Teror Solo: Antara Dendam & Keadilan
(Sambutan Selamat Datang Untuk Hillary)
Oleh: Harits Abu Ulya
Pemerhati Kontra-Terorisme & Direktur CIIA
(The Community Of Ideological Islamic Analyst)
Di hari Rabu,
27 Agustus 2012 saya hadir dalam sebuah acara terbatas review buku dengan judul
“Jejaring Radikalisme di Indonesia-Jejak Sang Penganten Bom Bunuh Diri”
karya Bilveer Singh yang diselenggarakan oleh Puslitbang Lektur dan Khazanah
Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI. Salah satu
narasumbernya adalah Prof. Ridwan Lubis (guru besar Ushuludin UIN Jakarta),
buku ini mendedah relevansi radikalisme dengan aksi terorisme.
Yang menarik
untuk saya tanggapi saat itu diantaranya rekomendasi sang Profesor, pemerintah
Indonesia harus lebih berani dan represif menangani kasus terorisme tegas sang
Profesor.
Saya katakan,
saya tidak berangkat dari kajian pustaka tapi dari kajian empirik dan
investigasi yang saya lakukan selama ini. Pemerintah dalam hal ini BNPT bersama
Densus 88 bukan tidak berani, justru menurut saya sudah over acting.
Fakta dan data
menunjukkan lebih dari 55 orang terduga teroris tewas dengan katagori extra
judicial killing, dan ini pelanggaran serius terhadap HAM. Belum lagi
menyangkut perlakuan terhadap keluarga mereka, banyak aduan yang menggambarkan
betapa arogansinya aparat Densus 88.
Justru kritik
saya untuk kontra-terorisme yang ditangani oleh BNPT perlu adanya evaluasi dan
mereka sendiri mau legowo untuk otokritik dengan strategi yang di
lakukan. Kenapa demikian? Sekarang kasus teror Solo sedikit memberi jawaban dan
mengkonfirmasi kritik saya selama ini.
Dengan anggaran
ratusan miliar, BNPT menggelar proyek deradikalisasi sebagai strategi soft
power untuk membabat terorisme sampai akarnya. Karena logika BNPT,
radikalisme keagamaan menjadi hulu dari terorisme.
Berbagai forum
digelar dengan beragam title, intinya langkah sosialisasi dan revisi pemikiran
keagamaan dengan substansi Islam a la BNPT yakni Islam Rahmatan
Lil’aalamin. Hakikatnya sebuah penghalusan dari narasi tipis Islam liberal
dan moderat.
Dengan bahasa
sedikit berbeda seperti yang direkomendasikan Bilveer Singh dalam bukunya,
perlunya sosialisasi “Islam Otentik Humanis”. Dilihat dari sasaran
proyek deradikalisasi juga kontraproduktif, BNPT menjangkau semua segmen
masyarakat khususnya dari kalangan ulama, da’i dan pengurus masjid atau
mushalla. Termasuk lembaga pendidikan formal dan non formal (pesantren) juga
jadi sasaran.
Upaya
indoktrinasi untuk membangun imunitas agar tidak terkontaminasi oleh kelompok
radikal atau teroris yang selama ini dikalkulasi hanya dalam jumlah yang sangat
kecil.
Fakta di
lapangan langkah BNPT menunjukkan blunder, karena narasi Islam Rahmatan
Lil’alamin justru melahirkan bantahan dengan argumentasi yang BNPT sendiri
tidak sanggup meng-counter balik.
Dan berikutnya,
BNPT justru terlihat tidak maksimal melakukan deradikalisasi terhadap kelompok
yang selama ini terpetakan oleh BNPT. Scaning BNPT saya rasa sudah demikian
detil tentang landscap orang-orang atau kelompok yang dilabeli “teroris”
selama ini, kenapa BNPT tidak fokus melakukan deradikalisasi terhadap mereka
termasuk keluarga dan lingkungan mereka. Demikian juga terhadap keluarga korban
yang tewas dengan status terduga atau tersangka terorisme.
Demikian juga,
bicara peralatan senjata dan bahan-bahan lainya BNPT juga punya gambaran jalur
lalulintas distribusi senjata illegal tersebut. Kenapa tidak maksimal menutup
semua pintu akses yang rawan penyelundupan?
Fenomena ini beririsan
dengan strategi hard power kontra-terorisme yang dilakukan Densus 88. Low
enforceman (penegakkan hukum) telah melahirkan trauma dan kebencian yang
luar biasa bagi korban yang hidup dan sebagian keluarga korban atau orang-orang
di sekelilig mereka.
Fakta
dilapangan, saya beberapa kali harus mendorong beberapa orang untuk sabar
ketika mereka hendak melakukan tindakan nekat terhadap aparat kepolisian karena
faktor dendam dan kebencian.
