“Apakah Sultan sudah haji?”
Seorang teman menanyakan pada saya apakah Sultan Ngayogyakarta Hadiningrat,
Sri Sultan Hamengkubuwono X, sudah atau pernah berhaji. Seumur-umur tinggal di
tanah yang dipimpin Sultan, saya baru tersadar dengan pertanyaan ini. Pertanyaan
yang awalnya dilontarkan teman dari teman saya tadi, seorang mahasiswa sejarah.
Selama lima belas tahun tinggal di Yogyakarta, saya hanya tahu kalau setiap
menjelang keberangkatan jamaah haji, Ngarso nDalem melepas jamaah. Setiap tahun
ada pertemuan mangayubagyo bagi jamaah haji di Keraton. Sultan dalam
acara itu memberikan wejangan dan mewanta-wanti kepada jamaah haji selama di
sana agar menjaga diri dengan baik. Termasuk dalam wejangan adalah agar setelah
jamaah berhaji mampu mencerminkan perilaku baik.
Karena acap menggelar acara pamitan haji itulah, saya dan mungkin banyak
orang menyangka beliau menasihati layaknya orang yang berpengalaman. Padahal,
ternyata Sultan belum pernah ke Tanah Suci untuk menunaikan haji. Sejauh ini,
berumrah sekalipun saya belum pernah mendengarnya. Dan yang menarik,
sultan-sultan sebelumnya juga tidak ada satu pun yang pergi ke Mekah! Teman
sejarah tadi menguatkan soal ini, entah kalau ada bukti baru bahwa diam-diam
ada salah satu sultan Yogyakarta di masa lalu pergi haji.
Saya bertanya-tanya, apa sebab Sultan sekarang yang notabene intelek kok
tak kunjung berhaji. Perkara harta dan syarat mampu, ini sudah tidak perlu
ditanya. Soal tata cara, kalaupun belum bisa tentu Sultan bisa belajar manasik
seperti halnya para calon jamaah haji lainnya. Kesibukan? Siapa sih manusia
yang tidak sibuk? Kalau ada komitmen dan niat kuat, waktu pasti disediakan oleh
mereka yang berniat haji.
Setelah direnung-renung, niat dan kepercayaan tampaknya faktornya. Tiadanya
teladan dari leluhurnya yang memangku jabatan sultan sebelumnya yang berhaji
tampaknya turut berandil memelihara keyakinan bahwa bagi para sultan
berhaji—sebagai rukun seorang Muslim—memadai dan sah diwakili orang lain. Maka,
jangan kaget bahwa sebenarnya meski Sultan tidak berhaji tetapi seolah merasa
sudah berhaji.
Keberadaan ulama Keraton yang bertugas menghajikan Sultan memang ada.
Mereka abdi dalem dengan sebutan Kiyai Haji Aji Selusin; bertugas
mewakili raja naik haji. Dan ini bukan tradisi di era sekarang saja. Artinya,
sejak lama di tengah kesibukan mengatur rakyat dan menghadapi beragam soal
pemerintahan (apalagi di era kolonialisme pada masa pendahulu Sultan sekarang),
rukun Islam dianggap tuntas dan tunai dengan menunjuk seorang abdi dalem Aji
Selusin berangkat ke Tanah Suci.
Entah dari mana syariat ini datang. Kalau di masa Rasulullah ada seorang
sahabat yang diperbolehkan menghajikan orangtuanya yang meninggal tapi masih
mempunyai tanggungan janji bakal berhaji, asbabul wurudunya tentu berbeda
dengan apa yang dipercayai di lingkungan Keraton Yogyakarta. Amat berbeda,
meski sepintar di permukaan sama: bolehnya menghajikan orang lain. Gebyah
uyah ini tentu amat menguntungkan mereka yang menjabat posisi Sultan. Tak
perlu repot ke Tanah Suci, pulang-pulang merasa sudah berhaji walaupun tidak
perlu mengumumkan ke rakyatnya.
Masih menjadi penasaran saya, tentu tidak sesederhana itu soal legitimasi
kesibukan kerja Sultan untuk tidak berhaji atau berhaji dengan menunjuk abdi
dalem sebagai pewakilnya. Apalagi ini sudah berlangsung turun-temurun. Mengapa
raja atau sultan dari kerajaan yang notabene menyebut diri Islam melakukan hal
yang secara formal berbeda dengan pelaksanaan syariat dengan umat Islam pada
umumnya?
Jujur, saya kok merasa ada kesan mistis yang tidak bisa ditanggalkan dari
soal ini. Seakan, seperti dicelotehi teman dengan berkelakar, ketika di Tanah
Suci hal-hal kejawen atau ritual tidak islami mendapat peringatan langsung dari
Allah sehingga mengakibatkan turunnya balak. Takut adanya balak, mending
mengutus orang lain, apalagi yang bertitel ulama.
Dengan melekatnya sebutan Sayyidin Panatagama Khalifatullah
(gelar lengkapnya Sampeyan Dalem ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengku
Buwana Senapati ing Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Khalifatullah
ingkang Jumeneng Kaping Sadasa – edt) pada seorang Sultan, sejatinya beliau
akan tampak berwibawa ketika berhaji seorang diri. Ada peneguhan atas syariat
agama yang menjadi identitas kesultanannya. Ada kerendahan hati selaku hamba
Allah saat di Tanah Suci sehingga ini bisa berimbas—jika mabrur—dalam kiprah
mengelola pemerintahannya (baik selaku sultan ataupun gubernur
Yogyakarta). Juga ada kerakyatan sejati dengan berangkat sendiri bukan
diwakilkan. Bukan kerakyatan hasil pemitosan atau retorika rakyatnya.
Saya berharap, Sultan Hamengkubuwono X mendobrak tradisi mewakilkan itu
dengan mencontohkan langsung. Termasuk mengajak sang permaisuri, kendati
pemikiran Tarikat Mason pada diri Ratu bakal membuatnya enggan pergi ke Mekah.
Tapi tak mengapa, siapa tahu dengan berangkat haji, Sultan diberikan keturunan
lelaki, atau cucu lelaki terutama dari anak bungsunya. Agar penerusnya sebagai
raja masih keturunan dekatnya. Tentu saja, niat semacam ini bukan motif utama
beliau ke Mekah.
Yusuf Maulana – Yogyakarta
http://www.fimadani.com