Oleh Ustadz Fahmi Suwaedi
Tahukah Anda, 63 tahun lalu
Republik Indonesia hampir habis riwayatnya? Beruntung Allah telah menurunkan
sifat sabar dan tsabat pada seorang Muslim yang fisiknya begitu ringkih.
Panglima Besar Sudirman di usia
30-an tahun sakit berat digerogoti bakteri tuberkolosis. Paru-parunya bahkan
tinggal sebelah karena yang satunya begitu rusak sehingga harus diangkat.
Namun pemuda yang dikenal jujur dan
keras hati itu pantang menyerah pada kondisi. Sifat ini melekat sejak
kanak-kanak. Sudirman yang aktif menjadi pandu HW (Hizbul Wathan) Muhammadiyah
pernah membuat guru dan kawan-kawannya geleng-geleng kepala.
Waktu itu unit HW tempat Sudirman
aktif menggelar perkemahan. Hujan turun begitu deras di kawasan Banyumas,
membuat tenda-tenda banjir dan tak layak didiami. Kawan-kawan Sudirman memilih
mengungsi ke rumah penduduk, meninggalkan tenda dan menyerah pada keadaan. Tapi
tidak Sudirman.
Ia memilih bertahan di tenda
sendirian. Bujukan kawan dan gurunya tak membuat ia luluh. “Saya pandu,
berkemah untuk melatih kesabaran dan bersahabat dengan kerasnya tantangan alam.
Percuma mendirikan tenda kalau hanya untuk ditinggalkan.” Kurang lebih begitu
jawaban Sudirman kecil.
Sikap tsabat (ketetapan hati)
Sudirman pernah menyelamatkan negara ini dari keruntuhan total. Ahad pagi 19
Desember 1949, ibukota Yogyakarta dihujani peluru dan bom pesawat Belanda.
Setelah menguasai pangkalan udara Maguwo, kini Bandara Adisutjipto, Belanda
membanjiri kota gudeg itu dengan ribuan pasukan payung berbaret merah dan
komando berbaret hijau.
Presiden Soekarno dan para
anggotanya pun menggelar sidang darurat.
Mereka memutuskan tak meninggalkan
kota dan memilih ditawan oleh Belanda. Argumen mereka, kekuatan Belanda yang
begitu besar tak mungkin dilawan, lebih baik menyerah dan mencoba berunding.
Jenderal Sudirman datang untuk
mengajak presiden dan para menteri meninggalkan kota. Sebelumnya telah ada
kesepakatan bahwa semua pemimpin RI akan naik gunung memimpin gerilya bersama
TNI dan rakyat.
Namun jenderal kurus berdada tipis
itu harus menelan kekecewaan. Ajakannya ditolak, bahkan ia dibujuk agar ikut
menyerah pada keadaan. “Dik Dirman kan sedang sakit keras, lebih baik tetap di
kota agar bisa mendapat perawatan kesehatan,” rayu Soekarno.
Sikap sabar dan keras hati Sudirman,
godokan pengajian Muhammadiyah dan Kepanduan HW yang diikutinya sejak kecil,
kembali muncul. Ia menolak bujukan itu, “Saya panglima, tempat saya di medan
tempur bersama anak buah saya.”
Ucapan Sudirman menunjukkan sikap
tsabat seorang mujahid. Sekaligus mengandung sindiran tajam kepada Soekarno,
“Apa artinya retorika perjuangan di atas podium. Buat apa mendirikan negara
jika hanya untuk diserahkan kepada musuh.” Kurang lebih mungkin itu yang ada di
batin Sudirman.
Maka kedua pemimpin itupun memilih
jalan masing-masing. Yang satu diam di kota dan menyambut musuh dengan bendera
putih. Yang satunya meninggalkan kota dan menyambut musuh dengan paru-paru
sebelah namun aqidah pantang menyerah.
Sejarah kemudian membuktikan,
Republik Indonesia hampir runtuh hari itu. Betapa tidak, hampir seluruh wilayah
dikuasai Belanda. Kepemimpinan pun demikian, presiden dan kabinetnya ditawan
dan diasingkan. Tinggal para pejuang dan TNI yang masih bertahan dan terus
melawan.
Eksistensi Republik Indonesia pun
terjaga dengan sikap kukuh Sudirman. Masih ada panglima dan tentara yang
berjihad bersama rakyat. Tak semua simbol republik menyerah. Apalagi Mr
Syafruddin Prawiranegara, politisi Muslim dari Masyumi, mendirikan Pemerintah
Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi.
Alhamdulillah, Allah Ta’ala masih
menyisakan sikap sabar dan tsabat kepada seorang Sudirman. Subhanallah,
ternyata Allah pernah menyelamatkan bangsa dan negara ini melalui seorang
hamba-Nya yang begitu ringkih fisiknya namun begitu kuat aqidahnya.