Rasanya semakin
lama beban mahasiswa di Indonesia semakin berat saja. Sudah biaya pendidikan
mahal, masih saja pemerintah menjadikan peserta didik sebagai ‘kelinci
percobaan’ kebijakan. Yang terbaru adalah mewajibkan mahasiswa jenjang S1, S2,
dan S3 menerbitkan skripsi, tesis, dan disertasi ke dalam jurnal. Dan ini akan
segera dimulai di tahun perkuliahan 2012-2013. Yang sedang menyusun skripsi,
tesis, dan disertasi pasti ingin buru-buru (ingin) diwisuda sebelum tahun
perkuliahan 2011-2012 berakhir supaya tidak perlu merasakan kebijakan tersebut.
Sudah banyak memang para ahli membahas masalah ini,
baik yang pro maupun yang kontra dengan kebijakan ini. Tulisan ini berasal dari
sudut pandang mahasiswa karena saya masih berstatus mahasiswa, dan sepertinya
saya harus segera buru-buru menyelesaikan studi saya supaya saya tidak terkena
kebijakan ini. Mumpung belum terealisasi, yang penting selesai dulu tugas akhirnya.
Soal kualitas belakangan.
(Tolong jangan ditiru pemikiran saya ini. Tidak baik
seorang intelektual berpikiran seperti apa yang saya pikirkan). Entah apa yang
saya tulis ini seperti gelas yang setengah penuh atau setengah kosong. Saya
bukan dosen dan saya tidak tahu persis bagaimana proses sebuah karya ilmiah
bisa dimuat di sebuah jurnal.
Tetapi yang saya baca pada rubrik Opini di sebuah
surat kabar nasional, sebuah karya ilmiah untuk dapat dimuat di sebuah jurnal
nasional terakreditasi, butuh waktu sekitar satu atau dua tahun. Menunggu
pemuatannya saja butuh waktu lebih lama dari penyusunan skripsi, tesis, dan
disertasi. Jadi, meskipun sebuah skripsi, tesis, atau disertasi sudah diujikan
di hadapan tim penguji dan dinyatakan lulus, sebelum skripsi dimuat di jurnal
ilmiah, tesis di jurnal ilmiah nasional, dan disertasi di jurnal internasional,
mahasiswa tidak bisa menyandang gelar sarjana, magister, atau doktor. Saya
tidak tahu di perguruan tinggi lain.
Di tempat saya belajar, jika proposal sudah diterima,
ketika diujikan di hadapan tim penguji saat ujian skripsi atau tesis, hampir
pasti calon sarjana dan magister akan lulus minimal dengan nilai B. Jangankan
harus mengulang penelitian, yang mendapat nilai C saja sangat sangat jarang.
Untuk perguruan tinggi, jika terlalu mempersulit mahasiswa untuk lulus, tentu
akan berpengaruh kepada akreditasi.
Coba saja lihat iklan perguruan tinggi swasta. Tiap
program studi pasti dituliskan nilai akreditasinya. Jangan salah, nilai
akreditasi adalah nilai jual tersendiri bagi perguruan tinggi. Semakin banyak
progdi yang berakreditasi “A”, kemampuan merebut calon mahasiswa semakin besar.
Perguruan tinggi pun tidak mau dikenal sebagai perguruan tinggi yang susah
meluluskan mahasiswa.
Jujur saja, ketika memilih sebuah perguruan tinggi,
salah satu referensi yang ditanyakan kepada senior adalah, “lulusnya gampang
atau tidak?” Ketika saatnya mahasiswa mencari dosen pembimbing untuk penulisan
skripsi atau tesis, pasti ada dosen yang tidak favorit. Dosen menjadi dosen
pembimbing yang tidak favorit bisa jadi karena banyak kesibukan di luar atau
karena terlalu perfect dan idealis! Coret sana, coret sini, kurang ini, kurang
itu, atau apalah, yang membuat mahasiswa kemudian malas-malasan untuk
menyelesaikan skripsi atau tesisnya.
