Oleh: Dr. Adian Husaini
DALAM beberapa hari belakangan, ada sejumlah SMS yang masuk ke HP saya.
Isinya, meminta saya mengkaji sebuah buku berjudul Satu Tuhan Banyak Agama,
Pandangan Sufistik Ibn ‘Arabi, Rumi dan al-Jili, (Mizan, 2011). Rabu
(19/10/2011), saya baru sempat mencari buku ini di sebuah toko buku.
Setelah membaca dengan seksama, saya segera berusaha memberikan sejumlah
ulasan berikut ini.
Dari segi penampilan luar, buku karya Dr. Media Zainul Bahri (dosen
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Jakarta) tampak berwibawa, dengan tebal
500 halaman lebih. Ada pengantar dari Rektor UIN Jakarta, Prof. Komaruddin
Hidayat dan juga pujian dari Prof. Kautsar Azhari Noer, guru besar Perbandingan
Agama, UIN Jakarta. Dengan tampilan semacam itu, wajar jika orang menyangka
bahwa buku ini berbobot ilmiah yang tinggi. Apalagi, ini juga disertasi doktor
di UIN Jakarta.
Tentu, usaha penulis buku ini dalam mengkaji pemikiran-pemikiran tiga tokoh
sufi tersebut perlu diberikan apresiasi. Harapannya, ke depan, makin terbuka
kajian-kajian semacam ini yang lebih serius dan lebih Islami. Akan tetapi,
sebagai karya terbuka, tentu buku ini wajib dikaji secara kritis. Berikut ini
catatan kritis untuk buku ini:
Pertama, buku ini mengambil konsep Pluralisme, Perenialisme dan Kesatuan
Transendensi Agama-agama/KTAA (Transcendent Unity of Religions) sebagai dasar
analisis. Pemikiran tiga tokoh sufi dianalisis dari konsep ini. Tidak ada
catatan kritis apa pun terhadap konsep KTAA tersebut.
Penulis buku ini sudah meyakini kebenaran konsep tersebut dan kemudian
berusaha mencari legitimasi pada karya-karya klasik dan kontemporer dari para
ulama dan sarjana Muslim klasik dan kontemporer.
Padahal, jika ditelaah sepintas saja, kita akan menjumpai berbagai paradoks
dan kerancuan dalam pemikiran-pemikiran yang disajikan. Sebagai contoh,
tertulis: “Dalam diskursus pluralisme agama, penjelasan tentang transendensi
Ilahi ini dan bahwa setiap agama lahir dan terikat pada konteks tertentu
menjadi argumen bahwa tidak ada agama yang lebih tinggi/sempurna atas yang
lain. Semua bentuk-bentuk agama adalah sederajat, karena semuanya sedang
mewadahi ke-Mahabenaran dan ke-Mahamutlakan Tuhan.” (hal. 21).
Itulah salah satu keganjilan pemikiran pluralisme agama. Mereka menolak
“klaim kebenaran” dari masing-masing pemeluk agama, tetapi pada saat yang sama
mereka justru menolak keberagaman. Mereka memaksa semua pemeluk agama
melepaskan klaim kebenarannya masing-masing lalu dipaksa berpindah menuju satu
keyakinan, bahwa “semuanya benar”, sebagaimana paham kaum pluralis tersebut.
Bukankah ini satu sikap yang paradoks dan justru anti-pluralisme!
Simaklah, betapa paradoks dan absurdnya logika penganut pluralisme ini! Di
dalam buku ini, dikatakan: “Semua jalan-jalan itu menuju kepada puncak yang
sama. Ibarat ribuan bahkan jutaan aliran air sungai dan anak sungai semuanya
mengalir dan sedang meluncur ke samudera yang sama.” (hal. 379).
