“Mau Tuhan apa sih?!” protesnya setengah berteriak, sembari menangis
tersungkur ke lantai. Dinginnya lantai membuat hatinya berangsur tenang, dan
spontan berucap “Astaghfirullah.”
***
Agnes adalah sosok wanita Katolik taat. Setiap malam, ia beserta
keluarganya rutin berdoa bersama. Bahkan, saking taatnya, saat Agnes dilamar
Martono, kekasihnya yang beragama Islam, dengan tegas ia mengatakan, “Saya
lebih mencintai Yesus Kristus dari pada manusia!”
Ketegasan prinsip Katolik yang dipegang wanita itu menggoyahkan Iman
Martono yang muslim, namun jarang melakukan ibadah sebagaimana layaknya orang
beragama Islam. Martono pun masuk Katolik, sekedar untuk bisa menikahi
Agnes. Tepat tanggal 17 Oktober 1982, mereka melaksanakan
pernikahan di Gereja Ignatius, Magelang, Jawa Tengah.
Usai menikah, lalu menyelesaikan kuliahnya di Jogjakarta, Agnes
beserta sang suami berangkat ke Bandung, kemudian menetap di salah satu
kompleks perumahan di wilayah Timur kota kembang. Kebahagiaan terasa lengkap
menghiasi kehidupan keluarga ini dengan kehadiran tiga makhluk kecil buah
hati mereka, yakni: Adi, Icha dan Rio.
Di lingkungan barunya, Agnes terlibat aktif sebagai jemaat Gereja
Suryalaya, Buah Batu, Bandung. Demikan pula Martono, sang suami. Selain juga
aktif di Gereja, Martono saat itu menduduki jabatan penting, sebagai kepala
Divisi Properti PT Telkom Cisanggarung, Bandung.
Karena Ketaatan mereka memegang iman Katolik, pasangan ini bersama beberapa
sahabat se-iman, sengaja mengumpulkan dana dari tetangga sekitar yang beragama
Katolik. Mereka pun berhasil membeli sebuah rumah yang ‘disulap’ menjadi tempat
ibadah (Gereja,red).
Uniknya, meski sudah menjadi pemeluk ajaran Katolik, Martono tak melupakan
kedua orangtuanya yang beragama Islam. Sebagai manifestasi bakti dan
cinta pasangan ini, mereka memberangkatkan ayahanda dan ibundanya Martono ke
Mekkah, untuk menunaikan rukun Islam yang kelima.
Hidup harmonis dan berkecukupan mewarnai sekian waktu hari-hari keluarga
ini. Sampai satu ketika, kegelisahan menggoncang keduanya. Syahdan, saat itu,
Rio, si bungsu yang sangat mereka sayangi jatuh sakit. Panas suhu badan yang
tak kunjung reda, membuat mereka segera melarikan Rio ke salah satu rumah sakit
Kristen terkenal di wilayah utara Bandung.
Di rumah sakit, usai dilakukan diagnosa, dokter yang menangani saat itu
mengatakan bahwa Rio mengalami kelelahan. Akan tetapi Agnes masih saja
gelisah dan takut dengan kondisi anak kesayangannya yang tak kunjung membaik.
Saat dipindahkan ke ruangan ICU, Rio, yang masih terkulai lemah, meminta
Martono, sang ayah, untuk memanggil ibundanya yang tengah berada di luar
ruangan. Martono pun keluar ruangan untuk memberitahu Agnes ihwal permintaan
putra bungsunya itu.
Namun, Agnes tak mau masuk ke dalam. Ia hanya mengatakan pada Martono,
”Saya sudah tahu.” Itu saja.
Martono heran. Ia pun kembali masuk ke ruangan dengan rasa penasaran yang
masih menggelayut dalam benak.
Di dalam, Rio berucap, “Tapi udahlah, Papah aja, tidak apa-apa.”
“Papah, hidup ini hanya 1 centi. Di sana nggak ada batasnya,” lanjutnya.
Sontak, rasa takjub menyergap Martono. Ucapan bocah mungil buah hatinya
yang tengah terbaring lemah itu sungguh mengejutkan. Nasehat kebaikan
keluar dari mulutnya seperti orang dewasa yang mengerti agama.
Hingga sore menjelang, Rio kembali berujar, “Pah, Rio mau pulang!”
