Sabtu, 22 Desember 2012

Menelanjangi Buku Syiah Karya Istri Kang Jalal


Dikutip dari Suara Islam, inilah laporan jurnalis Shodiq Ramadhan dari bedah buku Syiah yang dilaksanakan Balitbang Kemenag:

Ruang Melati, Hotel Milenium, Tanah Abang, Jakarta Pusat terasa dingin. Pasalnya, ruangan besar berkapasitas seratusan orang itu hanya diisi sekitar tiga puluhan orang saja. Diskusi seputar Syiahlah yang akhirnya mampu menghangatkan ruangan itu, dari pagi hingga siang, Senin 17 Desember 2012.

Selama setengah hari, Badan Penelitian dan Pengembangan Kementrian Agama (Balitbang Kemenag) menggelar diskusi atas studi kasus-kasus lektur dan khazanah keagamaan. Buku berjudul “40 Masalah Syiah” karya Emilia Renita Az, menjadi buku pertama yang dikaji.

Balitbang menghadirkan editor buku yang juga Ketua Dewan Syuro Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI), Jalaluddin Rahmat sebagai pembedah. Sedangkan dari kalangan Sunni yang hadir anggota Komisi Pengkajian dan Penelitian MUI Pusat, Ustad Fahmi Salim, MA., sebagai pembanding.

Kang Jalal, panggilan akrab Jalaluddin Rahmat, sebelum memulai paparannya, mengungkapkan bahwa istrinya, Emilia Renita Az, sang penulis buku, tidak bisa hadir karena masih berada di Karbala.

Kang Jalal, selain sebagai editor buku, mengaku melakukan berbagai tugas dalam penyusunan buku ini. “Saya masuk ke dalam buku ini sebagai penyunting, penggunting, pembanding dan pembanting,” katanya.

Sementara istrinya, dalam kata pengantarnya malah menuliskan, “(sebetulnya, saya malu kalau saya claimed, buku ini hasil saya sendiri padahal suami saya kerja lebih keras dari saya!!…)”. Artinya, buku ini memang tidak murni karya Emilia, ada tangan Kang Jalal di sana.

Kang Jalal tidak menjelaskan seluruh isi buku itu. Menurutnya, perbedaan antara Sunni dan Syi’i banyak yang tidak esensial. Soal nikah mut’ah kata Kang Jalal, tidak esensial. Maka, Kang Jalal hanya membahas satu persoalan saja yang merupakan perbedaan esensi (mendasar) antara Sunni dan Syi’i, yakni tentang wasiyat Rasulullah kepada Ahlul Bayt.

Intinya, kata Kang Jalal, Syi’ah meyakini Rasulullah berwasiyat kepada Ahlul Bayt dalam soal kepemimpinan, sementara Ahlussunnah tidak meyakini. Dari konsep inilah kemudian konsep-konsep lainnya menjadi berbeda. Itu saja yang dijelaskan Kang Jalal.

Sementara, anggota Komisi Pengkajian dan Penelitian MUI Pusat, Fahmi Salim, melakukan pembahasan yang cukup komprehensif.

“Buku ini tipis, tapi banyak sekali mengutip buku-buku yang ditulis ulama-ulama Ahlusunnah. Harapan saya Ibu Emilia ini bisa hadir sekedar untuk memverifikasi apakah beliau betul-betul sudah melihat catatan-catatan kaki yang ditulis dalam kitab-kitab Ahlusunnah,” kata Master dalam bidang Tafsir Al-Quran dari Universitas Al Azhar, Kairo ini.

Bertaburan Fitnah dan Kedustaan

Ada banyak sekali catatan yang diberikan Fahmi Salim atas buku setebal 240 halaman yang menjadi pedoman dakwah bagi anggota IJABI ini.

Pada halaman 43 buku itu, penulis menukil sebuah hadits tentang Aisyah yang ceroboh meletakkan sahifah di bawah tempat tidurnya, sehingga ketika Rasulullah meninggal sahifah itu tidak terurus dan kemudian masuklah kambing ke dalam dan memakannya. Ini dilakukan Emilia untuk membuktikan tuduhannya tentang adanya tahrif dalam hadits-hadits sahih kaum Sunni.

