Oleh: AM. Muslih
KASUS pengerebekan terduga pelaku terror di Solo dan meledaknya
sebuah bom di rumah Yayasan Yatim Piatu Pondok Bidara atau tepatnya di jalan
Nusantara, Depok Jabar menghantui pikiran saya, sebagaimana kasus-kasus
penggerebekan terduga teror lain yang selalu beraroma sama.
Ada beberapa
pertanyaan krusial yang belum bisa terjawab. Berikut beberapa pertanyaannya;
Mengapa Tepat peringatan 11 September?
Entah
kebetulan atau tidak, kasus pemberitaan Solo dan bom di Depok, bertepatan
dengan peringatan 11 September, di mana Gedung WTC runtuh tahun 2001, yang
telah melewati waktu 11 tahun ini. Adakah kasus ini memiliki hubungan? Mungkin,
misalnya, sebagai bukti pada Amerika bahwa di Indonesia masih menakutkan karena
masih banyaknya ancaman bom?
Anda tidak
harus percaya. Tetapi dengarkan pernyataan Mantan Komandan Satgas Intel Badan
Intelijen Strategis, (BAIS), Laksamana TNI, Purnawirawan, Mulyo Wibisono yang
dikutip itoday, Kamis (06/09/2012). Saat dimintai komentar kasus
penggerebekan di Solo yang menewaskan Farhan dan Muksin mengatakan, bila
keberadaan teroris di Indonesia sengaja dipelihara institusi tertentu untuk
mendapatkan proyek dari Amerika Serikat (AS).
"Teroris
itu sengaja dipelihara institusi tertentu yang mempunyai kemampuan intelijen.
Institusi ini mendapatkan keuntungan dengan adanya teroris karena mendapatkan
kucuran dana dari AS," kata Mantan Komandan Satgas Intel di BAIS ini),
Laksamana TNI, Purnawirawan, Mulyo Wibisono kepada itoday, Kamis (6/9/2012).
Menurut
Mulyo, kemunculan teroris disengaja dengan memprovokasi untuk melakukan
kegiatan teror. "Dalam intelijen ini penyusupan itu hal yang biasa.
Sebetulnya aparat sudah tahu, tetapi dibiarkan saja. Dan pelaku teroris ini
akibat provokasi intelijen," paparnya.
Kata Mulyo,
teroris Solo semakin mencurigakan karena aparat kepolisian menyebutkan para
pelakunya melakukan pelatihan di Gunung Merbabu. "Polisi harus mengungkap
siapa yang melatih para teroris itu, atau jangan-jangan intelijen sendiri.
Menggunakan senjata terlebih lagi umur mereka masih muda itu sangat aneh sekali
dan mampu membunuh polisi," jelasnya.
Kecurigaan
Mulyo bertambah, korban aparat kepolisian yang tertembak di Solo tidak diotopsi
dan adanya pertemuan sebelum terjadinya "teror" Solo,yang dilakukan
secara tertutup di markas Kopassus Kartosuro antara Direktur Penindakan BNPT,
Brigjen (Pol) Petrus R Golose dengan jajaran Dandim, Komandan Kopassus Grup 2,
Kapolres se-Solo Raya dan dan perwakilan dari Detasemen Khusus (Densus) 88
Antiteror.
"Saya
baca di media, tiga bulan sekitar bulan Juni sebelum ada 'teror' Solo, ada
pertemuan petinggi BNPT dengan pejabat militer dan polisi seluruh Jawa Tengah
di markas Kopassus Kartosuro yang katanya membahas penanggulangan antiteror.
Apa gunanya pertemuan itu kok tiba-tiba ada 'teror'," kata mantan Komandan
Satgas Intel Badan Intelijen Strategis (BAIS) Laksamana Pertama TNI Purn Mulyo
Wibisono kepada itoday, Sabtu (8/9/2012).
Menurut
Mulyo, pertemuan sudah pasti mengetahui adanya jaringan "teroris".