Logikanya, jika ia mengakui kebenaran semua agama, aliran, atau paham, seharusnya
dia juga mengakui kebenaran paham para penganut agama yang meyakini kebenaran
agamanya sendiri (bersikap eksklusif). Tetapi, anehnya, kita banyak menjumpai
berbagai kecaman terhadap orang-orang yang tidak sejalan dengan pemikiran
pluralisme. Dikutip, misalnya, pendapat Paul F. Knitter, bahwa kita tidak dapat
mengatakan agama yang satu lebih baik dari yang lain. Semua agama adalah
relatif, terbatas, parsial, tidak lengkap, satu cara melihat sesuatu. Saat ini,
menganggap bahwa satu agama pada dirinya lebih baik dari agama lain adalah
sebuah pandangan keliru, ofensif, dan berpandangan sempit. (hal. 379-380).
Kita balik bertanya, jika orang hanya mengakui paham Pluralisme saja yang
benar, dan menyerang paham yang berbeda dengannya, bukankah orang itu juga
berpandangan sempit? Seorang “pluralis sejati”, seharusnya bersikap permisif
terhadap semua paham dan agama, karena semuanya dianggap benar! Terbuktilah,
logika kaum pluralis ini memang mau menang sendiri dan asal-asalan: merasa
benar sendiri dengan pendapatnya, tetapi menyalahkan umat beragama yang
meyakini kebenaran agamanya sendiri!
Kedua, dalam buku ini tidak didefinisikan apa yang disebut “agama” dan apa
batasannya? Misalnya, ditulis: “Dengan kata lain, semua agama adalah sama,
dalam arti sama-sama mengandung kebenaran yang terbatas. Tidak ada yang lebih
baik atau lebih sempurna antara satu dengan yang lain. Tuhan Yang Mahabenar
secara mutlak – meminjam ungkapan Schuon – tidak mungkin kebenaran-Nya secara
sempurna dikandung hanya oleh satu agama atau berapa agama, bahkan jutaan agama
sekali pun.” (hal. 380).
Mari kita uji logika Doktor lulusan UIN Jakarta ini. Ia tentu paham bahwa
jumlah agama di dunia ini adalah ribuan. Ambillah satu contoh agama bernama
Bhairawatantra yang hidup di Indonesia sebelum kedatangan Islam. Bhairawatantra
memiliki ajaran, bahwa manusia hendaknya jangan menahan hawa nafsu, bahkan
sebaiknya manusia itu memperturutkan hawa nafsu. Sebab bila manusia terpuaskan
nafsunya, maka jiwanya akan menjadi merdeka. (Dr. Prijohutomo. Sedjarah
Kebudajaan Indonesia I: Bangsa Hindu. (J.B. Wolter, Jakarta-Groningen, 1953).
Hal. 89). Salah satu bentuk ritual yang paling esoterik, adalah pemujaan yang
memerlukan persembahan berupa manusia. Ritualnya meliputi persembahan berupa
meminum darah manusia dan memakan dagingnya. (Paul Michel Munoz.
Kerajaan-kerajaan Awal Kepulauan Indonesia dan Semenanjung Malaysia.
Terjemahan. (Mitra Abadi, Yogyakarta, 2006). Hal. 253 dan 448). (Lihat lebih
jauh tentang aliran ini di Jurnal Islamia-Republika, Kamis 20 Oktober 2011).
Apakah agama Bhairawatantra yang mengajarkan ritual seks bebas dan
penyembelihan manusia ini sama derajatnya dengan agama Islam?
Di era modern ini, masih banyak dijumpai agama yang mengajarkan agar
pemimpin dan jemaatnya semuanya bertelanjang bulat saat melakukan ritual. Ada
juga agama pemuja setan. Maka, bisa juga ditanyakan, saat menulis bukunya ini,
si dosen Ushuluddin UIN Jakarta tersebut sedang memeluk dan meyakini agama apa?
Sulit dibayangkan, jika logika si dosen ini suatu ketika dipungut oleh para
pelacur, sehingga mereka berlogika, bahwa praktik prostitusi adalah satu bentuk
ritual suci kepada Tuhan!