Hingga sore menjelang, Rio kembali berujar, “Pah, Rio mau pulang!”
“Ya, kalau sudah sembuh nanti, kamu boleh pulang sama Papa dan Mama,” jawab
Martono.
“Ngga, saya mau pulang sekarang. Papah, Mamah, Rio tunggu di pintu surga!”
begitu, ucap Rio, setengah memaksa.
Belum hilang keterkejutan Martono, tiba-tiba ia mendengar ‘bisikan’ yang
meminta dia untuk membimbing membacakan syahadat kepada anaknya. Ia kaget dan
bingung. Tapi perlahan Rio dituntun sang ayah, Martono, membaca syahadat,
hingga kedua mata anak bungsunya itu berlinang. Martono hafal syahadat, karena
sebelumnya adalah seorang Muslim.
Tak lama setelah itu ‘bisikan’ kedua terdengar, bahwa setelah adzan Maghrib
Rio akan dipanggil sang Pencipta. Meski tambah terkejut, mendengar bisikan itu,
Martono pasrah. Benar saja, 27 Juli 1999, persis saat sayup-sayup adzan
Maghrib, berkumandang Rio menghembuskan nafas terakhirnya.
Tiba jenazah Rio di rumah duka, peristiwa aneh lagi-lagi terjadi. Agnes
yang masih sedih waktu itu seakan melihat Rio menghampirinya dan berkata, “Mah
saya tidak mau pakai baju jas mau minta dibalut kain putih aja.”
Saran dari seorang pelayat Muslim, bahwa itu adalah pertanda Rio ingin
dishalatkan sebagaimana seorang Muslim yang baru meninggal.
Setelah melalui diskusi dan perdebatan diantara keluarga, jenazah Rio
kemudian dibalut pakaian, celana dan sepatu yang serba putih kemudian
dishalatkan. Namun, karena banyak pendapat dari keluarga yang tetap harus
dimakamkan secara Katolik, jenazah Rio pun akhirnya dimakamkan di Kerkov.
Sebuah tempat pemakaman khusus Katolik, di Cimahi, Bandung.
Sepeninggal Rio
Sepeninggal anaknya, Agnes sering berdiam diri. Satu hari, ia mendengar
bisikan ghaib tentang rumah dan mobil. Bisikan itu berucap, “Rumah adalah rumah
Tuhan dan mobil adalah kendaraan menuju Tuhan.”
Pada saat itu juga Agnes langsung teringat ucapan mendiang Rio semasa
TK dulu, ”Mah, Mbok Atik nanti mau saya belikan rumah dan mobil!” Mbok Atik
adalah seorang muslimah yang bertugas merawat Rio di rumah.
Saat itu Agnes menimpali celoteh si bungsu sambil tersenyum, “Kok Mamah ga
dikasih?”
“Mamah kan nanti punya sendiri” jawab Rio, singkat.
Entah mengapa, setelah mendengar bisikan itu, Agnes meminta suaminya untuk
mengecek ongkos haji waktu itu. Setelah dicek, dana yang dibutuhkan Rp.
17.850.000. Dan yang lebih mengherankan, ketika uang duka dibuka,
ternyata jumlah totalnya persis senilai Rp 17.850.000, tidak lebih atau
kurang sesenpun. Hal ini diartikan Agnes sebagai amanat dari Rio untuk
menghajikan Mbok Atik, wanita yang sehari-hari merawat Rio di rumah.
Singkat cerita, di tanah suci, Mekkah, Mbok Atik menghubungi Agnes via
telepon. Sambil menangis ia menceritakan bahwa di Mekkah ia bertemu Rio.
Si bungsu yang baru saja meninggalkan alam dunia itu berpesan, “Kepergian Rio
tak usah terlalu dipikirkan. Rio sangat bahagia disini. Kalo Mama kangen,
berdoa saja.”
Namun, pesan itu tak lantas membuat Agnes tenang. Bahkan Agnes mengalami
depresi cukup berat, hingga harus mendapatkan bimbingan dari seorang Psikolog
selama 6 bulan.
Satu malam saat tertidur, Agnes dibangunkan oleh suara pria yang berkata,
“Buka Alquran surat Yunus!”. Namun, setelah mencari tahu tentang surat Yunus,
tak ada seorang pun temannya yang beragama Islam mengerti kandungan makna di
dalamnya. Bahkan setelah mendapatkan Al Quran dari sepupunya, dan membacanya
berulang-ulang pun, Agnes tetap tak mendapat jawaban.