"Pertemuan
BNPT di Kartosuro masih wilayah Solo yang katanya sumber "teroris",
masih juga kecolongan. Saya minta pertemuan itu dibongkar saja, apa sih isinya,
biar masyarakat tahu dan tidak curiga sepak terjang BNPT dan Densus,"
ungkap Mulyo.Mulyo mencurigai kemunculan "teroris" Solo kemungkinan
rekayasa pihak BNPT untuk mendapatkan kucuran dana. "Kemunculan
'teroris' itu menguntungkan polisi dan BNPT. Mereka mendapatkan keuntungan dari
proyek 'teroris'," jelasnya.
"Memunculkan
'teror' itu biasa dalam operasi intelijen agar orang-orang yang diduga
'teroris' itu muncul. Dan dengan munculnya 'teroris' akan memberikan keuntungan
bagi polisi dan BNPT," pungkasnya.
Namun
bertepatan dengan tuduhan Muyo, tiba-tiba Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
(PBNU), Dr Said Aqil Siradj tiba-tiba mendesak agar anggaran dana Badan
Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) ditingkatkan, sehingga bisa maksimal
dalam melaksanakan program kerja.
Kurangnya
anggaran yang dikucurkan oleh pemerintah, menurutnya diduga menjadi penyebab
maraknya gerakan teroris di tanah air yang pada akhirnya tidak bisa
ditanggulangi BNPT.
"Anggarannya
BNPT barangkali dan kerjasamanya dengan civil society harus ditingkatkan,"
ujar Ketua Umum PBNU, Said Aqil Siradj di Jakarta, Rabu (05/09/2012), dikutip Pelitaonline.
Pertanyaannya,
mungkinkah dengan tepat peringan 11 September ini drama penggerebekan ini
dimaksudkan sebagai laporan kepada Amerika, sebagaimana dugaan Mulyo Wibisono?
Atau memang benar sebagai proyek mencari dana?
Selalu Bertepatan dengan Adanya Kasus Besar
Tahun 2009,
bom terjadi di hotel JW Mariott dan Ritz Carlton di kawasan Mega Kuningan,
Jakarta Selatan, tepat ketika pihak-pihak yang sedang mempermasalahkan jumlah
kecurangan pemilu melalui saksi-saksi yang tergabung dalam timsukses JK-Win dan
Mega-Pra (pada tanggal 20 Juli saksi JK-Win menolak menandatangani kesaksiannya,
dan tanggal 21 Juli menyusul saksi Mega-Pra juga menolak kesaksiannya),
Sebelumnya
tahun 2010, kesuksesan penumpasan Dulmatin oleh Densus 88 juga pas dengan suhu
politik sedang panas. Hasil Pansus Century yang dikukuhkan dalam Paripurna DPR,
di mana Wapres Boediono dan Menkeu Sri Mulyani pun dinilai sebagai pihak yang
harus bertanggung jawab. Akibatnya, isu pemakzulan pun bertiup kencang.
Nah, Kasus
penggerebekan di Solo dan bom di Depok, bertepatan dengan kasus Syiah di
Sampang.
Selalu menjadi Reality Show di TV
Yang
menjadikan selalu hebat berita tuduhan terorisme adalah, beberapa kali
penggerebekan dilakukan secara LIVE, layaknya sebah reality show. Selama hampir 18 jam aksi “sok
gagah” Densus 88 melakukan penggerebekan di sebuah rumah di Temanggung tanggal
7 Agustus tahun 2009 hingga besoknya lagi 8 Agustus 2009, masyarkat dihibur
suara tembakan dar! der! dor! Di TVOne. Perntanyaannya, untuk apa 200 juta
lebih warga Indonesia perlu tayangan live sebuah operasi yang boleh dikatakan
rahasia? Atau memang aksi-aksi Densus sudah bukan rahasia lagi? Dan untuk
kepentingan apa mengajak stasiun TV?