Ketiga, sebagaimana kebiasaan kaum yang mengaku pluralis agama, penulis buku ini
juga mengutip sejumlah ayat dari Kitab suatu agama menuruti pemahamannya
sendiri, yang berbeda dengan pemahaman para pemeluk agama tersebut. Sebagai
contoh, ia menulis: “Di antara agama-agama dunia, Hinduisme dan Bahaisme adalah
dua agama yang secara eksplisit mengapresiasi pluralisme agama, dalam arti
mengakui jalan-jalan keselamatan pada agama-agama lain, Bhagawatgita, salah
satu kitab suci Hindu, memuat dua sloka popular yang selalu menjadi rujukan
bagi pluralisme. Sloka itu berbunyi:
“Jalan mana pun ditempuh manusia ke arah-Ku, semuanya Kuterima. Wahai
Arjuna, manusia mengikuti jalan-Ku pada semua jalan.” (hal. 381).
Benarkah agama Hindu kondisinya seperti itu? Ternyata, ungkapan itu hanya
khayalan penulis saja! Tahun 2006, terbit sebuah buku berjudul Semua Agama
Tidak Sama. Editor buku ini, Ngakan Made Madrasuta menulis kata pengantarnya
dengan judul “Mengapa Takut Perbedaan?” Ngakan mengkritik pandangan yang
menyamakan semua agama, termasuk yang dipromosikan oleh sebagian kaum Pluralis
yang suka mengutip Bagawadgita IV:11: “Jalan mana pun yang ditempuh manusia ke
arah-Ku, semuanya Aku terima.”
Padahal, jelas Ngakan: “Yang disebut “Jalan” dalam Gita adalah empat yoga
yaitu Karma Yoga, Jnana Yoga, Bhakti Yoga, dan Raja Yoga. Semua yoga ini ada
dalam agama Hindu, dan tidak ada dalam agama lain. Agama Hindu menyediakan
banyak jalan, bukan hanya satu – bagi pemeluknya, sesuai dengan kemampuan dan
kecenderungannya.” (Lihat, Ngakan Made Madrasuta (ed), Semua Agama Tidak Sama,
(Media Hindu, 2006) hal. xxx.)
Bahkan, majalah MEDIA HINDU, edisi Oktober 2011, menurunkan laporan utama
berjudul “Kembali ke Hindu, Bila Indonesia Ingin Berjaya Kembali Seperti
Majapahit” dengan menyimpulkan: “Kembali menjadi Hindu adalah mutlak perlu bagi
bangsa Indonesia apabila ingin menjadi Negara Adidaya ke depan, karena hanya
Hindu satu-satunya agama yang dapat memelihara & mengembangkan Jatidiri
bangsa sebagai modal dasar untuk menjadi Negara maju.”
Itulah agama Hindu yang ditulis oleh orang Hindu sendiri!
Sebagaimana sejumlah penganut paham pluralis, dosen Ushuluddin UIN Jakarta
ini pun mencoba mencari legitimasi pemikirannya dengan mengutip pendapat Rasyid
Ridha dan Muhammad Abduh, yang – katanya – berpendapat, bahwa tidak ada
persyaratan bagi orang Yahudi, Nasrani, dan Sabean untuk beriman kepada Nabi
Muhammad Saw., karena masing-masing umat memiliki wahyu dan nabi yang khusus,
unik dan berbeda satu sama lain. (hal. 382-383).
Jika si penulis buku tersebut mau meneliti dengan sungguh-sungguh dan jujur
pendapat Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh, tentu dia tidak akan berani menulis
semacam itu. Dalam Tafsir al-Manar Jilid IV yang membahas tentang keselamatan
Ahlul Kitab, disebutkan, bahwa QS 2:62 dan 5:69 adalah membicarakan keselamatan
Ahlul Kitab yang kepada mereka dakwah Nabi (Islam) tidak sampai menurut yang
sebenarnya dan kebenaran agama tidak tampak bagi mereka. Karena itu, mereka
diperlakukan seperti Ahlul Kitab yang hidup sebelum kedatangan Nabi.