Menurut Fahmi, riwayat hadits yang ada tambahan “Masuklah kambing ke dalam dan memakannya” adalah riwayat yang dhaif, karena ada perawi yang majhul dan pendusta.  Apalagi hadits itu hanya ada dalam riwayat Ibnu Majah.

“Ini adalah tambahan yang dibuat oleh Syiah Rafidhah. Syiah Rafidah ini beda dengan Syiah Zaidiyah. Mereka menolak keimamahan Abu Bakar dan Umar. Mencaci maki mereka, mencela, mengkafirkan mereka. Ini karakter khusus Syiah Rafidhah. Menurut para ulama, Syiah Rafidhah ini julukan untuk Syiah Imamiyah Istna Asy’ariyah,” jelasnya.

Menurut Fahmi, dalam Sahih Muslim tidak ditemukan tambahan itu. Riwayat Ibnu Majah tidak bisa disamakan dalam satu catatan kaki sehingga seolah-olah riwayat Muslim sama dengan Ibnu Majah. Ini bisa membuat orang berkesimpulan ini sama. Padahal jika diteliti tidak demikian.

“Kita memang harus berhati-hati dan berkeringat dulu membaca buku ini untuk menelitinya. Jangan langsung diterima,” kata ustad muda yang juga Wakil Sekjen MIUMI ini.

Ketidakjujuran intelektual dan ilmiah juga dipertontonkan penulis buku ini di halaman 54. Ketika membahas tentang hadits 12 khalifah, Emilia mengkritik Imam Ibn Hajar Al Asqalani dengan kalimatnya, “Dalam kebingungannya, Ibn Hajar al-Asqalani menulis, “Aku tidak menemukan seorang pun yang mengetahui secara pasti arti hadits ini”. Emilia lantas menulis, “Aneh juga kalau ahli hadits sebesar Ibn Hajar tidak memahami arti hadits ini, padahal nama-nama dua belas imam diriwayatkan banyak sekali dalam khazanah Ahlussunah.”

Yang dimaksud ulama Ahlussunah yang telah meriwayatkan bayak hadits terkait dengan masalah ini, menurut Emilia, adalah Al-Qanduz al-Hanafi, penulis buku Yanabi’ al-Mawwadah.

“Hebat kutipan ini. Ulama hadits selama 1400 tahun tidak pernah menyebutkan dalam kitab hadits, sekarang ada ulama abad 15 yang menyebut ada banyak ulama Ahlussunah menulis nama 12 imam dan hanya menyebut satu orang, Al Qanduzi Al Hanafi,” sindir Fahmi.

Lantas, Fahmi pun mulai membuka tabir siapa sesungguhnya Al Qanduzi al-Hanafi itu?. Di hadapan peserta diskusi, dengan gamblang dan disertai bukti-bukti kitabnya, Fahmi membeberkan bahwa Al Qanduzi al-Hanafi bukanlah ulama Sunni melainkan tokoh Syiah.

Yanabi’ al Mawwadah dikarang Sulaiman bin Ibrahim Al Qanduzi al Hanafi, disebut ini adalah karya tulis Syiah. Al Qanduzi ini banyak menukil dari Jakfar Shadiq. Ini bukan tulisan ulama Ahlusunnah, ini Syiah,” ungkapnya.

Fahmi pun lantas mempefrtanyakan di mana kejujuran intelektual dan ilmiah penulis buku “40 Masalah Syiah” itu. “Mana kejujuran intelektual dan ilmiah, dari penulis buku ini dan editornya ketika menyebut itu banyak kitab ulama Ahlussunah?”, tanyanya.

Hal yang lebih fatal dan konyol juga ditulis Emilia dalam halaman 74. Dia menulis, “Syiah tidak pernah mengkafirkan semua sahabat Nabi Saw seperti kaum Khawarij. Tetapi Syiah juga tidak memaksumkan semua sahabat Nabi seperti Ahlussunnah.”

Jelas dan tegas, Emilia menuduh kalangan Sunni menganggap sahabat Nabi terbebas dari kesalahan (ma’shum). 

