Dalam setiap zaman, umat Islam selalu menjadi momok dan sasaran empuk
penguasa fasik. Beraneka ragam tuduhan dan fitnah kerap ditujukan kepada umat
ini dengan sebutan kontra revolusi, tidak Pancasilais, Anti-kebangsaan,
fundamentalis hingga Teroris. Lalu siapa sebenarnya yang tak pancasilais
dan teroris?
Suatu ketika Buya Hamka mendengar bisikan berbau tuduhan, bahkan fitnah
yang isinya: sebagian besar dari para ulama dan pemimpin Islam adalah
anti-Pancasila. Dikatakan pula, bahwa golongan terbesar umat Islam itu menerima
Pancasila dengan setengah hati, dan hendak menukar Pancasila dengan yang lain.
Bagaimana menjelaskan tuduhan ini?
Menurut Buya Hamka, dasar agama umat Islam adalah tauhid, artinya percaya
kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang tidak bersekutu dengan yang lain, yang percaya
bahwa Tuhan Allah itu ada. Dan dia menjadi kafir, keluar dari Islam dan masuk
neraka, kalau tidak percaya kepada Allah. Inilah substansi kenapa umat Islam
tidak menolak dasar negara tersebut. Adalah tuduhan jahat dan pendusta, jika
umat Islam anti Ketuhanan Yang Maha Esa yang dilandasi oleh ketauhidan ini.
Selain itu, kaum muslimin pun dituduh anti kebangsaan, yang merupakan sila
kedua Pancasila. Padahal, kata Buya Hamka, kaum Muslimin lah yang telah
mengorbankan jiwa, harta-bendanya untuk mencapai kemerdekaan itu. Kaum Muslimin
pula yang banyak menjadi korban ketika Peristiwa Madiun. Dimana-mana berdiri
angkatan Perang Sabil (Jogyakarta), barisan Hizbullah, Sabilillah (Jawa dan
Sumatera).
Juga lihatlah, bagaimana Pangeran Diponogoro mengangkat senjata melawan
bangsa penjajah, begitu juga dengan Tuanku Imam Bonjol, Teuku Cik Di Tiro, Cut
Nya Dien dan sebagainya. Termasuk HOS Cokroaminoto, pendiri pertama dari gerakan
nasional yang mempersatukan bangsa Indonesia.
“Kalau benar umat Islam anti kebangsaan, mengapa tidak diusulkan saja
mencabut gelar pahlawan nasional dari KH. Ahmad Dahlan, H. Samanhudi, HOS
Cokroaminoto, H. Agus Salim, Panglima Besar Sudirman dan masih banyak lagi?”
tanya Buya Hamka.
Patut diketahui, umat Islam lah yang mulai merasakan nikmat kebangsaan.
Bukan orang-orang yang mendapatkan pendidikan Belanda. Sudah beratus tahun
lamanya sebelum gerakan kebangsaan, orang Islam sudah menunaikan ibadah haji ke
Makkah, yang ketika berada di ke-imigrasian, akan ditanya, siapa nama anda, dan
apa bangsa anda? Atau ketika bangsa lain memanggil orang Indonesia dengan
sebutan “Indonesi”.
Juga perhatikan, nama ulama terdahulu yang disebutkan berdasarkan dari
asal-usulnya. Sebut saja seperti Syekh Akhmad Khatib Al-Minangkabawi Al-Jawi
dan Syeikh Muhammad Nawawi Al-Bantani Al-Jawi serta Syeikh Al-Falibaniy
Al-Jawi. Jika kita berkaca pada sejarah, maka terlalu berlebihan jika umat
Islam dituduh anti-kebangsaan.
Bukankah dalam Al Qur’an, Allah Swt berfirman: “Hai manusia,
sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan
menjadikan kamu berbangsa-bangsa, dan bersuku-suku, supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah
ialah orang paling bertaqwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal.”(QS. Al-Hujuraat:13)
Yang pasti, umat Islam juga tidak anti Keadilan Sosial. Kita adalah penegak
keadilan sosial dalam praktek hidup sehari-hari. “Kita tidak anti Pancasila
(seperti yang dituduhkan), bahkan kitalah pembela dan pengamal Pancasila.
Sejatinya, Pancasila bukan dengan pidato, dan bukan dengan gembar-gembor, tapi
dengan amal dan perbuatan kita sehari-hari,” tegas Buya Hamka.
Pancasila Munafik
Meski tidak menafikan Pancasila, Buya Hamka skeptis dan mempersoalkan orang
yang selama ini membela Pancasila, namun kenyataannya tak lebih permainan bibir
(lips service), namun dimuntahkan dari hati. Faktanya, Pancasila di masa
Orde Baru, bahkan di era Reformasi, hanyalah slogan kosong yang diungkapkan
dalam pidato-pidato kenegaraan, tapi secara bersamaan dilanggar dalam kehidupan
sehari-hari.
“Merekalah yang sebenarnya menghancur-leburkan Pancasila dalam tingkah
laku, tindak tanduk, sepak terjang hidup sepanjang hari, dengan memakai
kekuasaan yang ada dalam tangan mereka,” kata Buya Hamka.
Lebih lanjut Hamka menegaskan, inilah contoh orang-orang yang memegang
kekuasaan negara di masa Orde Lama. Mengaku percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa
di bibir, tetapi tidak pernah mendekatkan diri kepada Tuhan menurut agama yang
mereka peluk. Sehingga terbaliklah keadaan, orang yang tekun percaya kepaya
Tuhan, mengerjakan perintah dan menghentikan larangan Tuhan, dipandang
anti-Pancasila. Dan orang yang taat mengerjakan agama dicap reaksioner atau
kontra revolusioner.
Alangkah banyaknya paradoks di dalam negeri yang berdasarkan Pancasila di
zaman itu, bahkan kini. Buktinya, mobil mewah pejabat yang meluncur diatas
jembatan, sedang dibawahnya tidur orang-orang yang kehabisan tenaga untuk hidup
dan hilang harapan.
Mereka yang selama ini mengkultuskan Pancasila, dan mengatakan Pancasila
tidak boleh dirongrong, namun ironisnya yang melakukan itu justru mereka yang
berkuasa itu sendiri. Pada masa Orba, menjilat menjadi penting. Siapa yang
kurang pandai menjilat akan binasa dan celaka hidupnya.
Pada akhirnya, kata Buya Hamka, ”Jadilah kita semua umat Islam ini taat
beragama, dengan ketaatan beragama, dengan sendirinya Pansila terjamin
keselamatannya. Dan orang-orang yang mengaku dirinya Pancasila sejati, padahal
tidak jelas apa agama yang dipeluknya, sungguh tidaklah akan dapat mengamalkan
dan mengamankan Pancasila.”
Tak berbeda, ketika umat Islam berpegang teguh pada Al Qur'an dan Sunnah,
lantas dituduh sebagai fundamentalis, radikalis, bahkan teroris. Begitu juga
dengan Ulama yang selama ini giat memperjuangkan syariah dalam kehidupan
berkebangsaan.
Ketika ideologi Islam hendak diperjuangkan, dapat kita saksikan,
kepanikan dan kebrutalan penguasa fasik dengan melakukan tekanan politik
terhadap para pejuang syariah disertai berbagai tuduhan dan fitnah tanpa bukti,
dengan membuat stigmatisasi: seolah Islam adalah ancaman dan ideologi paling
berbahaya di dunia.Ketakutan itulah yang diciptakan oleh penguasa dan
musuh-musuh Islam, agar kaum muslimin tidak peduli dengan urusan agamanya. (Desastian
Sumber http://www.voa-islam.com