Terlalu naïf
jika masyarakat lebih 200 juta percaya pernyataan GM Current Affair TVOne,
Solaeman Sakib yang pernah menyatakan siaran langsung penggerebekan sebuah rumah
yang diduga tempat persembunyian Noordin M Top di Dusun Beji, Temanggung, Jawa
Tengah, hanya untuk meningkatkan rating.
Apalagi
dalam banyak acara diskusi terorisme yang diselenggarakan TVOne—para reporter
yang ada di lapangan atau di studio—sering memberikan asumsi atau mengarahkan
pada sebuah opini tertentu.
Lagi pula,
masyarakat, tidaklah cukup buta melihat keadaan. Siapapun tahu, siapa Karni
Ilyas (Pimred TVOne). Karni Ilyas adalah jurnalis yang juga dikenal anggota
Kompolnas. Sebelum di TVOne, ia lebih dulu memulai karir sebagai wartawan Suara
Karya (1972), Tempo (1978), Forum (1991-1999) lalu hijrah ke SCTV untuk
memimpin Liputan 6 dan terakhir di TVOne yang baru saja diambil alih Keluarga
Bakrie.
Karni
dikenal telah akrab dengan Gories Mere (GM) semenjak baru setahun lulus Akpol,
kala itu pangkatnya masih Letda. Persahabatan Karni dan GM sangat harmonis dan
terjalin sampai sekarang.
Seperti
diketahui, GM bersama dua perwira Aryanto Sutadi dan Pranowo pernah mendapat
keistimewaan memeriksa Omar Al Faruq, langsung dari penjara khusus milik AS di
Teluk Guantanamo, Kuba.
Ada hal
menarik tentang #KulTweets Mas Ridlja tentang sosok Pimred TVOne berjudul “Karni
Ilyas wartawan Senior TVOne”
[http://nurudin.jauhari.net/karni-ilyas-wartawan-senior-tvone.jsp]
Dalam situs
itu disebutkan, buah persahabatan itu terjadi tatkala 5 November 2002, di mana
satuan polisi (dipimpin GM) melakukan sebuah operasi rahasia di Tenggulun,
Kecamatan Solokuro, dan berhasil menciduk Amrozi, ikut mengajak wartawan SCTV
(dibawah pimpinan Karni Ilyas saat itu), hingga membuat salah paham Kepala
Dinas Penerangan Polda Jawa Timur, yang rupanya tidak diberitahu adaya operasi.
Sungguh hebat, Polda Jatim saja tidak tahu, Karni bisa tahu.
Saat
penangkapan Imam Samudera di Merak, SCTV juga berada di depan. Saat penangkapan
Abu Dujana tahun 2007, Karni dan ANTV malah dapat hak siar ekslusif pengakuan
Dujana yang direkam, di kala semua media tidak diberi akses.
Yang
menarik, setiap acara diskusi terorisme di TVOne, sumber-sumber yang didatangkan
selalu monoton. Jika tidak Kepala BNPT Ansyaad Mbai, Mantan Mantan Kepala Badan
Intelejen Negara (BIN), Hendro Priyono. Jika ada sumber lain, biasanya selalu
orang-orang uang sudah dibina BIN atau BNPT. Jarang dalam masalah terorisme
TVOne menghadirkan pakar Syariah atau anak Abubakar Ba’syir. Ba’asyir hanya
disudutkan tanpa ada pembelaan.
Ada motivasi
lain apa antara Gories, Karni, BNPT dan Hendro yang didukung TVOne? Alangkah
naifnya jika alasannya hanya sekedar ratting?