“Ini keliru pak. Ahlussunnah tidak pernah menganggap mereka maksum. Tolong dikoreksi. Ahlusunnah tidak pernah menganggap sahabat Nabi maksum, tapi mereka ‘adil (adil) dalam meriwayatkan. Beda antara ishmah dan ‘adalah,” jelasnya.

Anehnya, setelah pada halaman 74 menuding bahwa Ahlusunnah memaksumkan sahabat, lantas pada halaman 76 Emilia menulis bahwa “ ‘adalah semua sahabat bertentangan dengan al-Quran.”

“Ini berarti mengakui kesalahan sebelumnya. Ini tidak konsisten,” komentar Fahmi.

Pemutarbalikkan fakta sejarah juga banyak dilakukan Emilia dalam buku ini. Pada halaman 83, ia menuduh istri dan sahabat Nabi, Aisyah, Thalhah, Zubayr dan sahabat-sahabat “yang satu aliran dengan mereka” memerangi Imam Ali. “Sebelumnya, mereka berkomplot untuk membunuh Utsman,” tulisnya.

Fahmi membantah tuduhan gembong Syiah ini. Menurutnya ini merupakan tuduhan yang luar biasa terhadap para sahabat. Ia menduga tudingan ini diambil dari kitab Al Muraja’at, karangan Abdul Hussein Syarafuddin al-Musawi. Buku tersebut kini telah diterjemahkan dengan judul “Dialog Sunnah-Syiah”.

“Ini tuduhan yang jahat, palsu sumbernya dan fiktif. Itu merupakan hasil dialog imajiner penulisnya dengan Syaikh Salim Al Bisyri, ulama Al Azhar. Al Azhar telah mengjklarifikasi hal ini, dan membuktikan bahwa buku itu palsu karena diterbitkan 20 tahun setelah Syaikh Al Bisyri meninggal,” ungkapnya.

Jalal dan istrinya juga memfitnah sahabat Khalid bin Walid telah mengambil istri orang setelah Khalid membunuh suami perempuan itu. Tuduhan keji ini lantaran Khalid telah membunuh Malik bin Nuwairah, pimpinan kelompok yang menolak membayar zakat di masa Abu Bakar Asshiddiq.

“Bahwa Khalid membunuh Malik itu benar. Karena ini kemudian memunculkan Perang Riddah. Tapi menuduh Khalid bin Walid mengawini istri Malik di malam harinya, ini saya tidak melihat satupun sanad riwayat sejarah. Ini tuduhan palsu dan fitnah. Ini memecah belah umat Islam pak,” tegasnya.

Violence Communication?

Mendapat serangan bertubi-tubi, rupanya cukup membuat Kang Jalal keteteran. Apalagi bantahan atas tulisan istri Kang Jalal itu juga disampaikan oleh salah satu peserta diskusi. Perwakilan Forum Umat Islam (FUI), HM Abu Saad misalnya, menyampaikan bahwa buku yang diterbitkan IJABI ini tidak konsisten.

Dalam soal jumlah Ahlul Bayt misalnya, di halaman 23 ditulis bahwa yang termasuk Ahlul Bayt hanya empat orang. Sementara pada halaman 92 jumlah Ahlul Bayt menjadi empat belas orang. “Apalagi sekarang, jumlah anggota Jemaah Ahlul Bayt menjadi lebih banyak lagi,” katanya.

Karena amunisinya habis dan kesempatan untuk menjawab satu persatu persoalan tidak memungkinkan, maka Kang Jalal berkali-kali meminta kepada Fahmi Salim agar memberikan semua makalah dan catatan kritiknya kepada dia. Tujuannya agar bisa dijawab dan terjadi dialog.

“Saya ingin menanggapi secara ilmiah tanpa bicara (dengan kata-kata) manipulasi, kedustaan, fitnah, dan lainnya,” kata Kang Jalal.

Kang Jalal menganggap semua “serangan” yang datang dari Fahmi Salim dan peserta diskusi sebagai “violence communication”.

“Orang Syiah memang banyak yang tolol. Sebagaimana di Sunni juga banyak yang tolol. Tapi saya tidak termasuk yang tolol itu,” katanya.

Para peserta pun hanya tersenyum penuh arti mendengar ungkapan Kang Jalal.