Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah, Saleh P Daulay, menyatakan balas dendam
teroris juga terkait dengan labelisasi yang dilakukan berbagai pihak.
Walau demikian, Saleh mengatakan jangan sampai labelisasi yang ditujukan
pada santri Pondok Pesantren Ngruki justru membuat mereka sakit hati dan merasa
sebagai yang terpinggirkan di Indonesia.
Selama ini, kata Saleh, banyak kosakata yang digunakan pihak berwenang yang
menyinggung kalangan Islam dan menyakitkan bagi orang yang berasal dari
pesantren.
"Misalnya, dengan membawa nama Islam dan kelompok radikal. Padahal,
banyak pahlawan nasional yang berasal dari pesantren," ujarnya dalam
diskusi di Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (8/9) dikutip republika.
Menurut Saleh, pengkajian kembali UU Penanggulangan Terorisme juga perlu
dilakukan, dan klausul mengenai penegakan hukum dan definisi terorisme perlu
diperjelas.
Saleh menambahkan, untuk melakukan deradikalisasi, Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan pihak yang terkait antiterorisme perlu
melibatkan seluruh elemen bangsa.
Sementara itu, Direktur Deradikalisasi BNPT, Irfan Idris, mengatakan selama
ini kurikulum mengenai jihad di sebagian pesantren di Indonesia tidak tuntas.
"Karena itu perlu pendampingan. Ada sekitar 40 ribu pesantren di
Indonesia," ujarnya.
Irfan menyebutkan dua negara yang menurutnya bisa dijadikan contoh sukses
deradikalisasi, yaitu Singapura dan Arab Saudi. Di kedua negara tersebut
radikalisme mampu dikendalikan. Di Singapura contohnya, pemerintah melakukan
sertifikasi terhadap para ulama dan imam. (bilal/arrahmah.com)