Sedangkan bagi Ahli Kitab yang dakwah Islam sampai kepada mereka (sesuai
rincian QS 3:199), Abduh dan Ridha menetapkan lima syarat keselamatan, yaitu:
(1) beriman kepada Allah dengan iman yang benar, yakni iman yang tidak
bercampur dengan kemusyrikan dan disertai dengan ketundukan yang mendorong
untuk melakukan kebaikan, (2) beriman kepada al-Quran yang diwahyukan kepada
Nabi Muhammad. Mereka mengatakan bahwa syarat ini disebutkan lebih dahulu
daripada tiga syarat yang lainnya, karena al-Quran merupakan landasan untuk
berbuat dan menjadi pemberi koreksi serta kata putus ketika terjadi perbedaan.
Hal ini lantaran kitab itu terjamin keutuhannya, tidak ada yang hilang dan
tidak mengalami pengubahan, (3) beriman kepada kitab-kitab yang diwahyukan bagi
mereka, (4) rendah hati (khusyu') yang merupakan buah dari iman yang benar dan
membantu untuk melakukan perbuatan yang dituntut oleh iman, (5) tidak menjual
ayat-ayat Allah dengan apapun dari kesenangan dunia. (Lebih jauh tentang
keselamatan Ahli Kitab, kekafiran dan kemusyrikannya, lihat, Dr. Hamim Ilyas,
Dan Ahli Kitab Pun Masuk Surga: Pandangan Muslim Modernis Terhadap Keselamatan
Non-Muslim, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2005), hal. 71-99).
Jadi, di sini tampak jelas kekeliruan si penulis. Rasyid Ridha dan Muhammad
Abduh sama sekali tidak berpendapat seperti yang ditulis oleh penulis buku ini.
Secara ilmiah, cara-cara seperti ini tidak patut dilakukan, apalagi oleh
seorang dosen Ushuluddin.
Keempat, penulis buku menyimpulkan bahwa dia telah mematahkan argumentasi dari para
sarjana ISTAC, seperti Sani Badron, Syamsuddin Arif dan Anis Malik Thoha. (hal.
2). Sayangnya, penulis tidak mengkaji karya-karya para sarjana tersebut dengan
mendalam dan cermat. Penulis hanya mengutip artikel Sani Badron di Majalah
Islamia, Vol. 1, no. 3 (2004) yang berjudul “Ibn al-Arabi Tentang Pluralisme
Agama.” Padahal, Dr Mohd. Sani bin Badron telah menulis Tesis yang serius
berjudul “Ibn al-Arabi’s Conception of Religion.” Tesis Sani bin Badron ini
tidak ditemukan dalam daftar referensi buku ini.
Di akhir kesimpulan Tesisnya, Sani bin Badron mengkritik cara berpikir kaum
Transendentalis yang memaksakan posisi teologis Ibn Arabi ke dalam pola pikir
mereka: “Then only may we see clearly – at least in the case of Ibn al-‘Arabi –
how far the Trancendentalists have been right or have been deviated by their
own belief.”
Dr. Syamsuddin Arif juga sudah melakukan kajian serius tentang konsep
agama-agama Ibn Arabi yang mengkritik cara-cara kaum Transendentalis dalam
membaca karya Ibn Arabi. Berikut ini petikan sebuah artikel Dr. Syamsuddin Arif
berjudul “Pluralisme” dan Manipulasi Orientalis.” Oleh kaum Pluralis, Ibn Arabi
‘dijadikan bemper’ untuk melegitimasi asumsi para penganut ‘agama perennial’
(religio perennis) bahwa dalam aspek esoteris dan pada dataran transenden,
semua agama adalah sama, karena semuanya sama benarnya, sama sumbernya (Tuhan),
dan sama misinya (pesan moral, perdamaian, dsb). Pemahaman semacam ini
dipopulerkan oleh F. Schuon, S.H. Nasr, W.C. Chittick dalam tulisan-tulisan
mereka yang kini tampak mendapat banyak pengikut di Indonesia.
