Pada tanggal 19 September 2006 lalu, bertempat di kampus Universitas Paramadina
Jakarta, saya diundang untuk membahas buku baru dari Dr. Jalaluddin Rakhmat
yang berjudul “Islam dan Pluralisme: Akhlak Quran Menyikapi Perbedaan.”
Sejak awal, saya sebenarnya enggan melayani perdebatan tentang Pluralisme
Agama, karena berdasarkan pengalaman, selama ini, perdebatan seperti itu tidak
banyak membawa manfaat.
Tetapi, karena ada pertimbangan khusus, undangan itu saya terima. Beberapa
pekan sebelumnya, saya sudah bertemu dengan Jalaluddin Rakhmat, yang biasanya
dipanggil sebagai Kang Jalal. Dalam forum tersebut Jalal menyatakan, bahwa
“menjadi orang Kristen yang beramal shalih lebih baik daripada menjadi orang
muslim yang jahat”. Saya sempat kirim SMS mempertanyakan ucapan dia tersebut.
Dengan niat ingin berdakwah dan menjelaskan kekeliruan pandangan
“Pluralisme Agama” tersebut di kampus Paramadina, saya bersedia menghadiri
forum tersebut. Ternyata forum itu sangat ramai. Pengunjung berjubel memadati
ruangan. Maka, sedapat mungkin, saya mencoba menjelaskan kekeliruan paham
Pluralisme Agama, termasuk yang disampaikan oleh Jalaluddin Rakhmat melalui
bukunya tersebut. Untuk itu, pada malam itu, saya luncurkan juga buku baru saya
yang berjudul “Pluralisme Agama: Parasit bagi Agama-agama”.
Salah satu yang saya kritik keras adalah cara Jalaluddin Rakhmat dalam
mengutip dan menafsirkan ayat-ayat Al-Quran yang dia katakan sebagai “ayat
pluralis”. Tampak, ada pemutarbalikkan makna ayat-ayat Al-Quran dengan tujuan
untuk melegitimasi pandangan Pluralisme Agama, seolah-olah Pluralisme Agama
adalah paham yang dibenarkan oleh Al-Quran . Cara seperti ini sama saja dengan
“menjual minyak babi tetapi diberi cap onta”. Ayat-ayat Al-Quran ditafsirkan
dengan semaunya sendiri untuk membenarkan paham yang salah.
Dalam bukunya tersebut, misalnya, Jalal mengutip, pendapat Rasyid Ridha
dalam Kitab Tafsir al-Manar Jilid I:336-338, tentang penafsiran QS al-Baqarah:
62, yang artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang
Yahudi, orang-orang Kristen, dan kaum Shabiin, siapa saja yang beriman kepada
Allah, Hari Akhir, dan beramal shalih, maka mereka akan mendapatkan pahala dari
sisi Allah dan tidak ada ketakutan dan kekhawatiran atas mereka.”
Dalam ayat ini, menurut Jalal yang mengutip Rasyid Ridha, kaum Yahudi dan
Kristen akan dapat meraih keselamatan meskipun tidak beriman kepada Nabi
Muhammad saw. Jadi, untuk meraih keselamatan, seseorang hanya disyaratkan
beriman kepada Allah, iman kepada hari pembalasan, dan beramal saleh – tanpa
wajib beriman kepada kenabian Muhammad saw. Bahkan, Jalaluddin Rakhmat juga
menyatakan:
“Bertentangan dengan kaum eksklusivis adalah kaum pluralis. Mereka
berkeyakinan bahwa semua pemeluk agama mempunyai peluang yang sama untuk
memperoleh keselamatan dan masuk sorga. Semua agama benar berdasarkan kriteria
masing-masing. Each one is valid within its particular culture. Mereka
percaya rahmat Allah itu luas.”
Pendapat semacam ini sudah pernah dikemukakan oleh tokoh Pluralis Agama
Prof. Abdul Aziz Sachedina, yang menulis:
“Rashid Rida does not stipulate belief in the prophethood of Muhammad
for the Jews and Christians desiring to be saved, and hence implicitly
maintains the salvific validity of both the Jewish and Christian revelation.”
