Dikutip dari Suara Islam, inilah laporan jurnalis Shodiq Ramadhan dari bedah buku
Syiah yang dilaksanakan Balitbang Kemenag:
Ruang Melati, Hotel Milenium, Tanah
Abang, Jakarta Pusat terasa dingin. Pasalnya, ruangan besar berkapasitas
seratusan orang itu hanya diisi sekitar tiga puluhan orang saja. Diskusi
seputar Syiahlah yang akhirnya mampu menghangatkan ruangan itu, dari pagi
hingga siang, Senin 17 Desember 2012.
Selama setengah hari, Badan
Penelitian dan Pengembangan Kementrian Agama (Balitbang Kemenag) menggelar
diskusi atas studi kasus-kasus lektur dan khazanah keagamaan. Buku berjudul “40
Masalah Syiah” karya Emilia Renita Az, menjadi buku pertama yang dikaji.
Balitbang menghadirkan editor buku
yang juga Ketua Dewan Syuro Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI),
Jalaluddin Rahmat sebagai pembedah. Sedangkan dari kalangan Sunni yang hadir
anggota Komisi Pengkajian dan Penelitian MUI Pusat, Ustad Fahmi Salim, MA.,
sebagai pembanding.
Kang Jalal, panggilan akrab
Jalaluddin Rahmat, sebelum memulai paparannya, mengungkapkan bahwa istrinya,
Emilia Renita Az, sang penulis buku, tidak bisa hadir karena masih berada di
Karbala.
Kang Jalal, selain sebagai editor
buku, mengaku melakukan berbagai tugas dalam penyusunan buku ini. “Saya masuk
ke dalam buku ini sebagai penyunting, penggunting, pembanding dan pembanting,”
katanya.
Sementara istrinya, dalam kata
pengantarnya malah menuliskan, “(sebetulnya, saya malu kalau saya claimed,
buku ini hasil saya sendiri padahal suami saya kerja lebih keras dari
saya!!…)”. Artinya, buku ini memang tidak murni karya Emilia, ada tangan Kang
Jalal di sana.
Kang Jalal tidak menjelaskan seluruh
isi buku itu. Menurutnya, perbedaan antara Sunni dan Syi’i banyak yang tidak
esensial. Soal nikah mut’ah kata Kang Jalal, tidak esensial. Maka, Kang Jalal
hanya membahas satu persoalan saja yang merupakan perbedaan esensi (mendasar)
antara Sunni dan Syi’i, yakni tentang wasiyat Rasulullah kepada Ahlul Bayt.
Intinya, kata Kang Jalal, Syi’ah
meyakini Rasulullah berwasiyat kepada Ahlul Bayt dalam soal kepemimpinan,
sementara Ahlussunnah tidak meyakini. Dari konsep inilah kemudian konsep-konsep
lainnya menjadi berbeda. Itu saja yang dijelaskan Kang Jalal.
Sementara, anggota Komisi Pengkajian
dan Penelitian MUI Pusat, Fahmi Salim, melakukan pembahasan yang cukup
komprehensif.
“Buku ini tipis, tapi banyak sekali
mengutip buku-buku yang ditulis ulama-ulama Ahlusunnah. Harapan saya Ibu Emilia
ini bisa hadir sekedar untuk memverifikasi apakah beliau betul-betul sudah
melihat catatan-catatan kaki yang ditulis dalam kitab-kitab Ahlusunnah,” kata
Master dalam bidang Tafsir Al-Quran dari Universitas Al Azhar, Kairo ini.
Bertaburan Fitnah dan Kedustaan
Ada banyak sekali catatan yang
diberikan Fahmi Salim atas buku setebal 240 halaman yang menjadi pedoman dakwah
bagi anggota IJABI ini.
Pada halaman 43 buku itu, penulis
menukil sebuah hadits tentang Aisyah yang ceroboh meletakkan sahifah di
bawah tempat tidurnya, sehingga ketika Rasulullah meninggal sahifah itu
tidak terurus dan kemudian masuklah kambing ke dalam dan memakannya. Ini
dilakukan Emilia untuk membuktikan tuduhannya tentang adanya tahrif
dalam hadits-hadits sahih kaum Sunni.