Untuk mendukung klaimnya, biasanya ‘kalangan’ ini mengutip tiga bait puisi
Ibn Arabi dalam karya kontroversialnya, Tarjuman al-Asywaq, yang berbunyi:
“Hatiku telah mampu menerima aneka bentuk dan rupa; ia merupakan padang rumput
bagi menjangan, biara bagi para rahib, kuil anjungan berhala, ka‘bah tempat
orang bertawaf, batu tulis Taurat, dan mushaf bagi al-Qur’an. Agamaku adalah
agama cinta, yang senantiasa kuikuti kemana pun langkahnya; demikianlah agama
dan keimananku.”
Seolah membenarkan asumsinya sendiri (self-fulfilling prophecy), SH Nasr
menyimpulkan bahwa di sinilah Ibnu Arabi “came to realize that the divinely
revealed paths lead to the same summit” (Lihat: Three Muslim Sages [Delmar, New
York: Caravan Books, 1964], hlm.118).
Sebenarnya, Ibnu Arabi telah menjelaskan maksud semua ungkapannya dalam
syarah yang ditulisnya sendiri, yaitu Dzakha’ir al-A‘laq syarh Tarjuman
al-Asywaq (ed. Dr. M.‘Alamuddin asy-Syaqiri, Cairo: Ein for Human and Social
Studies, 1995, hlm.245-6).
Di situ dinyatakan bahwa yang ia maksudkan dengan ‘agama cinta’ adalah
agama Nabi Muhammad saw., merujuk kepada firman Allah dalam al-Quran 3 (Ali
Imran):31, “Katakanlah [hai Muhammad!], kalau kalian betul-betul mencintai
Allah, maka ikutilah aku! --niscaya Allah akan mencintai kalian.”
Dalam kitab Futuhat-nya (bab 178, fi Maqam al-Mahabbah), Ibn Arabi
menyatakan bahwa cinta kepada Tuhan harus dibuktikan dengan mengikuti syari‘at
dan sunnah Rasul-Nya saw (al-ittiba‘ li-rasulihi saw fima syara‘a). Jadi,
‘agama cinta’ yang dimaksud Ibn Arabi adalah Islam, yaitu agama syari‘at dan
sunnah Nabi Muhammad saw, dan bukan ‘la religion du coeur’ versi Schuon dan
para pengikutnya itu.
Menurut Ibn Arabi, semua agama dan kitab suci terdahulu harus diakui
kebenarannya dalam konteks sejarah masing-masing -- yakni sebelum diutusnya
Nabi Muhammad saw. muncul. Dan ini merupakan bagian dari rukun iman. Validitas
itu tidak berlanjut setelah kedatangan Rasulullah saw. “Nabi Isa pun,
seandainya sekarang ini turun, niscaya tidak akan mengimami kita, kecuali
dengan mengikut sunnah kita [Ummat Muhammad], dan tidak akan memutuskan suatu
perkara kecuali dengan syari‘at kita.” (Wa hadza ‘Isa idza nazala ma ya’ummuna
illa minna, ay bi sunnatina, wa la yahkumu fina illa bi syar‘ina),” tegas Ibn
Arabi (Lihat: Futuhat, bab 36).
Sikap Ibn Arabi tentang konsep mukmin-kafir juga jelas. Orang Yahudi atau
Nasrani yang masuk Islam tidak dikatakan murtad, karena ajaran murni agama
mereka memang mengharuskan beriman mengikuti ajaran Nabi Muhammad saw.
(Futuhat, bab 495, fi Ma‘rifati hal quthb kana manziluhu “wa man yartadid
minkum ‘an dinihi fayamut wa huwa kafir”).
