Selasa, 07 Agustus 2012

Bohong Besar, Pernyataan Tidak Ada Genocide Atas Muslim Rohingya


Sangat menyedihkan, jika ada diplomat Indonesia yang mengatakan bahwa tidak ada proses pembersihan etnis (genocide) atas muslim Rohingya di Myanmar. Hal itu dikatakan oleh Muhammad Anshor (Direktur Departemen HAM Kemenlu)dan Rafidin Djamin (Wakil RI di Komisi HAM ASEAN) dalam sebuah dialog interaktif di Kantor ICIS, Jakarta, belum lama ini. 


Selain menyebut tidak ada genocide di Myanmar, diplomat itu mengatakan, bahwa ada upaya Muslim Rohingya melakukan upaya pemberontakan, karena ingin mendirikan negara sendiri. Muhammad Ansor, diplomat Indonesia yang satu ini juga memberi informasi salah. Dikatakan, Muslim Rohingya telah merusak 15 kuil Budha. Bahkan, mereka mengatakan, konflik tersebut tidak bisa dikatakan sebagai konflik berlatar belakang agama.

Dalam sebuah pernyataan pers, pemerintah Mynamar menyatakan, 77 orang muslim Rohingya dan Rakhine meninggal, luka 109 orang, dan 4.822 rumah dibakar, 72 masjid di rusak, 15 kuil dirusak, serta tiga sekolah dibakar. “Yang terjadi di Myanmar bukan genocide atau pembersihan etnis.

Padahal, seperti dibantah oleh Muhammad Rofiq, salah seorang pengungsi Rohingya yang dihadirkan dalam dialog tersebut, tidak membenarkan pendapat, bahwa Muslim Rohingya ingin mendirikan negara, dan merusak kuil. Mengingat etnis Rohingya secara jumlah sangat sedikit, sehingga tidak mungkin terpikir untuk mendirikan negara sendiri.

Rofiq menceritakan, setiap malam terjadi penculikan dan pemerkosaan, warung-warung disweeping, dirampok, rumah penduduk dibakar oleh junta militer. Maka, tidak benar, jika Muslim Rohingya mempersenjatai diri, seperti dituduhkan.

Ini bukan sekedar kejahatan etnis, tapi juga pertarungan antara Budhis dan Islam. Perlu langkah kongkrit dari Pemeritah Indonesia untuk protes keras dan tegas di depan anggota ASEAN dan PBBB.

Riefqi Muna, Ph.D dari Litbang Muhammadiyah mengatakan, pelanggaran kemanusiaan secara defacto telah terjadi di Myanmar. Ini bukan hanya terjadi dalam rentang yang pendek, tapi sistematik, terulang, dan secara terus menerus, baik dalam konteks masyarakat muslim maupun Budha. Dalam hal ini, negara terlibat di dalamnya.  

Meski, ia menyayangkan, gambar penderitaan muslim Rohingya yang tersebar di media online sebagian ada yang keliru. Sebagai contoh, foto korban yang terbakar, ternyata adalah korban kekerasan yang terjadi di Kongo, Afrika. Ada juga gambar atau foto dari Tibet, atau  todongan sanapan di Patani. “Saya ingin mengimbau, agar jangan tergesa-gesa memforward informasi yang tidak jelas.”

Kesimpangsiuran angka korban di media massa, menurut Riefqi, tidak perlu dipertentangkan. Sedikit ataupun banyak, tetap saja melakukan pelanggaran HAM. Merujuk pada Al Qur’an, membunuh satu orang sama dengan membunuh semua makhluk, dan menyelamatkan satu orang sama dengan menyelamatkan seluruh makhluk.

“Ini bukan lagi sebatas persoalan kemanusian, tapi juga lintas batas, etnis, yang tidak bisa diselesaikan oleh masyarakat madani atau agama. Karena di dalamnya ada garis kedaulatan, teritorial, dan peran negara. Ini persoalan pelanggaran hak kemanusiaan, apapun agamanya.”

Riefqi mendesak agar negara lebih berperan aktif. Sebetulnya, Indonesia bisa berbuat lebih banyak, mengingat Indonesia adalah negara yang katanya paling demokratik. Sehingga secara informal peluang itu ada. Yang harus ditekan, bukan hanya Myanmar, tapi juga Bangladesh yang menutup akses bantuan internasional untuk muslim Rohingya di pengungsian.

"Kita harus mendorong Pemerintah Indonesia untuk memiliki keberanian. Begitu juga Asean perlu dihimbau untuk melakukan tekanan terhadap kedua negara tersebut. Dalam pertemuan OKI di Kula Lumpur, dan Mekkah akhir bulan nanti, diharapkan, Pemerintah Indonsia bisa memberi masukan. Diperlukan kreativitas diplomasi,” ujar Riefqi.

Muhammad Anshor mencatat, tahun 2009, terdapat 400 orang Rohingya yang terdampar di Aceh. Dan 300 ribu lainnya di Bangladesh. Juga dikabarkan, ada 394 orang muslim Rohingya di Indonesia, 124 orang diantaranya sudah mengantongi status pengsungsi, sedangkan 270 orang tengah diproses statusnya sebagai pencari suaka. Diperlukan waktu 2-3 bulan untuk mendapat status sebagai pengungsi. "Terjadi kesimpangsiuran data mengenai jumalh etnis Rohingya yang tewas. Ada yang mengatakan 78 tewas, 1.200 hilang, 88 ribu mengungsi."

Mirip kasus Ambon?

Sementara itu dikatakan Pemimpin Redaksi Harian Republika Muhammad Nashihin, tragedi kemanusiaan Muslim Rohingya tidak berdiri sendiri, dan bukan bermula sejak kerusuhan bulan Juni lalu, dengan adanya kabar pemerkosaan oleh etnis Rohingnya.

Menurut Nashihin, peristiwa Rohingya, mirip-mirip dengan peristiwa Ambon, yakni sebuah peristiwa politik lokal yang seolah agama. Terlebih, katanya, ini menjelang pemilu di Myanmar. “Ketika kerusuhan terjadi, AuSan Su Kyi sedang keliling Eropa. Ketika ditanya wartawan, apa pendapat anda tentang  kewarganegaraan etnis Rohingya, ia  menjawab tidak tahu. Katanya,  saya harus cek dulu status kewarganegaraan mereka. Ini membuktikan etnis Muslim Rohingya diabaikan. Ia takut karir politiknya habis, sehingga tidak berani bersikap.”

Nashihin mencatat, sejak Myanmar merdeka hingga sekarang, sudah 19 kali operasi militer dilakukan, 11 kali diantaranya dilakukan oleh junta mileter yang berkuasa. Orang Rohingya lalu hukum kerja paksa. Apa yang terjadi di Myanmar adalah sebuah state violence. “Orang Rohingya tidak boleh sekolah dan bekerja. Maka  status komunal violence itu berubah menjadi state violence. Bagaimana pun, mereka yang berada di wilayah suatu negara, harus diakui kewarganegarannya." 

Tokoh Katolik Frans Magnis Susesno mengatakan, kasus Rohingya adalah kasus serius. Ia mengakui, cukup lama mengikuti perkembangan beritanya. “Ini adalah state violence. Muslim Rohingya berhak hidup sebagai manusia, dan tentu saja dengan memberi status kewarganegaraan. Pemerintah Indonesia harus mendesak pemerintah Myanmar agar menghentikan kekerasan yang disponsori oleh negara. Dan saya kira, adanya solidaritas umat Islam Indonesia terhadap muslim Rohingya adalah sesuatu  yang wajar.” Desastian