Seperti yang
saya nyatakan dalam review buku di atas, BNPT sadar atau tidak justru merajut
dan menjadi stimulator kekerasan yang tidak berujung. Semakin keras mengenalkan
Islam liberal, Islam Moderat maka akan melahirkan kutub yang makin “radikal”
dan “fundamentalisme”.
Makin arogan
tindakan Densus 88 dengan tindakan extra judicial killingnya dan
tindakan-tindakan brutal lainya, maka makin menyemai dendam kusumat yang tak
berkesudahan.
Karena itu,
jangan dengan mudahnya BNPT menebar lebel “teroris” dihadapan publik sementara
BNPT sendiri sebenarnya ikut andil dalam munculnya kekerasan-kekerasan
bersenjata yang oleh BNPT di klaim sebagai tindakan terorisme.
Fenomena dendam
kusumat, kebencian lebih dominan tampak menjadi spirit beberapa aksi “hero”
dari orang-orang yang dicap teroris.
Kita bisa lihat
stasiun televisi TVOne mendedah teror Solo dengan mengawali tayangan berita
“terorisme” versi TVOne. Mulai dari penyerangan Polsek Hamparan Perak di Sumut,
kemudian bom di Kalimalang Bekasi, Bom di Mapolres Cirebon hingga kasus
terakhir teror tanggal 17, 18 dan 30 Agustus di wilayah Solo.
Investigasi
yang saya lakukan justru menjelaskan fakta empirik yang sesunggunya, dendam
menjadi faktor utama yang memicu peristiwa penyerangan polsek Hamparan Perak.
Dimana sebelumnya Densus 88 dengan cara yang brutal mengeksekusi seorang yang
bernama Iwan (Ridwan) di daerah Hamparan Perak karena diduga terlibat
perampokan CIMB.
Begitu juga
seorang Hayyat pemuda canggung meledakkan bom (petasan) di Kalimalang Bekasi
yang diletakkan di sepeda ontelnya. Ia bukan bagian dari jaringan manapun, hanya
seseorang yang masih melek pikiran dan perasaannya sebagai pemuda muslim.
Melihat berita yang dirasakan sebagai ketidakadilan yang menimpa orang-orang
muslim tertentu maka memicu rasa pembelaan pada dirinya, dan kemudian secara
mandiri berinisiatif melakukan tindakan yang akhirnya dibuat heboh oleh BNPT
bersama TVone tersebut.
Tidak jauh beda
dengan tindakan Hidayat di Cirebon dan Yosepha di Keponten Solo. Sangat naïf
rasanya kalau aksi-aksi “hero” mereka dilabeli terorisme. Tindakan teror mereka
sudah tercerabut dari definisi sebuah aksi terorisme yang sesungguhnya.
Jika BNPT tetap
ngotot kerangka politik dipakai untuk memvonis fenomena teror segelintir orang
terhadap aparat keamanan maka ini sudah keluar dari konteks (jajanan
basi) dan tidak berangkat dari TKP dan fakta hukum yang ada. Bahkan terkesan
paranoid karena selalu mengkaitkan dengan gerakan Islam tertentu, apakah itu
MMI atau JAT pimpinan ustad Abu Bakar Ba’asyir.
Jikapun betul
pelaku teror Solo kali ini masih satu jaringan dengan Abu sayyaf atau lainya,
tetap saja bahwa tidak logis membuat kesimpulan gegabah bahwa ini bagian dari
upaya mendirikan negara Islam.
Jika Farhan
yang tewas pernah di kamp Abu Sayyaf tentu keterlibatan mereka disana dengan
aksi dia di Solo dalam konteks yang sangat jauh berbeda. Di Filipina adalah
zona konflik, zona perang sementara di Solo hanya home bast mereka.
Karenanya jika BNPT memahami betul psikologi mereka, sebenarnya tindakan mereka
adalah tindakan dari orang-orang yang marah karena dendam.
Dan betul kalau
pos-pos polisi itu lemah untuk melakukan counter attack atas
serangan-serangan mendadak. Dan bagi orang yang marah dan merasa “jagoan” bukan
hal yang menakutkan untuk melakukan aksi brutal tersebut.
Tapi sekali
lagi pola yang tidak well Plant, well prepare, well organize menjadi
kesan langkah tersebut adalah emosional dan faktornya adalah kemarahan. Orang
marah karena ada pemicunya, diantaranya dendam atau ada sesuatu yang dianggap
tidak adil dan ia harus menuntut balas dengan caranya untuk membuat keadilan dan
membayar lunas sebuah dendam.