Selalu mengarah Syariah Islam
Beberapa
hari pasca meledaknya bom di hotel JW Mariott dan Ritz Carlton di kawasan Mega
Kuningan, Jakarta Selatan, tepat 22 Juli 2009 TVOne menggelar acara special
yang membahas akar teroris di Indonesia. Nara sumbernya adalah Brigjen. Surya
Dharma Salim (Mantan Ketua Densus 88) yang membahas tuntas akar permasalahan
peledakan bom di Indonesia yang terjadi dalam sepuluh tahun terakhir. Dua hal
yang sering diulang-ulang Suryadharma Salim adalah, Syariah dan Dualah Islam.
Menariknya,
untuk diskusi dengan mantan Komandan Densus 88 ini, TVOne harus mengulang
beberapa kali di lain waktu. Ini sama persis dengan dialog Ansyasd Mbai atau
Hendro yang selalu mengarah juga pada gerakan Islam atau Syariat Islam.
Seolah-oleh, Syariah atau Daulah Islamiyah menjadikan orang berperilaku
teroris.
Dalam sebuah
tayangan liputan di lokasi kediaman terduga kasus teror, Yusuf Rizaldi di
daerah Petojo Utara, Gambir, Jakarta Pusat, tiba-tiba seorang reporter sebuah
TV swasta secara sengaja men-shoot gambar poster logo HTI berisikan kalimat “Dengan
Syariah Indonesia Lebih Bermartabat.” Oleh sang reporter, tulisan tersebut dikaitkan
dengan poster jihad. Apa hubungannya poster dengan teror?
Mengapa
tidak sekalian wartawan menyebutkan bahwa telah ditemukan al-Quran di rumahnya?
Mengerti apa Hendro atau Ansyaad tentang Syariat Islam?
Pertanyaan
lain, ada apa pula TVOne dengan Syariat Islam yang selalu dijadikan penyebab
(alasan) dalam kasus terorisme? Generalisasi ini, sudah pasti difasilitasi TV
tersebut
Selalu Ngruki dan pesantren
Salah satu
komentar paling jelas dari Hendro dalam setiap diskusi masalah terror adalah
mengarahkan pada PP Al-Mukmin, Ngruki. Seolah-olah ribuan santri alumni
pesantren itu pelaku teror. Ada komentar dari pengamat media,asal Surabaya,
Sirikit Syah dalam akun Twitter-nya, “Mengapa media mudah memberi label Ngruki sarang
teroris, tapi tdk pernah nyebut pulau key (di maluku) sarang preman? Sikonnya
mirip!,” ujarnya.
Dalam kasus yang berbeda, pasukan pendukung G-30-S-PKI tahun 1965, dikenal para perwira militer. Mereka bahkan dibagi dalam tiga kelompok tugas, Komando Penculikan dan Penyergapan (dipimpin oleh Letnan Satu Dul Arif), Komando Penguasaan Kota (dipimpin oleh Kapten Suradi), Komando Basis (dipimpin Mayor(udara) Gatot Sukresno).
Dalam kasus yang berbeda, pasukan pendukung G-30-S-PKI tahun 1965, dikenal para perwira militer. Mereka bahkan dibagi dalam tiga kelompok tugas, Komando Penculikan dan Penyergapan (dipimpin oleh Letnan Satu Dul Arif), Komando Penguasaan Kota (dipimpin oleh Kapten Suradi), Komando Basis (dipimpin Mayor(udara) Gatot Sukresno).
Pertanyaanya,
mengapa kita tidak ajarkan saja secara terbuka di anak-anak atau masyarakat
bahwa pelaku-pelakunya teror G 30 S PKI adalah perwira militer dari TNI?
Sebagaimana ketika BNPT atau Hendro (yang dikuti media) selalu suka mengaitkan
kasus terror bom di Indonesia dengan Abubakar Ba’asyir, Ngruki atau pesantren?
Adakah yang
bisa menjawabnya?
Sebagian
Anda mungkin ada yang bingung, namun mungkin juga paham akan arah
keanehan-keanehan ini.
Semoga kita
terhindar dari fitnah zaman dan fitnah Dajjal!
Penulis aktif di Institut Pemikiran dan Peradaban
Islam (InPas) Surabaya