“Mau Tuhan apa sih?!” protesnya setengah berteriak, sembari menangis
tersungkur ke lantai. Dinginnya lantai membuat hatinya berangsur tenang, dan
spontan berucap, “Astaghfirullah…”
Tak lama kemudian, akhirnya Agnes menemukan jawabannya sendiri di surat
Yunus ayat 49: “Katakan tiap-tiap umat mempunyai ajal. Jika datang ajal,
maka mereka tidak dapat mengundurkannya dan tidak (pula) mendahulukannya”.
Beberapa kejadian aneh yang dialami sepeninggal Rio, membuat Agnes berusaha
mempelajari Islam lewat beberapa buku. Hingga akhirnya wanita penganut Katolik
taat ini berkata, “Ya Allah, terimalah saya sebagai orang Islam, saya tidak mau
di-Islamkan oleh orang lain!”.
Setelah memeluk Islam, Agnes secara sembunyi-sembunyi melakukan shalat.
Sementara itu, Martono, suaminya, masih rajin pergi ke gereja. Setiap kali
diajak ke gereja Agnes selalu menolak dengan berbagai alasan.
Sampai suatu malam, Martono terbangun karena mendengar isak tangis seorang
perempuan. Ketika berusaha mencari sumber suara, betapa kagetnya Martono saat
melihat istri tercintanya, Agnes, tengah bersujud dengan menggunakan jaket,
celana panjang dan syal yang menutupi aurat tubuhnya.
“Lho kok Mamah shalat,” tanya Martono.
“Maafkan saya, Pah. Saya duluan, Papah saya tinggalkan,” jawab Agnes lirih.
Ia pasrah akan segala resiko yang harus ditanggung, bahkan perceraian
sekalipun.
Martono pun Akhirnya Kembali ke Islam
Sejak keputusan sang istri memeluk Islam, Martono seperti berada di
persimpangan. Satu hari, 17 Agustus 2000, Agnes mengantar Adi, putra
pertamanya untuk mengikuti lomba adzan yang diadakan panitia Agustus-an di
lingkungan tempat mereka tinggal. Adi sendiri tiba-tiba tertarik untuk
mengikuti lomba adzan beberapa hari sebelumnya, meski ia masih Katolik dan
berstatus sebagai pelajar di SMA Santa Maria, Bandung. Martono sebetulnya juga
diajak ke arena perlombaan, namun menolak dengan alasan harus mengikuti upacara
di kantor.
Di tempat lomba yang diikuti 33 peserta itu, Gangsa Raharjo, Psikolog
Agnes, berpesan kepada Adi, “Niatkan suara adzan bukan hanya untuk orang yang
ada di sekitarmu, tetapi niatkan untuk semesta alam!” ujarnya.
Hasilnya, suara Adzan Adi yang lepas nan merdu, mengalun syahdu, mengundang
keheningan dan kekhusyukan siapapun yang mendengar. Hingga bulir-bulir air mata
pun mengalir tak terbendung, basahi pipi sang Ibunda tercinta yang larut
dalam haru dan bahagia. Tak pelak, panitia pun menobatkan Adi sebagai
juara pertama, menyisihkan 33 peserta lainnya.
Usai lomba Agnes dan Adi bersegera pulang. Tiba di rumah, kejutan lain
tengah menanti mereka. Saat baru saja membuka pintu kamar, Agnes terkejut
melihat Martono, sang suami, tengah melaksanakan shalat. Ia pun spontan
terkulai lemah di hadapan suaminya itu. Selesai shalat, Martono langsung meraih
sang istri dan mendekapnya erat.
Sambil berderai air mata, ia berucap lirih, “Mah, sekarang Papah sudah
masuk Islam.”
Mengetahui hal itu, Adi dan Icha, putra-putri mereka pun mengikuti
jejak ayah dan ibunya, memeluk Islam.
Perjalanan panjang yang sungguh mengharu biru. Keluarga ini pun akhirnya
memulai babak baru sebagai penganut Muslim yang taat. Hingga kini, esok, dan
sampai akhir zaman. Insya Allah.
Muhammad Yasin
Sumber http://www.fimadani.com