(Terjemahan bebasnya: Rasyid Ridha tidak mensyaratkan iman kepada kenabian
Muhammad bagi kaum Yahudi dan Kristen yang berkeinginan untuk diselamatkan, dan
karena itu, ini secara implisit menetapkan validitas kitab Yahudi dan Kristen).
(Lihat Abdul Aziz Sachedina, “Is Islamic Revelation an Abrogation of
Judaeo-Christian Revelation? Islamic Self-identification in the Classical and
Modern Age, dalam Hans Kung and Jurgen Moltman, Islam: A Challenge for
Christianity, (London: SCM Press, 1994)).
Baik Jalaluddin Rakhmat atau Sachedina sama-sama bersikap manipulatif dalam
menampilkan pendapat Muhamamd Abduh dan Rasyid Ridha tentang keselamatan Ahli
Kitab. Mereka hanya mengutip Tafsir al-manar Jilid I, dan tidak melanjutkan
telaahnya kepada bagian lain Tafsir al-Manar. Jalaluddin Rakhmat bahkan menyimpulkan
bahwa Rasyid Ridha seolah-olah merupakan seorang pluralis. Padahal, jika mereka
mau menelaah bagian Tafsir al-Manar lainnya, akan dapat menemukan pendapat
Mohammad Abduh atau Rasyid Ridha yang sangat berbeda dengan kesimpulan mereka
itu.
Dalam forum di Paramadina tersebut, saya bawakan fotokopian Tafsir al-Manar
Jilid IV yang membahas tentang keselamatan Ahlul Kitab, yang dengan tegas
menyebutkan, bahwa bahwa QS al-Baqarah:62 tersebut adalah membicarakan
keselamatan Ahlul Kitab yang dakwah Nabi (Islam) tidak sampai menurut yang
sebenarnya kepada mereka, sehingga kebenaran agama Islam tidak tampak bagi
mereka. Karena itu, mereka diperlakukan seperti Ahlul Kitab yang hidup sebelum
kedatangan Nabi Muhammad saw.
Sedangkan bagi Ahli Kitab yang dakwah Islam sampai kepada mereka, Rasyid
Ridha menggunakan QS Ali Imran ayat 199 sebagai landasannya. Kepada mereka ini,
untuk meraih keselamatan, maka harus memenuhi lima syarat, yaitu:
(1) beriman kepada Allah dengan iman yang benar, yakni iman yang tidak
bercampur dengan kemusyrikan dan disertai dengan ketundukan yang mendorong
untuk melakukan kebaikan, (2) beriman kepada al-Quran yang diwahyukan kepada
Nabi Muhammad. (3) beriman kepada kitab-kitab yang diwahyukan bagi mereka, (4)
rendah hati (khusyu’), (5) tidak menjual ayat-ayat Allah dengan harta benda
dunia.
Abduh mengakui adanya Ahli Kitab yang memenuhi kelima syarat itu, hanya
saja jumlahnya sedikit, dan mereka itu merupakan orang-orang pilihan dalam hal
ilmu, keutamaan, dan ketajaman penglihatan batin. Mereka tersembunyi dalam
lipatan-lipatan sejarah atau di lereng-lereng gunung dan pelosok-pelosok
negeri, dan oleh agama resmi mereka malah dituduh sebagai kafir dan pengikut
ajaran sesat.
Itulah pendapat Abduh dan Ridha tentang keselamatan Ahli Kitab sebagaimana
ditulis dalam Tafsir al-Manar, yang secara gegabah dimanipulasi oleh Abdul Aziz
Sachedina dan Jalaluddin Rakhmat. Tindakan memanipulasi pendapat mufassir
semacam ini adalah tindakan yang sangat tidak terpuji, apalagi digunakan untuk
mendukung paham Pluralisme Agama, yang sama sekali tidak dilakukan oleh
Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Jika mau mendukung paham Pluralisme Agama,
lakukanlah dengan fair dengan membuat tafsir sendiri, baik Tafsir Jalaluddin
Rakhmat atau Tafsir Sachedina, tanpa memanipulasi pendapat ulama atau tokoh
yang lain.
