Ibu dari Khalid al-Islambouli, perwira tentara Mesir yang bertanggung jawab
atas pembunuhan Presiden Anwar Sadat pada tahun 1981, mengatakan dirinya bangga
dengan anaknya dalam sebuah wawancara dengan kantor berita negara Iran, Fars.
Sadat sendiri dibunuh saat menghadiri upacara untuk menandai peringatan
kedelapan dari perang Yom Kippur dengan Israel pada tahun 1973 pada tanggal 6
Oktober 1981. Sejumlah pria bersenjata berlari dari salah satu kendaraan pawai
dengan Islambouli memimpin pasukan, melompat dari kendaraan militer
membombardir presiden dengan peluru. Sadat dinyatakan meninggal dua jam kemudian
dan 20 lainnya, termasuk empat diplomat Amerika terluka.
Mereka yang terlibat dalam plot serangan diidentifikasi sebagai anggota
Jihad Islam Mesir. Tindakan Islambouli dipandang sebagai sikap pertahanan dari
semangat Islam dan penolakan terhadap perjanjian damai Camp David antara Israel
dan Mesir pada tahun 1979, inisiatif perdamaian negara Arab pertama dengan
negara Yahudi. Sadat memimpin Mesir pada tahun 1970-an, berperang melawan
Israel dan kemudian berdamai dengan negara Yahudi itu untuk mendapatkan kembali
Sinai.
"Saya sangat bangga bahwa anak saya menewaskan Anwar al-Sadat,"
kata ibu Islambouli, Qadriya yang berusia 85-tahun. "Pemerintah
menyebutnya teroris, penjahat, dan pembunuh, tetapi mereka tidak mengatakan
bahwa ia membela Islam. Mereka tidak mengatakan apa-apa tentang orang-orang
tertindas di Palestina, perjanjian Camp David, atau bagaimana Sadat menjual
habis negara untuk orang Yahudi dan melanggar kehormatan dari sebuah negara
Islam," katanya seperti dikutip di Ahram online hari Minggu lalu.
Islambouli yang bergabung dengan Jihad Islam Mesir dan Muhammad al-Salam
Faraj, Issam al-Qamari, dieksekusi pada tanggal 15 April 1982. Setelah
eksekusi, Islambouli dinyatakan sebagai syuhada oleh banyak kelompok jihadis
umat Islam di seluruh dunia, dan menjadi simbol inspirasi untuk gerakan-gerakan
Islam "radikal".
Sebuah plot untuk membunuh mantan presiden Hosni Mubarak oleh saudara
Islambouli, Muhammad Syawqi digagalkan pada tahun 1995. Dia ditangkap di
bandara Kairo, setelah tiba dari Teheran pada bulan Agustus tahun lalu dan
sedang menunggu pengadilan ulang setelah mengajukan banding. Dia dijatuhi
hukuman mati in absentia di pengadilan militer pada tahun 1992 untuk
perencanaan operasi teroris di Mesir.
Qadriya, yang juga nenek mertua putra Usamah bin Ladin, mengatakan dia
bangga melihat jalan yang dinamakan anaknya di kota Teheran.
Dia juga mengatakan dia bisa kembali ke Mesir dari Afghanistan atas bantuan
oleh pemerintah Iran.
"Saya kembali ke Mesir melalui saluran diplomatik, bukan keamanan.
Pihak berwenang Iran menempatkan saya di sebuah hotel di Teheran selama 15 hari
dan membuat semua pengaturan perjalanan pulang saya," tambahnya.(fq/aby)
Sumber http://www.eramuslim.com