Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, Khairil Anwar, mengakui jika sekolah berpredikat Rintisan Sekolah
Bertaraf Internasional (RSBI) sulit memenuhi kuota siswa miskin.
“Masalah sulit memenuhi kuota memang ada. Tetapi tidak di semua tempat. Ada yang bisa penuh, seperti Surabaya,” kata Khairil di Kompleks Parlemen Senayan, Mei lalu.
Khairil mengatakan, hingga saat ini Kementerian belum mengkaji secara mendalam apa yang membuat sekolah RSBI sulit memenuhi kuota siswa miskin. Ia menduga citra sekolah RSBI berbiaya tinggilah yang membuat siswa miskin takut untuk mendaftar. “Keburu takut duluan,” ujarnya.
Berdasarkan Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), setiap kabupaten dan kota di Indonesia diwajibkan memiliki minimal satu sekolah bertaraf internasional. Aturan itu berlaku bagi pendidikan di setiap jenjang, Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).
Hingga saat ini, kata Khairil, ada sekitar 1.300 sekolah RSBI di Indonesia. Kepada semua sekolah tersebut, pemerintah meminta mereka menyisakan 20 persen kursi bagi siswa miskin. Namun, pada praktiknya tak semua sekolah bisa memenuhi kuota itu.
RSBI itu sebenarnya hanya sekadar prestise, tidak ada kaitannya
dengan mutu pendidikan, dan hanya diperuntukkan bagi anak-anak orang kaya. Anak-anak
orang miskin sangat mustahil akan dapat masuk Sekolah RSBI. RSBI tempat
lahirnya diskriminasi sosial, dan ajang pemerasan.
Sekolah-sekolah RSBI itu, menyelenggarakan tes lebih dahulu, sebelum ujian
nasional berlangsung. Mereka melakukan penjaringan siswa melalui tes yang
diselenggarakan internal sekolah mereka masing-masing. Tetapi, kalau pun mereka
lulus, hasil nilai ujian nasional kecil, mereka dapat tersingkir.
Tentu, yang paling masygul, Sekolah RSBI itu, konon memungut bayaran yang
tidak sedikit. Antara Rp 10 - 20 juta, tiap siswa yang diterima. Orang tua
murid, yang sudah mengikuti tes, harus menandatangani pernyataan diatas
meterai, kesanggupan mereka membiayai pendidikan. Sehingga, tidak ada komplain,
terutama bagi siswa yang diterima, tidak mampu membayar. Jadi berapa miliar
uang yang masuk, kalau tiap sekolah menerima siswa antara 300-400?
Selain itu, di Jakarta, sekolah-sekolah yang menggunakan lebel RSBI itu,
menggunakan standar nilai yang sangat tinggi, dan passing gradenya, yang paling
rendah, rata-rata 9. Kemudian, bagi orang tua anaknya, yang tidak
diterima, secara diam-diam melakukan tawar menawar dengan pihak sekolah. Tentu,
semua itu, dibalik layar. Walaupun sekarang sistem pendaftaran di Jakarta
melalui online.
RSBI ini banyak diisi oleh anak-anak orang kaya, yang mereka usai sekolah
di sebuah sekolah SMA, yang sudah menggunakan lebel RSBI itu, mereka umumnya
melanjutkan sekolah di luar negeri. Karena, masuk perguruan tinggi negeri di
Indonesia, jumlah kursinya sangat terbatas.
Sudah ada sejumlah kelompok masyarakat yang mengajukan gugatan kepada
Mahkamah Konstitusi (MK), agar membatalkan yang namanya sekolah RSBI. Karena,
hanya melahirkan pengelompokkan dalam masyarakat, dan sangat tidak manusiawi.
RSBI dengan dalih mutu pendidikan, sekolah memungut uang yang sangat tinggi.
Ini menyebabkan sekolah RSBI itu, hanya diperuntukkan bagi golongan orang kaya
di Indonesia.
Sekolah dan perguruan tinggi di Indonesia benar-benar mencekik bagi orang
miskin. Tidak mungkin orang miskin dapat melanjutkan sampai sekolah ke
perguruan tinggi. Di perguruan tinggi negeri, lebih "gila" lagi
uang bayarannya, fakultas yang "ecek-ecek" saja, sekarang harus
membayar uang masuk, minimal Rp 20 juta.
Ada orang tua tidak mampu yang meminta keringanan, sudah membuat
surat pernyataan miskin yang direkomendasi RT, RW, Kelurahan, sampai Kecamatan,
rumah sudah di foto dari luar dan dalam, sebagai orang miskin, tetap saja
tidak membuat fihak kampus menjadi iba. Mereka si miskin itu, harus
membayar penuh.
Sekolah dan perguruan tinggi, hanyalah ajang pemerasan, yang sangat tidak
manusiawi. Baru mendaftar mereka harus membeli formulir minimal Rp 100 - Rp 250
ribu. Berapa puluh ribu calon mahasiswa yang mengikuti SMPTN? Berapa ribu
yang tidak diterima? Adakah uang mereka dikemballikan? Uang yang digunakan
membeli formulir itu, akhirnya menjadi sedekah bagi perguruan tinggi.
Padahal, kalau mau tahu, sekolah dan kampus, serta sarana lainnya, semua
dari pemerintah. Bukan sekolah dan universitas yang mengadakan, tetapi mereka
masih mengeruk uang dari rakyat. Gaji guru dan dosen, juga sudah dinaikkan, dan
anggaran pendidikan, sesuai dengan Konstitusi, sudah menjadi 20 persen dari
total APBN, yang jumlahnya Rp 1600 trilun.
Mengapa rakyat yang miskin masih susah mendapatkan pendidikan, dan hanya
menjadi objek sekolah dan universitas? Padahal, mereka hanya akan menjadi
calon-calon penganggur.
Bayangkan, lulusan fakultas yang paling favorit, di universitas paling
bergengsi, kalau bekerja dengan standar post graduate, gajinya hanya Rp
1.800.000. Itupun outsoursing. Tiga bulan dipecat oleh perusahaan, dan
perusahaan mencari pegawai baru, sampai tua.
Tapi, waktu mau sekolah dan kuliah dipersulit, dan biayanya setinggi
langit. Padahal mutunya biasa-biasa saja. Hidup di Indonesia itu, sepertinya
semua serba susah. Wallahu'alam.