Kompas sebagai suatu perusahaan media massa yang besar dan prestisius ini
merupakan sebuah perusahaan yang paling lama atau mempunyai umur yang lebih
lama dari media yang lainnya. Harian yang bermotto “ Amanat Hati Nurani
Rakyat”. Di awali dengan akan bangkrutnya PT Kinta dengan terbitan majalah
bulanan Intisari yang didirikan oleh (Alm.) Auwjong Peng Koen, atau lebih
dikenal dengan nama Petrus Kanisius Ojong seorang pimpinan redaksi mingguan
Star Weekly, berserta Jakob Oetama, wartawan mingguan Penabur milik gereja
Katolik. Edisi perdana dari bulanan Inti Sari terbit pertama kali pada tanggal
7 Agustus 1963, dengan jumlah 128 halaman dengan terdiri dari 22 artikel.[1]
Edisi perdana ini memuat karya terjemahan tentang bintang layar perak
Marilyn Monroe, pengalaman perjalanan ke London Nugroho Notosusanto, seorang
ahli sejarah dari Universitas Indonesia, dan kisah Usmar Ismail, sutradara film
kenamaan, ketika pertama kali membuat film.
Tahun 1964 Presiden Soekarno mendesak Partai Katolik untuk mendirikan
koran, maka dari wartawan bulanan Intisari inilah sebagian wartawan Katolik
direkrut. Selanjutnya, beberapa tokoh Katolik terkemuka seperti P.K. Ojong,
Jakob Oetama, R.G. Doeriat, Frans Xaverius Seda, Policarpus Swantoro, R.
Soekarsono, mengadakan pertemuan bersama beberapa wakil elemen hierarkis dari
Majelis Agung Wali Gereja Indonesia (MAWI): Partai Katolik, Perhimpunan
Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Pemuda Katolik dan Wanita
Katolik. Mereka sepakat mendirikan Yayasan Bentara Rakyat. [2]
Susunan pengurus pertama dari Yayasan Bentara Rakyat adalah; ketua Ignatius
Joseph Kasimo (ketua Partai Katolik), wakil ketua Frans Seda (Menteri
Perkebunan dalam kabinet Soekarno), penulis I F.C. Palaunsuka, penulis II Jakob
Oetama, dan bendahara P.K. Ojong. Dari Yayasan Bentara Rakyat inilah harian
Kompas dilahirkan. [3]
Pada awal penerbitannya, Frans Seda yang pada waktu itu menjabat sebagai
menteri perkebunan rakyat mengatakan Jenderal Ahmad Yani menyarankan bahwa
supaya Kompas memberikan wacana untuk menandingi wacana PKI yang berkembang,
pada saat itu. Namun secara pribadi Jacob Oetama dan beberapa pemuka agama
Katolik seperti Monsignor Albertus Soegijapranata, Ignatius Joseph Kasimo tidak
mau menerima begitu saja mengingat kontekstual politik, ekonomi dan
infrastruktur pada saat itu tidak mendukung.[4]
Tapi tekad Partai Katolik menerbitkan koran sudah final Ojong dan Oetama
ditugaskan membangun perusahaan. Mulailah mereka bekerja mempersiapkan
penerbitan koran baru, corong Partai Katolik. Tapi, suhu politik yang memanas
saat itu, membuat pekerjaan ini tak mudah. Rencananya, koran ini diberi nama
Bentara Rakyat. Menurut Frans Seda PKI tahu rencana itu, lantas dihadang, namun
karena Bung Karno setuju jalan terus hingga izinnya keluar. Frans Seda mengacu
pada Partai Komunis Indonesia adalah salah satu partai besar di Indonesia pada
1950-an dan 1960-an serta PKI memenangkan tempat keempat dalam pemilihan umum
1955.[5]
Izin sudah di tangan, tapi Bentara Rakyat tak kunjung terbit. Rupanya
rintangan belum semuanya berlalu. Masih ada satu halangan yang harus dilewati,
yakni izin dari Panglima Militer Jakarta, waktu itu dijabat oleh Letnan Kolonel