Baru kembali semangat setelah menerima surat
pemberitahuan tentang batas akhir masa studi. Dan biasanya setelah mendapat
surat ini, dosen killer tersebut agak melunak. Bagi mahasiswa dan dosen, pada
akhirnya mahasiswa lulus meski dengan hasil skripsi atau tesis yang bisa
dibilang sekedar untuk memenuhi syarat kelulusan. Kalau anda tanya saya, saya
mahasiswa yang sedikit idealis. Saya bisa saja melakukan apa yang teman-teman
mahasiswa lain lakukan.
Lihat skripsi atau tesis sebelumnya, cukup ganti obyek
penelitiannya, dan jadilah skripsi atau tesis. Toh mengganti obyek penelitian
tidaklah salah. Mengganti obyek penelitian hanya ada dua kemungkinan, mendukung
atau bertentangan dengan hasil penelitian sebelumnya. Jika bertentangan, ini
bisa jadi bahan penelitian berikut bagi ‘adik’ angkatan yang akan menyusun
skripsi atau tesis. Sebenarnya ada cara mudah lainnya, tapi tidak perlu dan
saya tidak mau sebut disini.
Selain tidak etis, juga tidak mendidik, meskipun
mungkin anda tahu apa cara mudah yang saya maksud di atas. Kembali ke idealisme
saya dalam penyusunan skripsi dan tesis. Terlalu idealis ternyata bikin ‘kaku
ati’. Satu per satu teman saya sudah lulus, sementara saya? Masih saja berkutat
mencari referensi. Dosen pembimbing saya pun bukan termasuk dosen yang
neko-neko. Sekarang momennya malah pas. Tiba-tiba muncul kebijakan kalau untuk
mendapat gelar, mahasiswa harus membuat makalah yang harus dimuat di jurnal
nasional terakreditasi.
Daripada saya kena kebijakan tersebut, saya harus
buru-buru menyelesaikan tugas akhir saya. Singkirkan dulu idealisme. Toh tugas
akhir saya juga sepertinya tidak akan dibaca kalau saya melamar pekerjaan di
bidang non-akademik. Bagi pemberi kerja di bidang non-akademik, yang penting
itu selembar ijasah, bukan bundel tugas akhir. Jika kebijakan ini dipaksakan
harus dilaksanakan, bisa-bisa bukan sekedar mutu lulusan perguruan tinggi yang
kalah dibanding dengan Malaysia. Malah mungkin daripada bayar mahal-mahal masuk
PTN atau PTS, masa studi yang lebih lama karena untuk lulus harus menunggu
makalah dimuat di jurnal ilmiah, lebih baik sekalian saja kuliah di luar
negeri.
Dihitung-hitung biayanya pun hampir sama. Kuliah di
luar negeri tugas akhir bisa memilih jalur non skripsi/tesis, dan tugas
akhirnya pun tidak harus dimuat di jurnal ilmiah. Outputnya sama saja, hanya
selembar kertas. Selembar kertas yang jika ‘dijual’ ke pemberi kerja pasti
nilainya lebih tinggi dibanding selembar ijasah produksi universitas dalam
negeri. Perguruan tinggi di luar negeri panen mahasiswa Indonesia! Atau banyak
perguruan tinggi dari luar negeri yang membuka cabang di Indonesia.
Perguruan tinggi luar negeri pun pasti akan butuh
banyak dosen karena limpahan calon mahasiswa dari Indonesia. Karena banyak
mahasiswa asal Indonesia, direkrutlah dosen-dosen asal Indonesia. Para dosen
diberi fasilitas lebih baik disana. Akhirnya tidak ada lagi yang mau jadi dosen
di Indonesia, kecuali sudah ‘gila’. Apa yang tersisa? Tidak tega saya
menulisnya disini. Pemikiran saya cuma sekedar andai-andai belaka. Maklum,
otaknya sudah panas duluan karena muncul kebijakan terbaru tersebut. Jadi
dimaafkan saja kalau saya ‘ngelantur’. Sekali lagi saya tegaskan, ini hanya
opini mahasiswa yang sedang berusaha untuk ‘menghindari’ kewajiban menulis
makalah di jurnal supaya mendapatkan gelar yang saya inginkan. Jadi, Buruan
wisuda sebelum Agustus 2012!
Sumber http://citizennews.suaramerdeka.co