Siswa Muslim yang tidak mendapatkan pelajaran agama Islam di SMK Grafika
Desa Putera di Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan, menuai respon dan
tanggapan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat dan sejumlah tokoh Islam.
Ketua MUI Komisi Kerukuran Umat Beragama, Slamet Effendi Yusuf menegaskan,
SMK Grafis Desa Putera itu sekolah kejuruan, bukan sekolah agama,
meskipun di bawah naungan yayasan agama tertentu. Maka sekolah tersebut wajib
memberikan pelajaran agama sesuai dengan agama siswa itu. Ini diatur
dalam Undang-Undang Sisdiknas.
“Kalau hanya diberi pelajaran agama Katolik, padahal siswanya mayoritas
beragama Islam, sekolah itu gak bener! Yayasan tersebut berkedok sekolah
umum, tetapi sebetulnya sekolah agama khusus (Katolik). Ini namanya menjebak, gitu
loh!” kata Slamet yang juga salah satu Ketua PBNU.
Sementara itu dikatakan Ketua Umum Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII)
Ustadz Syuhada Bahri, dalam UU Pendidikan Nasional disebutkan, bahwa peserta
didik harus mendapatkan pelajaran agama sesuai dengan agama peserta didik itu.
Jika menolak UU itu, harusnya ditindak oleh pemerintah.
“Terjadinya konflik, bukan karena yang satu tidak toleran. Tapi disebabkan
adanya pihak yang tidak mau mentaati peraturan yang dibuat oleh pemerintah.
Padahal peraturan itu dalam rangka terciptanya kerukunan dan toleransi
umat beragama agar saling menghargai,” tandas Syuhada mengingatkan.
Lebih lanjut Syuhada mengtakan, Islam mengajarkan lakum dinukum
waliyaddin, tetapi kalau sudah ada upaya secara sistemik untuk menyeret
seseorang keluar dari agamanya, atau minimal tidak tahu tentang agamanya, maka
ini sikap yang tidak toleran. Seharusnya UU Sisdikas dijadikan panduan.
Bukannya ditolak.
Tirani Minoritas
Sementara itu dikatakan Jubir HTI Muhammad Ismail Yusanto, umat Islam
memang mayoritas di negeri ini, tapi jumlah mayoritas itu belum menunjukkan
kekuatan peran dan kekuasaan, sehingga mudah sekali orang bertindak semena-mena
terhadap umat Islam seperti kasus SMK Grafika Desa Putera.
“Ini aneh. Bagaimana mungkin, umat mayoritas justru ditindas oleh yang
minoritas. Di bidang pendidikan, banyak sekolah-sekolah Kristen hingga
sekarang tetap menolak untuk menyediakan guru Islam untuk pengajaran agama
Islam kepada murid-murid mereka yang beragama Islam. Padahal ketentuan ini
merupakan bagian dari UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Perlakuan
dzalim semacam ini tentu sangat merugikan rakyat negeri ini yang mayoritas
Muslim,” ungkap Ismail Yusanto.
Kristolog Irena Handono juga mengatakan, kasus SMK Grafika Desa Putera
memberikan pelajaran bahwa kita harus waspada. Tentu sangat beresiko,
kalau sampai tidak mengetahui, ke mana orang tua menyekolahkan anak kita.
“Betapa pentingnya sekolah yang Islami.Sekarang sekolah Islam yang
berkualitas, bermutu tinggi, dan bergedung bagus, banyak, Alhamdulillah.
Tetapi, bagaimana dengan umat kita yang tidak mampu? Pertanyaannya, bisa nggak
umat Islam yang tidak mampu, sekolah di tempat yang bagus-bagus itu? Itu yang
juga harus menjadi perhatian kita.
Irena mengatakan, jika kita tidak punya kepedulian terhadap saudara-saudara
kita yang fakir, yang miskin. Ketika kita tidak peduli, maka kaum dhuafa akan
dididik dan diarahkan oleh mereka, dengan pelajaran agama Kristen, bahkan
ujiannya pun Kristen, bahkan menghafal pelajaran-pelajaran agama mereka.
Desastian
Sumber http://www.voa-islam.com