Dachja. Dari markas militer Jakarta, diperoleh jawaban izin operasi keluar jika
syarat 5.000 tanda tangan pelanggan terpenuhi. Akhirnya para wartawan pegi ke
pulau Flores untuk mendapatkan tanda tangan tersebut, karena memang flores
mayoritas adalah penduduk beragama khatolik. [6]
Ketika akan menjelang terbit petama kalinya Frans Seda yang pada
waktu itu menjabat menteri perkebunan melaporkan pada presiden Soekarno untuk
melaporkan kesiapan terbitan perdana harian yang awalnya diberi-nama ‘Bentara
Rakyat’. Namun dari Presiden Soekarno inilah lahir nama “Kompas” yang berarti
adalah penunjuk arah. Akhirnya berdasarkan kesepakatan redaksi pada saat itu,
untuk menerima usulan dari Presiden Soekarno untuk mengubah nama harian Bentara
Rakyat menjadi Kompas.[7]
Kompas edisi pertama dicetak oleh PN Eka Grafika, milik harian Abadi yang
berafiliasi pada Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).[8] Tepat 28 Juni 1965, bayi
Kompas lahir, dengan motto, “Amanat Hati Nurani Rakyat.” Berita utama di
halaman satu berjudul “KAA II Ditunda Empat Bulan.” Sementara Pojok kanan bawah
mulai memperkenalkan diri, “Mari ikat hati. Mulai hari ini, dengan Mang Usil.”
Di halaman pertama pojok kiri atas, tertulis nama staf: Pemimpin Redaksi
Jakob Oetama; Staf Redaksi J. Adisubrata, Lie Hwat Nio, Marcel Beding, Th.
Susilastuti, Tan Soei Sing, J. Lambangdjaja, Tan Tik Hong, Th. Ponis Purba,
Tinon Prabawa, dan Eduard Liem. Menurut Jakob Oetama, nama P. K. Ojong ketika
itu tabu politik dan lagi pula figur Ojong tidak disukai Soekarno.[9]
Dalam kontekstual politik pada saat itu untung tak dapat diraih, malang tak
bisa ditolak. Pagi hari 30 September 1965, tepat tiga bulan usia Kompas,
sebagian besar warga Jakarta terlelap dalam tidur pulasnya, ketika sekelompok
tentara bersenjata menangkap beberapa jenderal yang dituduh terlibat dalam
Dewan Jenderal. Peristiwa ini mengubah jalannya republik. Sejarah mencatat
sebagai upaya perebutan kekuasaan terhadap pemerintahan Soekarno. Seperti
beberapa harian yang terbit bersama dengan Kompas, mereka tidak terlepas dari
upaya untuk memberikan tandingan kepada pers yang berafiliasi dengan ideology
kiri seperti PKI, dan harian yang dituduh tidak revolusioner lainnya.[10]
Sehari setelah peristiwa itu, August Parengkuan dan Ponis Purba yang tengah
mendapat giliran tugas malam, diberi tahu pihak percetakan bahwa Kompas beserta
surat-kabar lain tak boleh terbit. Hanya harian Angkatan Bersenjata, Berita
Yudha, kantor berita Antara, dan Pemberitaan Angkatan Bersenjata yang
diperbolehkan menyiarkan berita. Larangan untuk tidak naik cetak tersebut
dikeluarkan oleh pihak militer Jakarta. Dalam surat perintah itu disebutkan
“dalam rangka mengamankan pemberitaan yang simpang-siur mengenai pengkhianatan
oleh apa yang dinamakan Komando Gerakan 30 September atau Dewan Revolusi, perlu
adanya tindakan-tindakan penguasaan terhadap media-media pemberitaan.”
Ketika itu Parengkuan dan Purba tetap yakin Kompas tak perlu dilarang
terbit. Alasannya, Kompas sudah mengecam pemberontakan, dan di dalam lay out
sudah disiapkan bahwa Kompas edisi 2 Oktober juga memuat pernyataan sikap dari
Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana RE Martadinata.