BNPT dengan
Densus 88 yang dimiliki sebelum melakukan penindakan tentu ada intelijen
analisis tentang siapa mereka. Nah, yang menggelitik jika selama ini peta
jaringan mereka demikian detil dimiliki oleh BNPT, kenapa intelijen analisis
tidak melahirkan tindakan yang sama seperti yang pernah dilakukan terhadap
kelompok 5 di Bali beberapa bulan yang lalu? Dan tidak perlu menunggu tewasnya
aparat karena diberondong oleh Farhan cs.
Orang 5 tewas
di Bali hanya karena diduga hendak merompok dan dari hasil perampokan akan
digunakan tindak pidana terorisme. Kenapa pre-emptif tidak juga dilakukan
kepada Farhan atau Muhsin sebelum mereka beraksi membuat teror?.
Toh melalui Abu
Omar yang diketahui sebagai ayah tiri Farhan yang sudah ditangkap beberapa
bulan lalu di Jakarta juga bisa dikorek informasi mengenai jaringan mereka dan
kemungkinan puzzle kekerasan muncul dari orang-orang disekiling mereka.
Dan kemudian
fakta dilapangan juga mengindikasikan tidak sulit bagi aparat intelijen Densus
88 melacak jejak mereka dari sejak aksinya tanggal 17,18, 30 Agustus. Dalam
hitungan jam Densus 88 bisa mengunci gerak mereka yang berakhir dengan baku
tembak penyergapan.
Dari peristiwa
diatas akhirnya banyak melahirkan pertanyaan, apakah mungkin ini produk
intelijen hitam yang memprovokasi anak-anak muda yang darah heroismenya
menggelegak?
Kenapa juga
peristiwa kali ini berketepatan jelang kunjungan tamu “penting” Menlu AS
Hillary Clinton? Mengingat setiap ada kunjungan tamu “penting” dari Amerika selalu
disambut dengan penangkapan dan eksekusi orang-orang dengan lebel teroris.
Termasuk ustad Abu Bakar Ba’asyir menjadi “tumbal” sebelum Obama mendarat di
Jakarta.
Sekalipun aksi
teror di Solo adalah sebuah fakta yang tidak direkayasa, tapi stimulant
lahirnya tindakan adalah sesuatu yang sangat mudah direkayasa.
Yang jelas,
peristiwa Solo telah menjelaskan invalidnya label terorisme yang
digembor-gemborkan oleh BNPT. Demikian juga akan makin menjelaskan motif
politik yang menjadi spirit para follower dari peristiwa teror Solo ini
dari pihak aparat pemerintah.
Karena tidak
menutup kemungkinan dari kasus Solo akan melahirkan keputusan-keputusan
politik; revisi UU Terorisme (UU No. 15 tahun 2003) segera gol, UU Kamnas,
Revisi UU Ormas, atau ajuan anggaran baru untuk BNPT dengan Densusnya, atau
anggaran untuk aparat kepolisian.
Begitu juga,
teror Solo telah berkontribusi melegakan nafas institusi Polri yang sedang
dihajar dan didera kasus korupsi di Korlantas. Begitu juga kasus-kasus mega
korupsi lainya tidak lagi begitu santer jadi pembicaraan kalangan media seperti
TVone.
Bahkan
peristiwa premanisme yang menggila juga tidak mendapat sorotan dan perhatian
secara proporsional. Bahkan kematian 100 orang lebih selama mudik hari raya
2012 juga dianggap biasa dan tidak perlu menjadi tragedi nasional karena
buruknya infrastruktur dan buruknya layanan pemerintah atas fasilitas publik.
Begitu juga
langkah renegosiasi PT.Freeport yang bernafsu mengeksploitasi hingga tahun 2041
ditanah Papua tidak dianggap sebagai ancaman terhadap kedaulatan energi dan
potensi disintegrasi NKRI.
Malah tuan
Hillary yang hendak datang disambut dengan “drama terorisme” dengan tumbal
beberapa nyawa yang menghilang. Atau mungkin karena ada skenario lain dalam isu
terorisme kali ini, karena sebulan sebelum masuk Ramadhan (puasa) saya sudah
dapatkan informasi rencana “bersih-bersih” di kawasan Solo dan sekitarnya di
bulan Agustus dan September.
Dan sekarang
saya melihat sedikit demi sedikit “bersih-bersih” itu dilakukan. Dan saya yakin
target politik dibalik kontra-terorisme pelan tapi pasti akan terbongkar juga.
Dan kembali ke cerita review buku, saya sampaikan dihadapan profesor bahwa
topik “dendam dan keadilan” menjadi kata kunci yang melahirkan tindakan teror
yang datang silih berganti. Dan pemerintah dalam hal ini BNPT harus melakukan
otokritik dengan jujur. Wallahu a’lam bisshowab. [voa-islam.com]