Enam puluh dua tahun yang lalu kondisi Malioboro yang menjadi pusat atau jantung kota Yogyakarta masih kelihatan sangat lengang. Memang telah banyak toko, kios, atau pedagang kaki lima. Namun keadaannya sungguh sangat berbeda dengan kondisi sekerang yang hampir selalu macet dan sangat padat oleh pedagang dan kendaraan parkir. Lebih-lebih, seperti gambar di atas, suasana yang disajikan adalah suasana ketika pasukan militer Belanda melakukan agresinya yang kedua pada tanggal 19 Desember 1948.
Tampak dalam gambar tiga personil militer Belanda berdiri di atas trotoar Malioboro di depan deretan toko dan pedagang kaki lima. Tampak bahwa trotoar di depan toko-toko itu masih terbuka (belum beratap-menyatu dengan atap toko seperti sekarang). Jalan Malioboro yang tampak dalam gambar itu benar-benar lengang kecuali terisi oleh para pedagang yang berkegiatan di sisi-sisi jalan. Barangkali orang-orang Yogyakarta waktu itu takut memasuki jantung kota yang telah diduduki Belanda. Mereka (termasuk para gerilyawan) memilih berdiam di luar kota.
Kelengangan Malioboro seperti dalam gambar itu hanya tinggal kenangan. Kini Malioboro menjadi salah satu pusat bisnis dengan perputaran uang sangat besar untuk ukuran kota Yogyakarta. Ada banyak orang, organisasi, kelompok atau lembaga yang menggunakan kawasan Malioboro untuk menyelenggarakan berbagai kepentingan dan hajat hidupnya. Malioboro ibarat gula yang menarik sekian banyak orang untuk turut menikmati manisnya. Tidak aneh jika kawasan yang tidak terlampau luas ini menjadi demikian padat dan menjadi arena pembuangan gas dari knalpot dengan intensitas yang sangat tinggi di Yogyakarta.
Malioboro sejak dulu telah menjadi kawasan yang cukup istimewa bagi Yogyakarta. Tinggal kita bisa merawat dan mengelolanya dengan baik atau tidak. Jika tidak, tentu Malioboro akan menjadi salah satu citra buruk bagi Yogyakarta.
a. sartono
Sumber: Suhartono WP, dkk., 2002, Yogyakarta Ibukota Republik Indonesia 1946-1949, Yogyakarta: Kanisius dengan sponsor dari Yaysan Soedjatmoko
http://www.tembi.org