Beberapa orang dari keluarga Bani Marwan berkumpul di istana Umar bin Abdul
Aziz. Sang khalifah sengaja menahan mereka untuk duduk di sana agak lama.
Segala sesuatupun direncanakan.
"Jika aku memanggilmu untuk menghadirkan makanan, maka kamu jangan
segera menyuguhkannya!" perintah Khalifah Umar bin Abdul Aziz kepada juru
masak di istananya.
Benar, rencana pun berjalan dengan lancar. Keluarga Bani Marwan berkumpul
di sana hingga hari telah menjelang siang. Khalifah tahu bahwa mereka adalah
orang-orang yang tidak terbiasa menahan lapar. Raut-raut kegelisahan mulai
mewarnai satu persatu wajah-wajah para bangsawan itu.
Kemudian juru masak itu keluar melewati mereka. Umar bin Abdul Aziz pun
segera berseru memanggilnya, "Cepat, hadirkan hidangannya!"
Juru masak itu paham apa maksud sang khalifah. Ia berlama-lama di dapur.
Hidangan yang telah dibuatnya tak segera dikeluarkan. Melihat makanan tak
kunjung juga dihidangkan, Khalifah Umar bin Abdul Aziz bertanya pada
wajah-wajah yang telah dililit rasa lapar itu, "Apakah kalian semua
terbiasa makan tepung dan kurma?"
Tak ada pilihan lain bagi mereka untuk menahan rasa lapar selain mengiyakan
tawaran Khalifah untuk memakan tepung dan kurma. Tepung dan kurma dihadirkan
dan mereka memakan dengan lahap makanan yang tak biasa mereka makan lantaran
lapar.
Setelah mereka selesai memakan tepung dan kurma, datanglah juru masak
membawa hidangan yang lezat. Namun mereka diam tak mau mengambilnya. Melihat
hal itu, Khalifah Umar bin Abdul Aziz bertanya pada mereka, "Kenapa kalian
tak mau memakannya?"
"Wahai Amirul Mukminin, kami sudah tak sanggup lagi memakannya,"
jawab mereka.
Khalifah Umar bin Abdul Aziz berkali-kali mempersilahkan mereka untuk
memakan hidangan yang baru saja disuguhkan, namun mereka tetap enggan untuk
memakannya karena kenyang dengan tepung dan kurma.
"Celaka kalian, hai Bani Marwan! Lalu dengan apa kalian nanti makan di
neraka?" kata Khalifah Umar bin Abdul Aziz memberi pelajaran berharga pada
mereka. Semua yang hadir menangis mendengar ungkapan sederhana Umar bin Abdul
Aziz itu.
Barangkali di dunia kita masih bisa memilih-milih apa yang kita suka untuk
memuaskan nafsu perut kita. Semua ada, namun sayangnya perut ini terlalu lemah
untuk qana'ah, kecuali jika memang dididik oleh pemiliknya. Urusan perut
merupakan salah satu sumber bencana besar di dunia.
Seseorang nekat mencuri untuk urusan perut. Seorang pejabat rela mendhalimi
rakyatnya dengan melakukan korupsi dan sejenisnya gara-gara ingin memuaskan
urusan perutnya. Dua orang bersaudara harus saling baku hantam disebabkan
mereka memperebutkan urusan perut yang kadang tak seberapa jumlah nominalnya.
Karena itulah Khalifah Umar bin Abdul Aziz ingin mendidik perut-perut
bangsawan yang terbiasa menikmati kemewahan. Sesekali mereka harus diajak untuk
merasakan apa yang tak biasa mereka rasakan. Suatu saat mereka harus merasakan
derita lapar agar tak mudah mengambil dengan paksa harta yang dimiliki oleh
rakyat miskin. Mereka juga harus dididik merasakan santapan sederhana, agar tak
mudah memaksa rakyat kecil dengan pungutan-pungutan haram. Agar mereka tahu,
rakyat kecil itu untuk makan saja susah, apalagi jika mereka dibebani
beban-beban yang mendhalimi mereka. Agar hati-hati yang mati karena kemewahan
itu kembali hidup dan memiliki respect yang tajam akan apa yang terjadi
pada rakyat dan apa yang diinginkan mereka selama ini.
Seorang pemimpin sejati adalah seorang pemimpin yang bisa mendengar suara
hati rakyatnya lalu memperjuangkannya. Dan dalam kisah di atas telah
membuktikan bahwa Khalifah Umar bin Abdul Aziz lebih merasakan apa yang
dirasakan oleh rakyat daripada saudara-saudaranya dari keluarga Bani Marwan.
Setidaknya keluarga Bani Marwan menyadari kenapa kebijakan-kebijakannya selama
ini terbaca berat sebelah. Khalifah Umar bin Abdul Aziz lebih memberatkan
urusan rakyatnya daripada perut keluarganya.
Sumber http://www.eramuslim.com