Menurut Fahmi, riwayat hadits yang
ada tambahan “Masuklah kambing ke dalam dan memakannya” adalah riwayat yang
dhaif, karena ada perawi yang majhul dan pendusta. Apalagi hadits itu
hanya ada dalam riwayat Ibnu Majah.
“Ini adalah tambahan yang dibuat
oleh Syiah Rafidhah. Syiah Rafidah ini beda dengan Syiah Zaidiyah. Mereka
menolak keimamahan Abu Bakar dan Umar. Mencaci maki mereka, mencela,
mengkafirkan mereka. Ini karakter khusus Syiah Rafidhah. Menurut para ulama,
Syiah Rafidhah ini julukan untuk Syiah Imamiyah Istna Asy’ariyah,” jelasnya.
Menurut Fahmi, dalam Sahih Muslim
tidak ditemukan tambahan itu. Riwayat Ibnu Majah tidak bisa disamakan dalam
satu catatan kaki sehingga seolah-olah riwayat Muslim sama dengan Ibnu Majah.
Ini bisa membuat orang berkesimpulan ini sama. Padahal jika diteliti tidak
demikian.
“Kita memang harus berhati-hati dan
berkeringat dulu membaca buku ini untuk menelitinya. Jangan langsung diterima,”
kata ustad muda yang juga Wakil Sekjen MIUMI ini.
Ketidakjujuran intelektual dan
ilmiah juga dipertontonkan penulis buku ini di halaman 54. Ketika membahas
tentang hadits 12 khalifah, Emilia mengkritik Imam Ibn Hajar Al Asqalani dengan
kalimatnya, “Dalam kebingungannya, Ibn Hajar al-Asqalani menulis, “Aku tidak
menemukan seorang pun yang mengetahui secara pasti arti hadits ini”. Emilia
lantas menulis, “Aneh juga kalau ahli hadits sebesar Ibn Hajar tidak memahami
arti hadits ini, padahal nama-nama dua belas imam diriwayatkan banyak sekali
dalam khazanah Ahlussunah.”
Yang dimaksud ulama Ahlussunah yang
telah meriwayatkan bayak hadits terkait dengan masalah ini, menurut Emilia,
adalah Al-Qanduz al-Hanafi, penulis buku Yanabi’ al-Mawwadah.
“Hebat kutipan ini. Ulama hadits
selama 1400 tahun tidak pernah menyebutkan dalam kitab hadits, sekarang ada
ulama abad 15 yang menyebut ada banyak ulama Ahlussunah menulis nama 12 imam
dan hanya menyebut satu orang, Al Qanduzi Al Hanafi,” sindir Fahmi.
Lantas, Fahmi pun mulai membuka
tabir siapa sesungguhnya Al Qanduzi al-Hanafi itu?. Di hadapan peserta diskusi,
dengan gamblang dan disertai bukti-bukti kitabnya, Fahmi membeberkan bahwa Al
Qanduzi al-Hanafi bukanlah ulama Sunni melainkan tokoh Syiah.
“Yanabi’ al Mawwadah dikarang
Sulaiman bin Ibrahim Al Qanduzi al Hanafi, disebut ini adalah karya tulis
Syiah. Al Qanduzi ini banyak menukil dari Jakfar Shadiq. Ini bukan tulisan
ulama Ahlusunnah, ini Syiah,” ungkapnya.
Fahmi pun lantas mempefrtanyakan di
mana kejujuran intelektual dan ilmiah penulis buku “40 Masalah Syiah” itu.
“Mana kejujuran intelektual dan ilmiah, dari penulis buku ini dan editornya
ketika menyebut itu banyak kitab ulama Ahlussunah?”, tanyanya.
Hal yang lebih fatal dan konyol juga
ditulis Emilia dalam halaman 74. Dia menulis, “Syiah tidak pernah mengkafirkan
semua sahabat Nabi Saw seperti kaum Khawarij. Tetapi Syiah juga tidak
memaksumkan semua sahabat Nabi seperti Ahlussunnah.”
Jelas dan tegas, Emilia menuduh
kalangan Sunni menganggap sahabat Nabi terbebas dari kesalahan (ma’shum).