Dengan logika sederhana kita bisa memahami, bahwa untuk dapat “beriman
kepada Allah” dengan benar dan beramal saleh dengan benar, seseorang pasti
harus beriman kepada Rasul Allah saw. Sebab, hanya melalui Rasul-Nya, kita dapat
mengenal Allah dengan benar; mengenal nama dan sifat-sifat-Nya. Juga, hanya
melalui Nabi Muhammad saw, kita dapat mengetahui, bagaimana cara beribadah
kepada Allah dengan benar. Jika tidak beriman kepada Nabi Muhammad saw,
mustahil manusia dapat mengenal Allah dan beribadah dengan benar, karena Allah
SWT hanya memberi penjelasan tentang semua itu melalui rasul-Nya.
Sejak lama Jalaluddin Rakhmat dikenal sebagai pakar dan jago komunikasi
massa. Kata-katanya mengalir dan bisa menyihir orang yang mendengarnya. Saya
melihat, bagaimana hebatnya dia dalam mempengaruhi orang, apalagi yang tidak
sempat mengecek sendiri ayat-ayat atau tafsir Al-Quran yang dikutipnya.
Saya berpikir, alangkah sayangnya, kepandaian dan kehebatan itu jika
digunakan untuk menyesatkan manusia. Padahal, jika kepandaian itu digunakan
untuk mengajak manusia ke jalan Allah, akan sangat bermanfaat, bagi diri
Jalaluddin Rakhmat sendiri, maupun bagi umat Islam secara keseluruhan. Selama
ini, Jalaluddin Rakhmat banyak dikenal sebagai penyebar ide-ide Syiah di
Indonesia. Entah mengapa, dia sekarang meloncat lagi menjadi penyebar ide-ide
Pluralisme Agama, yang amat sangat kacau dan merusak.
Tampilnya Jalaluddin Rakhmat sebagai penyebar ide Pluralisme Agama tentu
saja menambah darah baru bagi para pendukung paham ini. Tetapi, jika ditelaah,
argumentasi yang digunakan masih seputar itu-itu juga. Ayat-ayat yang dikutip
dalam Al-Quran juga dipilih-pilih yang seolah-olah mendukung paham Pluralisme
Agama. Tetapi, karena pendukung paham ini kadang begitu pandai dalam mengutip
ayat-ayat al-Quran, bukan tidak mungkin akan banyak orang yang tertipu,
menyangka ‘’minyak babi’’ yang dijajakan mereka sebagai ‘’minyak onta’’.
Dengan masuknya Jalaluddin Rakhmat ke dalam barisan penyebar paham ini,
maka sekarang, bagi umat Islam, sudah makin jelas, di barisan mana Jalaluddin
Rakhmat berada. Di akhir presentasi saya, secara terbuka, saya mengajak
Jalaluddin Rakhmat untuk bertobat dan kembali ke jalan yang benar, dengan
meninggalkan paham Pluralisme Agama dan kembali kepada iman Islam. Saya sudah
berusaha sekuat tenaga untuk menjelaskan kekeliruan mereka. Jika mereka tidak
mau menerima, tugas saya untuk menyampaikan sudah selesai. Terserah mereka,
Jalaluddin Rakhmat dan pendukung Pluralisme Agama lainnya, untuk mengambil sikap.
Di atas semua itu, sebagai Muslim, kita patut merenungkan firman Allah SWT:
“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu
setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebagian mereka
membisikkan kepada sebagian lainnya perkataan-perkataan yang indah-indah untuk
menipu.” (QS Al-An’am:112)
Mudah-mudahan, sebagai Muslim yang mengimani kebenaran Islam, kita tidak
termasuk ke dalam barisan musuh para Nabi. Amin. (Jakarta, 29 September 2006/www.hidayatullah.com).
Oleh : Adian Husaini
Ed : Faiq
#Membantu menyebarkan tulisan ini insyaAllah menjadi pahala dakwah kamu