Sangat menyedihkan, jika ada diplomat Indonesia yang mengatakan bahwa tidak
ada proses pembersihan etnis (genocide) atas muslim Rohingya di Myanmar. Hal
itu dikatakan oleh Muhammad Anshor (Direktur Departemen HAM Kemenlu)dan Rafidin
Djamin (Wakil RI di Komisi HAM ASEAN) dalam sebuah dialog interaktif di Kantor
ICIS, Jakarta, belum lama ini.
Selain menyebut tidak ada genocide di Myanmar, diplomat itu mengatakan,
bahwa ada upaya Muslim Rohingya melakukan upaya pemberontakan, karena ingin
mendirikan negara sendiri. Muhammad Ansor, diplomat Indonesia yang satu ini
juga memberi informasi salah. Dikatakan, Muslim Rohingya telah merusak 15 kuil
Budha. Bahkan, mereka mengatakan, konflik tersebut tidak bisa dikatakan sebagai
konflik berlatar belakang agama.
Dalam sebuah pernyataan pers, pemerintah Mynamar menyatakan, 77 orang
muslim Rohingya dan Rakhine meninggal, luka 109 orang, dan 4.822 rumah dibakar,
72 masjid di rusak, 15 kuil dirusak, serta tiga sekolah dibakar. “Yang terjadi
di Myanmar bukan genocide atau pembersihan etnis.
Padahal, seperti dibantah oleh Muhammad Rofiq, salah seorang pengungsi
Rohingya yang dihadirkan dalam dialog tersebut, tidak membenarkan pendapat,
bahwa Muslim Rohingya ingin mendirikan negara, dan merusak kuil. Mengingat
etnis Rohingya secara jumlah sangat sedikit, sehingga tidak mungkin terpikir
untuk mendirikan negara sendiri.
Rofiq menceritakan, setiap malam terjadi penculikan dan pemerkosaan,
warung-warung disweeping, dirampok, rumah penduduk dibakar oleh junta militer.
Maka, tidak benar, jika Muslim Rohingya mempersenjatai diri, seperti
dituduhkan.
Ini bukan sekedar kejahatan etnis, tapi juga pertarungan antara Budhis dan
Islam. Perlu langkah kongkrit dari Pemeritah Indonesia untuk protes keras dan
tegas di depan anggota ASEAN dan PBBB.
Riefqi Muna, Ph.D dari Litbang Muhammadiyah mengatakan, pelanggaran
kemanusiaan secara defacto telah terjadi di Myanmar. Ini bukan hanya terjadi
dalam rentang yang pendek, tapi sistematik, terulang, dan secara terus menerus,
baik dalam konteks masyarakat muslim maupun Budha. Dalam hal ini, negara
terlibat di dalamnya.
Meski, ia menyayangkan, gambar penderitaan muslim Rohingya yang tersebar di
media online sebagian ada yang keliru. Sebagai contoh, foto korban yang
terbakar, ternyata adalah korban kekerasan yang terjadi di Kongo, Afrika. Ada
juga gambar atau foto dari Tibet, atau todongan sanapan di Patani. “Saya
ingin mengimbau, agar jangan tergesa-gesa memforward informasi yang tidak
jelas.”
Kesimpangsiuran angka korban di media massa, menurut Riefqi, tidak perlu
dipertentangkan. Sedikit ataupun banyak, tetap saja melakukan pelanggaran HAM.
Merujuk pada Al Qur’an, membunuh satu orang sama dengan membunuh semua makhluk,
dan menyelamatkan satu orang sama dengan menyelamatkan seluruh makhluk.
“Ini bukan lagi sebatas persoalan kemanusian, tapi juga lintas batas,
etnis, yang tidak bisa diselesaikan oleh masyarakat madani atau agama. Karena
di dalamnya ada garis kedaulatan, teritorial, dan peran negara. Ini persoalan
pelanggaran hak kemanusiaan, apapun agamanya.”
Riefqi mendesak agar negara lebih berperan aktif. Sebetulnya, Indonesia
bisa berbuat lebih banyak, mengingat Indonesia adalah negara yang katanya
paling demokratik. Sehingga secara informal peluang itu ada. Yang harus
ditekan, bukan hanya Myanmar, tapi juga Bangladesh yang menutup akses bantuan
internasional untuk muslim Rohingya di pengungsian.
"Kita harus mendorong Pemerintah Indonesia untuk memiliki keberanian.
Begitu juga Asean perlu dihimbau untuk melakukan tekanan terhadap kedua negara
tersebut. Dalam pertemuan OKI di Kula Lumpur, dan Mekkah akhir bulan nanti,
diharapkan, Pemerintah Indonsia bisa memberi masukan. Diperlukan kreativitas
diplomasi,” ujar Riefqi.
Muhammad Anshor mencatat, tahun 2009, terdapat 400 orang Rohingya yang
terdampar di Aceh. Dan 300 ribu lainnya di Bangladesh. Juga dikabarkan, ada 394
orang muslim Rohingya di Indonesia, 124 orang diantaranya sudah mengantongi
status pengsungsi, sedangkan 270 orang tengah diproses statusnya sebagai
pencari suaka. Diperlukan waktu 2-3 bulan untuk mendapat status sebagai
pengungsi. "Terjadi kesimpangsiuran data mengenai jumalh etnis Rohingya
yang tewas. Ada yang mengatakan 78 tewas, 1.200 hilang, 88 ribu
mengungsi."
Mirip kasus Ambon?
Sementara itu dikatakan Pemimpin Redaksi Harian Republika Muhammad
Nashihin, tragedi kemanusiaan Muslim Rohingya tidak berdiri sendiri, dan bukan
bermula sejak kerusuhan bulan Juni lalu, dengan adanya kabar pemerkosaan oleh
etnis Rohingnya.
Menurut Nashihin, peristiwa Rohingya, mirip-mirip dengan peristiwa Ambon,
yakni sebuah peristiwa politik lokal yang seolah agama. Terlebih, katanya, ini
menjelang pemilu di Myanmar. “Ketika kerusuhan terjadi, AuSan Su Kyi sedang
keliling Eropa. Ketika ditanya wartawan, apa pendapat anda tentang
kewarganegaraan etnis Rohingya, ia menjawab tidak tahu. Katanya,
saya harus cek dulu status kewarganegaraan mereka. Ini membuktikan etnis
Muslim Rohingya diabaikan. Ia takut karir politiknya habis, sehingga tidak
berani bersikap.”
Nashihin mencatat, sejak Myanmar merdeka hingga sekarang, sudah 19 kali
operasi militer dilakukan, 11 kali diantaranya dilakukan oleh junta mileter
yang berkuasa. Orang Rohingya lalu hukum kerja paksa. Apa yang terjadi di
Myanmar adalah sebuah state violence. “Orang Rohingya tidak boleh
sekolah dan bekerja. Maka status komunal violence itu berubah
menjadi state violence. Bagaimana pun, mereka yang berada di wilayah
suatu negara, harus diakui kewarganegarannya."
Tokoh Katolik Frans Magnis Susesno mengatakan, kasus Rohingya adalah kasus
serius. Ia mengakui, cukup lama mengikuti perkembangan beritanya. “Ini adalah state
violence. Muslim Rohingya berhak hidup sebagai manusia, dan tentu saja dengan
memberi status kewarganegaraan. Pemerintah Indonesia harus mendesak pemerintah
Myanmar agar menghentikan kekerasan yang disponsori oleh negara. Dan saya kira,
adanya solidaritas umat Islam Indonesia terhadap muslim Rohingya adalah sesuatu
yang wajar.” Desastian