Demikian hasil kajian Dr. Syamsuddin Arif tentang konsep agama Ibn Arabi
yang berbeda dengan cara pandang penulis buku ini, yang sudah beriman secara
bulat-bulat kepada teori Transendentalisme Fritjoph Schuon. Pembaca bisa
membandingkan hasil kajian Sani bin Badron dan Dr Syamsuddin Arif dengan kajian
penulis disertasi ini.
Kelima, kesalahan fatal penulis buku ini adalah menjiplak mentah-mentah dan
mengimani tanpa kritis sosok dan pemikiran KTAA, yaitu Fritjoph Schuon.
Padahal, banyak sekali kritik terhadap pemikiran Schuon dan praktik ritual
tarekat Maryamiyya yang dibentuknya. Salah satu kritik tajam disampaikan oleh
Mark Sedwigk melalui bukunya Againts the Modern World. Sedwigk memaparkan
beberapa penyimpangan yang dilakukan oleh Schuon maupun tarekat Maryammiyah.
(Mark Sedgwick, Against the Modern World ; Traditionalism and the Secret
Intellectual History of Twentieth Century, Oxford University Press, 2004).
Mark Sedgwick menulis, bahwa Schuon sangat permisif dalam soal pelaksanaan
syariat Islam. “He believed that esoteric practice was what really mattered and
that its esoteric framework was less important.” (Ibid, hal. 124). Schuon
memiliki hobi melukis. Ia juga tak segan-segan membuat lukisan telanjang,
sebagai simbol esoterisme. (Ibid, hal. 148).
Setelah mengaku “bertemu” dengan Bunda Maria (Virgin Mary), Schuon juga
membuat lukisan yang terkadang menggambarkan Bunda Maria dalam keadaan
telanjang bulat atau telanjang sebagian yang mempertontonkan payudaranya.
Katanya, itu sebagai simbol untuk mengungkapkan kebenaran dan membebaskan kasih
sayang. (to the unveiling of truth in the sense of gnosis and to liberating
mercy.” (Ibid, hal 151). Tahun 1965, Schuon menikah lagi. Uniknya, kali ini ia
menikahi salah satu muridnya sendiri, tanpa perlu bercerai dengan suaminya
terdahulu. Perkawinan ini dijuluki sebagai “perkawinan vertikal” atau
“perkawinan spiritual”. (Ibid, hal. 152-153).
Penutup. Sebenarnya, teori KTAA, bahwa semua agama menuju Tuhan yang sama,
atau ibaratnya, semua sungai akan mengalir ke Laut yang sama, adalah sebuah
teori fabrikasi dan khayalan belaka. Faktanya, tidak semua sungai mengalir ke
laut. Ada sungai yang kering duluan. Faktanya juga, tidak semua sungai airnya
jernih. Ada sungai yang airnya keruh, bahkan ada yang busuk dan beracun.
Faktanya, saat ini, ada agama yang mengajarkan bahwa zina adalah perbuatan
bejat, tetapi ada juga agama yang mengajarkan praktik seks bebas! Ada agama
yang mengharamkan babi. Tetapi ada juga yang menghalalkannya. Ada agama yang
mewajibkan khitan. Tapi ada juga yang melarang khitan! Ada agama yang melarang
kawin sejenis (homo/lesbi). Ada juga agama yang membolehkan kawin sejenis.
Orang yang sehat akalnya pasti menyatakan, tidak mungkin semua ajaran itu
sama-sama benar dan berasal dari Tuhan yang sama!
Adalah sebuah khayalan belaka, bahwa agama-agama akan bertemu pada level
esoterik/transenden. Ingatlah, bahwa Iblis pernah berdialog dengan Allah di
level itu. Faktanya, dia tetap iblis dan kafir. Jadi, di level transenden pun
ada Iblis yang kafir.
