Senin, 25 Juni 2012

Sekolah RSBI Bukan Tempat Siswa Miskin


Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Khairil Anwar, mengakui jika sekolah berpredikat Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) sulit memenuhi kuota siswa miskin. 


“Masalah sulit memenuhi kuota memang ada. Tetapi tidak di semua tempat. Ada yang bisa penuh, seperti Surabaya,” kata Khairil di Kompleks Parlemen Senayan, Mei lalu.

Khairil mengatakan, hingga saat ini Kementerian belum mengkaji secara mendalam apa yang membuat sekolah RSBI sulit memenuhi kuota siswa miskin. Ia menduga citra sekolah RSBI berbiaya tinggilah yang membuat siswa miskin takut untuk mendaftar. “Keburu takut duluan,” ujarnya.

Berdasarkan Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), setiap kabupaten dan kota di Indonesia diwajibkan memiliki minimal satu sekolah bertaraf internasional. Aturan itu berlaku bagi pendidikan di setiap jenjang, Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).

Hingga saat ini, kata Khairil, ada sekitar 1.300 sekolah RSBI di Indonesia. Kepada semua sekolah tersebut, pemerintah meminta mereka menyisakan 20 persen kursi bagi siswa miskin. Namun, pada praktiknya tak semua sekolah bisa memenuhi kuota itu.

RSBI itu sebenarnya hanya sekadar prestise, tidak ada  kaitannya dengan mutu pendidikan, dan hanya diperuntukkan bagi anak-anak orang kaya. Anak-anak orang miskin sangat mustahil akan dapat masuk Sekolah RSBI. RSBI tempat lahirnya diskriminasi sosial, dan ajang pemerasan.

Sekolah-sekolah RSBI itu, menyelenggarakan tes lebih dahulu, sebelum ujian nasional berlangsung. Mereka melakukan penjaringan siswa melalui tes yang diselenggarakan internal sekolah mereka masing-masing. Tetapi, kalau pun mereka lulus, hasil nilai ujian nasional kecil, mereka dapat tersingkir.

Tentu, yang paling masygul, Sekolah RSBI itu, konon memungut bayaran yang tidak sedikit. Antara Rp 10 - 20 juta, tiap siswa yang diterima. Orang tua murid, yang sudah mengikuti tes, harus menandatangani pernyataan diatas meterai, kesanggupan mereka membiayai pendidikan. Sehingga, tidak ada komplain, terutama bagi siswa yang diterima, tidak mampu membayar. Jadi berapa miliar uang yang masuk, kalau tiap sekolah menerima siswa antara 300-400?

Selain itu, di Jakarta, sekolah-sekolah yang menggunakan lebel RSBI itu, menggunakan standar nilai yang sangat tinggi, dan passing gradenya, yang paling rendah,  rata-rata 9. Kemudian, bagi orang tua anaknya, yang tidak diterima, secara diam-diam melakukan tawar menawar dengan pihak sekolah. Tentu, semua itu, dibalik layar. Walaupun sekarang sistem pendaftaran di Jakarta melalui online.

RSBI ini banyak diisi oleh anak-anak orang kaya, yang mereka usai sekolah di sebuah sekolah SMA, yang sudah menggunakan lebel RSBI itu, mereka umumnya melanjutkan sekolah di luar negeri. Karena, masuk perguruan tinggi negeri di Indonesia, jumlah kursinya sangat terbatas.

Sudah ada sejumlah kelompok masyarakat yang mengajukan gugatan kepada Mahkamah Konstitusi (MK), agar membatalkan yang namanya sekolah RSBI. Karena, hanya melahirkan pengelompokkan dalam masyarakat, dan sangat tidak manusiawi. RSBI dengan dalih mutu pendidikan, sekolah memungut uang yang sangat tinggi. Ini menyebabkan sekolah RSBI itu, hanya diperuntukkan bagi golongan orang kaya di Indonesia.

Sekolah dan perguruan tinggi di Indonesia benar-benar mencekik bagi orang miskin. Tidak mungkin orang miskin dapat melanjutkan sampai sekolah ke perguruan tinggi. Di perguruan tinggi negeri, lebih "gila" lagi  uang bayarannya, fakultas yang "ecek-ecek" saja, sekarang harus membayar uang masuk, minimal Rp 20 juta.

Ada orang tua tidak  mampu yang meminta keringanan, sudah membuat surat pernyataan miskin yang direkomendasi RT, RW, Kelurahan, sampai Kecamatan, rumah sudah di foto dari luar dan  dalam, sebagai orang miskin, tetap saja tidak  membuat fihak kampus menjadi iba. Mereka si miskin itu, harus membayar penuh.

Sekolah dan perguruan tinggi, hanyalah ajang pemerasan, yang sangat tidak manusiawi. Baru mendaftar mereka harus membeli formulir minimal Rp 100 - Rp 250 ribu. Berapa puluh ribu calon mahasiswa yang  mengikuti SMPTN? Berapa ribu yang tidak diterima? Adakah uang mereka dikemballikan? Uang yang digunakan membeli formulir itu, akhirnya menjadi sedekah bagi perguruan tinggi.

Padahal, kalau mau tahu, sekolah dan kampus, serta sarana lainnya, semua dari pemerintah. Bukan sekolah dan universitas yang mengadakan, tetapi mereka masih mengeruk uang dari rakyat. Gaji guru dan dosen, juga sudah dinaikkan, dan anggaran pendidikan, sesuai dengan Konstitusi, sudah menjadi 20 persen dari total APBN, yang jumlahnya Rp 1600 trilun.

Mengapa rakyat yang miskin masih susah mendapatkan pendidikan, dan hanya menjadi objek sekolah  dan universitas? Padahal, mereka hanya akan menjadi calon-calon penganggur.

Bayangkan, lulusan fakultas yang paling favorit, di universitas paling bergengsi, kalau bekerja dengan standar  post graduate, gajinya hanya Rp 1.800.000. Itupun outsoursing. Tiga bulan dipecat oleh perusahaan, dan perusahaan mencari pegawai baru, sampai tua.

Tapi, waktu mau sekolah dan kuliah dipersulit, dan biayanya setinggi langit. Padahal mutunya biasa-biasa saja. Hidup di Indonesia itu, sepertinya semua  serba susah. Wallahu'alam.