Penyerangan terhadap PKI, ternyata tak menyelamatkan Kompas. Koran itu baru
boleh terbit lagi pada 6 Oktober 1965. Rentang waktu seminggu itu, hingga saat
ini menjadi misteri yang belum terkuak. Banyak asumsi, pertanyaan, dan analisis
bergentayangan. Mengapa seluruh koran dibredel dan hanya menyisakan koran milik
militer? Pertumbuhan Kompas meningkat. Saat pertama kali dicetak, oplah Kompas
sekitar 4.800 eksemplar. Ketika pindah ke percetakan yang lebih bagus, Percetakan
Masa Merdeka, tirasnya meningkat jadi 8.003 eksemplar, hingga menjelang
pembredelan yang dilakukan Orde Baru.
Saat terbit kembali pada 6 Oktober 1965, tiras Kompas menembus angka 23.268
eksemplar. Zaman berganti. Soekarno diganti Jenderal Soeharto. Pada 1999,
setahun sesudah Soeharto dipaksa mundur, tiras Kompas mencapai angka lebih dari
600 ribu eksemplar per hari. Penelitian yang dilakukan oleh lembaga riset AC
Nielsen tahun 1999 menunjukkan pasar terbesar masih seputar Jakarta 46,77%,
Bogor, Tangerang, dan Bekasi 13,02%, Jawa Barat 13.02%, Jawa Tengah, Yogyakarta
6,67%, Jawa Timur 2,04%, Sumatera 8,81%, Kalimantan 2,16%, dan Indonesia Timur
4,23%. Gramedia sebagai perusahaan induk Kompas tercatat sebagai persuahaan
yagn membayar pajak terbesar nomer 32 pada tahun 1980 [11] sedang pada tahun pada tahun
1993 untuk perusahaan PT Kompas Media Nusantara saja diperkirakan menghasillkan
Rp 240 milyar setahun dengan keuntungan bersih Rp 30 sampai 35 triliun.[12] Tahun 1991 PT Gramedia
dengan penerbitan bukunya menduduki urutan ke-151.[13]
Oleh: Gigih Sari Alam
Dosen Universitas 17 Agustus Jakarta
______________________________
[1] Helen Ishwara dalam buku P.K.
Ojong: Hidup sederhana, Berpikir Mulia (2001)
[2] Danile Dhakidae, “The state,
the rise of capital”, hal. 230-254
[3]
www.indonesiamedia.com/2002/january/tokoh-0102.htm
[4] Jakob Oetama, “Mengantar
Kepergian P. K. Ojong”, KOMPAS, 2 Juni 1980
[5] op. cit, Dhakidae. Hal 237-244
[6] ibid
[7] Yayasan Penegak Pancasila.
[8] Coen Husain Pontoh, PANTAU,
Tahun II Nomor 012 – April 2001
[9] “Kami berdua sebenarnya enggan
menerima permintaan menerbitkan suratkabar Kompas. Lingkunganpolitik, ekonomi,
dan infrastruktur pada masa itu tidak menunjang,” kata Jakob Oetama dalam
artikel berjudul “Mengantar Kepergian P.K. Ojong” yang dimuat Kompas, 2 Juni
1980. Dengan demikian pada dasarnya inisiatif didirikannya Kompas adalah lebih
pada orientasi bisnis semata.
[10] Peranserta Pers Menegakkan
Pancasila, Soegiarso S, H. Daradjad M S, J S Hadis, Saiful Rahim (ed), Yayasan
Penegak Pers Pancasila, Oktober 1996. Hal. 202-.
[11] “Seperempat Abad Om Pasikom”,
Tempo, 30 Juni 1990, hal. 80-81
[12] “Tonggak Dunia Bisnis
Nasional”, SWA Online, Aguatus 1995 edisi khusus, pada: http:// www.swa.co.id/95/08a/SAJ04.AKH.html
[13] Daftar Perusahaan dan
Perorangan Penerima Piagam Pembayar Pajak, Editor, 26 Januari 1991, hal. 80-81.