Novel Negeri 5 Menara (N5M) mulai dilirik produser film sejak 2009.
Penulisnya, Ahmad Fuadi (39) tidak mau gegabah. Ia berpikir 14 bulan sebelum
menandatangani kontrak dengan Million Pictures pada Februari 2011.
Fuadi mendiskusikan kemungkinan melayarlebarkan N5M dengan sang istri, yang
terlibat dalam proses penyuntingan novel. “Akhirnya, kami putuskan ya, N5M
boleh difilmkan,” ucapnya. “Ada sembilan produser yang minta izin memfilmkan N5M.
Saya mengobrol panjang dan memilih Million Pictures, karena sesuai dengan visi
saya,” papar novelis kelahiran Maninjau, Sumatera Barat.
Novel N5M diinspirasi kisah hidup Fuadi, meski tidak murni. Ibarat
bangunan, tiang-tiang dan fondasi adalah kisah nyata yang pernah dijalani
Fuadi. Sementara jendela, pintu, gorden, fiksi yang ditambahkan. Benang
merahnya di perantauan. Perjalanan anak berumur 15 tahun dari kampung sampai ke
Bandung, Amerika, Eropa. “Benang merahnya diisi semangat "man jadda
wajada" dan doa orangtua. Diisi pula guru-guru yang menginspirasi semasa
di pesantren,” kenang suami Danya Dewanti ini.
Guru-guru pesantren yang dimaksud, KH Syukri Zarkasyi, KH Hasan Abdullah
Sahal, KH Imam Badri. Guru di Bandung antara lain Satar Sinaga dan Ustaz
Sulaiman. Kisah sukses Fuadi di rantau membuktikan, pesantren bukan melulu
belajar agama. "Ketika ke luar negeri saya sering bertemu lulusan
pesantren, lho. Terakhir, ketika ke Moskwa, saya bertemu lulusan pesantren yang
kini jadi diplomat. Pesantren bukan soal belajar agama. Belajar agama bisa di
mana saja bisa. Di pesantren, kita belajar hidup,” begitu Fuadi berpendapat. Di
pesantren, Fuadi mengombinasikan ilmu seni, kepemimpinan, agama, dan bahasa.
Kehidupan di pesantren berpengaruh besar dalam diri Fuadi. Kehidupan ini
pula yang dituang dalam novel N5M. Filmnya sendiri akan tayang di
bioskop 1 Maret mendatang. Menulis versi Fuadi, dimulai dengan pertanyaan, why.
Mengapa? Setelah menemukan jawabnya, akan ada energi luar biasa. Sebelum
menulis N5M, ia bertanya kepada diri sendiri mengapa harus menulis?
Karena ingin berbagi.
Fuadi lantas terkenang nasihat salah satu gurunya, bahwa sebaik-baiknya
manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain. Lulusan Universitas George
Washington ini merasa bermanfaat ketika menulis. Pertanyaan berikutnya, what?
Apa yang mau ditulis? “Tulislah sesuatu yang Anda suka, yang membuat Anda
tidak pernah lelah dan memengaruhi hidup. Pengalaman belajar di Pondok Modern
Darussalam Gontor, Ponorogo, sangat berkesan. Dari situ saya mulai banyak
membaca dan menulis,” demikian Fuadi berbagi tip. Prinsipnya, menulis harus
diimbangi aktivitas baca buku. N5M misalnya diselesaikan 1,5 tahun.
Fuadi menggambarkan menulis sebagai proses day by day. Bayangkan,
jika Anda menulis tiap hari satu jam saja. Tiap satu jam Anda hanya mengetik
satu halaman. “Kalau satu hari Anda menulis 1 halaman saja, dalam setahun Anda
bisa menulis buku setebal novel saya sekarang! Pertanyaan ketiga, when.
Kapan mau menulis? Sekarang juga!” serunya. Kalau di tengah jalan semangat
menulis merosot, kembalilah ke pertanyaan awal: mengapa harus menulis?
Jangan-jangan karena jawaban atas pertanyaan why belum kuat. Anjloknya semangat menulis di tengah jalan menurut Fuadi wajar. “Namanya writer’s block. Sudah satu jam menghadap komputer, enggak ada satu kata pun yang ditulis,” ujarnya.
Jangan-jangan karena jawaban atas pertanyaan why belum kuat. Anjloknya semangat menulis di tengah jalan menurut Fuadi wajar. “Namanya writer’s block. Sudah satu jam menghadap komputer, enggak ada satu kata pun yang ditulis,” ujarnya.
Setiap penulis punya cara berbeda untuk mengatasi ini. “Ada yang lari-lari
pagi dulu, kemudian dapat ide. Ada yang pakai tidur dulu, mandi, masak, dengar
musik, baru dapat ide baru,” lanjutnya. Ketika inspirasi mendadak raib, Fuadi
mengumpulkan album berisi foto-foto kenangan. Melihat kembali wajah kawan-kawan
lama. Kemudian, muncul ide menulis ketika melihat wajah seorang teman yang dulu
sering terkantuk di ruang kelas. Atau memutar kembali video dokumentasi zaman
dulu.
Sampai sekarang, Fuadi masih menyimpan buku pelajaran kelas satu di Gontor,
tertanggal 6 Juni 1988 tentang asas "man jada wajadda". Siapa
yang bersungguh-sungguh, akan berhasil. Pada akhirnya, Fuadi mengingatkan siapa
pun (yang berminat menulis) untuk menulis tentang kebaikan. “Buku yang laku
belum tentu baik. Buku yang baik belum tentu laku. Tulisan itu bersifat abadi.
Kalau kita mangkat, yang dikubur hanya jasad. Tulisan akan menjadi warisan
untuk dikenang. Status di Facebook atau Twitter akan terus hidup. Maukah kita
(sesudah kita mangkat), orang mengenang status kita yang isinya sindiran dan
caci maki?” tanya Fuadi, untuk kita renungkan.
Sumber http://www.tabloidbintang.com