“Ini keliru pak. Ahlussunnah tidak
pernah menganggap mereka maksum. Tolong dikoreksi. Ahlusunnah tidak pernah
menganggap sahabat Nabi maksum, tapi mereka ‘adil (adil) dalam
meriwayatkan. Beda antara ishmah dan ‘adalah,” jelasnya.
Anehnya, setelah pada halaman 74
menuding bahwa Ahlusunnah memaksumkan sahabat, lantas pada halaman 76 Emilia
menulis bahwa “ ‘adalah semua sahabat bertentangan dengan al-Quran.”
“Ini berarti mengakui kesalahan
sebelumnya. Ini tidak konsisten,” komentar Fahmi.
Pemutarbalikkan fakta sejarah juga
banyak dilakukan Emilia dalam buku ini. Pada halaman 83, ia menuduh istri dan
sahabat Nabi, Aisyah, Thalhah, Zubayr dan sahabat-sahabat “yang satu aliran
dengan mereka” memerangi Imam Ali. “Sebelumnya, mereka berkomplot untuk
membunuh Utsman,” tulisnya.
Fahmi membantah tuduhan gembong
Syiah ini. Menurutnya ini merupakan tuduhan yang luar biasa terhadap para
sahabat. Ia menduga tudingan ini diambil dari kitab Al Muraja’at,
karangan Abdul Hussein Syarafuddin al-Musawi. Buku tersebut kini telah
diterjemahkan dengan judul “Dialog Sunnah-Syiah”.
“Ini tuduhan yang jahat, palsu
sumbernya dan fiktif. Itu merupakan hasil dialog imajiner penulisnya dengan
Syaikh Salim Al Bisyri, ulama Al Azhar. Al Azhar telah mengjklarifikasi hal
ini, dan membuktikan bahwa buku itu palsu karena diterbitkan 20 tahun setelah
Syaikh Al Bisyri meninggal,” ungkapnya.
Jalal dan istrinya juga memfitnah
sahabat Khalid bin Walid telah mengambil istri orang setelah Khalid membunuh
suami perempuan itu. Tuduhan keji ini lantaran Khalid telah membunuh Malik bin
Nuwairah, pimpinan kelompok yang menolak membayar zakat di masa Abu Bakar
Asshiddiq.
“Bahwa Khalid membunuh Malik itu
benar. Karena ini kemudian memunculkan Perang Riddah. Tapi menuduh Khalid bin
Walid mengawini istri Malik di malam harinya, ini saya tidak melihat satupun
sanad riwayat sejarah. Ini tuduhan palsu dan fitnah. Ini memecah belah umat
Islam pak,” tegasnya.
Violence Communication?
Mendapat serangan bertubi-tubi,
rupanya cukup membuat Kang Jalal keteteran. Apalagi bantahan atas tulisan istri
Kang Jalal itu juga disampaikan oleh salah satu peserta diskusi. Perwakilan
Forum Umat Islam (FUI), HM Abu Saad misalnya, menyampaikan bahwa buku yang
diterbitkan IJABI ini tidak konsisten.
Dalam soal jumlah Ahlul Bayt
misalnya, di halaman 23 ditulis bahwa yang termasuk Ahlul Bayt hanya empat
orang. Sementara pada halaman 92 jumlah Ahlul Bayt menjadi empat belas orang.
“Apalagi sekarang, jumlah anggota Jemaah Ahlul Bayt menjadi lebih banyak lagi,”
katanya.
Karena amunisinya habis dan
kesempatan untuk menjawab satu persatu persoalan tidak memungkinkan, maka Kang
Jalal berkali-kali meminta kepada Fahmi Salim agar memberikan semua makalah dan
catatan kritiknya kepada dia. Tujuannya agar bisa dijawab dan terjadi dialog.
“Saya ingin menanggapi secara ilmiah
tanpa bicara (dengan kata-kata) manipulasi, kedustaan, fitnah, dan lainnya,”
kata Kang Jalal.
Kang Jalal menganggap semua
“serangan” yang datang dari Fahmi Salim dan peserta diskusi sebagai “violence
communication”.
“Orang Syiah memang banyak yang
tolol. Sebagaimana di Sunni juga banyak yang tolol. Tapi saya tidak termasuk
yang tolol itu,” katanya.
Para peserta pun hanya tersenyum
penuh arti mendengar ungkapan Kang Jalal.