Meyakini kebenaran agama di akhir zaman, ibarat memegang bara api di
tangan. Boleh jadi itulah yang ada dalam benak Si Raja Dangdut, Haji Rhoma
Irama.
Dalam sebuah keterangan pers di hadapan Panwaslu, Rhoma menjelaskan
pernyataannya yang kini dikritik banyak pihak sebagai pidato berbau suku,
agama, ras dan antar golongan (SARA) baru-baru ini. Rhoma menjelaskan, bahwa
apa yang disampaikan adalah al-Quran, namun justru dianggap SARA.
“Saya diundang dalam rangka klarifikasi. Di sana saya mengucapkan sebuah
ayat. Allah berfirman bahwa orang Islam dilarang memilih orang kafir sebagai
pemimpin,” kata Rhoma, di kantor Panwaslu, Jakarta, Senin (06/08/2012) dikutip Inilah.com.
Usai menyampaikan satu kalimat, Rhoma pun menangis, sambil menyeka
airmatanya dengan sorbannya.
Menurut Rhoma, wajib seorang Muslim memilih pemimpin yang sesama
Muslim, karena itu adalah perintah Allah Subhanahu Wata’ala. Rhoma juga
berkeras bahwa menyampaikan ayat kitab suci di rumah ibadah bukan suatu
kesalahan. Bahkan semua agama juga akan menerima hal tersebut.
“Ini yang dimaksud SARA? Menyampaikan ayat kitab suci di rumah ibadah?”
ujar Rhoma dikutip Kompas.com.
Sebagaimana diketahui, Rhoma dianggap berceramah berbau SARA ketika di
tengah jemaah Masjid Al Isra, Tanjung Duren, Jakarta Barat, menjelaskan
pentingnya memilih pemimpin dari kaum Muslim sendiri. Rhoma secara terbuka
meminta warga agar tidak memilih Jokowi-Ahok.
Ia merasa isi ceramahnya tersebut sesuai dengan kondisi Jakarta saat ini
yang sedang menjalankan tahapan pemilihan kepala daerah (pilkada).
“Semua ulama wajib menyampaikan sesuai dengan situasi dan kondisi. Karena kondisinya
pemilu, jadi pesan-pesan tentang memilih pemimpin ya wajar saja dibicarakan dan
harus disampaikan,” jelasnya dikutip Kompas.
HAM dan Islam
Sementara itu, anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Saharudin Daming menilai terlalu naïf
menggiring ceramah Rhoma Irama ke dalam kasus SARA. Jika hal
tersebut tergolong SARA, maka akan banyak sekali orang yang dipidanakan hanya
karena mengajak pada entitas tertentu.
“Jadi itu rumitnya hidup dalam negara yang menjunjung tingggi Hak Asasi dan
demokrasi di tengah upaya umat Islam menjunjukkan identitas keislamannya,”
ujarnya kepada hidayatullah.com.