Teori KTAA juga menafikan bahwa Tuhan Yang Satu itu sudah mengenalkan
diri-Nya melalui wahyu yang disampaikan kepada Nabi Terakhir, yakni Muhammad
saw. Nama-Nya pun sudah disebutkan. Jadi, manusia tidak perlu mengarang nama
Tuhan Yang Satu itu. Kalau ada orang menyebut Tuhan Yang Satu itu dengan nama
“Setan Gundul” – menurut seorang Muslim – nama itu harus ditolak. Tapi, menurut
penganut KTAA, nama apa pun untuk Tuhan, sah-sah saja! Kata mereka, yang
penting Tuhan.
Lalu, juga sebuah khayalan dari pengikut paham KTAA, bahwa aspek esoterik
(batin) lebih penting dari aspek eksoterik (aspek syariah). Seorang Muslim --
yang telah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad
adalah Rasul Allah – pasti meyakini bahwa salah satu tugas penting dari Nabi
Muhammad saw adalah mengajarkan bagaimana cara menyembah Tuhan Yang Satu itu!
Itu aspek syariat. Tanpa panduan dan contoh dari Nabi, manusia pasti akan
menyembah Tuhan sesuai dengan imajinasi dan kreativitasnya masing-masing! Jika
semuanya dikatakan sah dan benar, lalu untuk apa Nabi Muhammad saw diutus?
Yang bisa dinilai dari suatu agama adalah justru aspek eksoterisnya.
Sedangkan aspek esoterik adalah sesuatu yang abstrak, yang dalam pandangan
Islam tidak dapat dipisahkan dari aspek syariat. Jika konsep eksoteris
direlatifkan dan dibebaskan dalam bentuk apa pun, itu sama saja dengan merusak
agama itu sendiri.
Jika kita renungkan, yang logis bukan konsep “Satu Tuhan, Banyak Agama”,
tetapi yang benar adalah “Satu Tuhan, Satu Agama!” Sebagai Muslim, sesuai
penjelasan ayat-ayat al-Quran, misalnya QS 16:36, 3:19, 85, saya memahami,
bahwa Tuhan itu SATU, dan Tuhan yang SATU itu hanya menurunkan SATU agama
kepada para Nabi-Nya, yaitu agama Tauhid. Selama tidak mengajarkan TAUHID –
yakni mengakui dan tunduk kepada Allah, sebagai SATU-SATU-nya Tuhan – maka
jelas itu bukan agama dari Allah, dan bukan agamanya para Nabi; bukan pula
agama wahyu (revealed religion), melainkan agama budaya (cultural religion).
Agama Tauhid menuhankan Allah, sebagai satu-satunya Tuhan; bukan menuhankan
Iblis.
Dan untuk mengenal Allah – bukan Genderuwo atau Setan Gundhul – mutlak
perlu beriman kepada kenabian Muhammad saw. Karena itulah, saya membaca
syahadat: Saya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan saya bersaksi bahwa
Muhammad adalah utusan Allah. Jadi, Tuhan saya jelas,yaitu Allah! Bukan asal
Tuhan, atau Tuhan asal--asalan. Itu karena posisi saya sudah jelas, yaitu saya
Muslim, saya sudah memilih Islam. Saya bukan Kristen, saya bukan Yahudi, saya
bukan Hindu, atau penganut paham kebenaran semua agama. Itu keyakinan saya, dan
saya sangat menghormati keyakinan yang berbeda dengan saya, meskipun saya tidak
membenarkannya. Saya tidak boleh memaksa orang lain mengikuti pendapat saya.
Itulah makna toleransi dan mutual understanding.
Jadi, sejatinya, teori Kesatuan Transendensi Agama-agama (KTAA) adalah
teori yang absurd (senseless). KTAA bukannya memperkuat basis ushuluddin
(dasar-dasar agama) seorang Muslim, tetapi justru mengajak Muslim untuk menjadi
“uculuddin” (bahasa Jawa: lepas agamanya). Padahal, penulis buku ini adalah
dosen di Fakultas Ushuluddin, bukan Fakultas “Uculuddin”! Wallahu a’lam.*