Panthay”
Zaw ingat saat terburuknya tahun 2003, ketika toko teh keluarganya diserang
oleh biarawan, menyusul adanya pengrusakan patung-patung Buddha di Afghanistan
oleh kelompok Taliban.
“Mereka ingin membalas dendam karena orang Muslim telah menghancurkan
patung Budha di Afghanistan,” katanya kepada ABC News. ”Kami belum
mendengar tentang kasus Afghanistan sebelumnya, dan kami tidak tahu orang dari
Afganistan, tetapi mereka menjadikan kami sebagai target”.
“Suatu hari mereka datang ke toko teh kami, kami harus bersembunyi di rumah
kami, dan kemudian mereka menghancurkannya. Saya sangat takut, benar-benar
takut…”
Serangan tersebut membuat Zaw punya perasaan bahwa ia diperlakukan sebagai
warga kelas dua di tanah airnya yang diperintah militer sejak tahun 1962 sampai
tahun lalu.
“Saat itu saya tidak bisa mempercayai siapa pun, bahkan tetangga kami,
mereka tidak melindungi kami.”
Sumber http://www.fimadani.com