Selasa, 12 Juni 2012

Pemain bola di Palestina tetap berjihad dan menghafal al-Qur’an

Di tengah konflik berkepanjangan di Palestina ternyata para pemuda Muslimnya dapat menyempatkan diri untuk menikmati bermain sepak bola. Bahkan, ada yang menjadi prestasi hingga tingkat internasional. Pertanyaannya apakah permainan tersebut merusak prinsip Aqidah dan manhaj pemuda Palestina?


Alhamdulillah, redaksi arrahmah.com berkesempatan bertemu dengan Imam Masjid Gaza sekaligus dosen dari Universitas Islam Gaza, Syaikh Mahmud Hashem Anbar dan Syaikh Hani Rafiq Hameed Awwad. Keduanya akan menghadiri Konferensi Internasional Al Quds dan Palestina yang akan berlangsung di Bandung pada 4-5 Juli 2012.

Syaikh Hani menjelaskan, pada dasarnya Islam tidak melarang secara khusus bermain sepak bola, bahkan Islam mengajarkan bagaimana seorang Muslim yang kuat itu lebih baik daripada muslim yang lemah seperti dengan menganjurkan seorang Muslim berlatih berkuda, berenang, memanah, dan bergulat.

“Hanya saja kita perlu mengatur waktu, agar suatu olah raga tidak mengganggu hal yang lainnya,” kata dosen jurusan Hukum di Universitas Islam Gaza ini, Jakarta, Senin (11/6).

Lanjutnya, di Gaza sendiri masyarakat banyak yang menyukai olahraga, termasuk sepak bola. Namun aktifitas tersebut alhamdulillah tidak menggangu para pemuda untuk menjalankan kewajiban mereka menimba ilmu agama. Para pemuda di sana tetap menjadi penghafal al Qur’an dan terlibat dalam aktifitas perjuangan melawan Israel.

“Bahkan, salah seorang tawanan Palestina di penjara Israel adalah seorang pemain bola berprestasi, tetapi dia juga orang yang berribath (menjaga perbatasan dalam rangka berjihad), dia juga penghafal al-Qur’an,” papar Syaikh Hani.

Lebih dari itu, Palestina mempunyai dua orang pemain bola internasional yang berprestasi yaitu Ahmad Kaskas dan Mahmud Zirziq yang pernah bermain di Barcelona bersama Messi.

“Mereka ini adalah aktifis masjid dan hafal Qur’an 30 juz, Ahmad Kaskas saya sendiri yang mendidiknya ilmu agama di masjid,” ungkap Syaikh Hani.

Sementara itu , Syaikh Mahmud turut menjelaskan bahwa memang di dalam protokol Zionis disebutkan di dalamnya bahwa sepak bola harus menjadi alat untuk menyibukkan para pemuda, sehingga mereka lupa dengan agamanya.

“Namun, di Gaza kami sudah menyadarinya. Alhamdulillah hingga saat ini, di Gaza tidak terlalu mengkhawatirkan, karena di sana para pemuda tetap banyak memenuhi masjid untuk belajar agama dan menghafal al-Qur’an,” ujar dosen jurusan Tafsir dan Sunnah Universitas Islam Gaza ini.

Pria yang merupakan imam dan khatib Departemen Wakaf Gaza ini menjelaskan pula, perihal  pertandingan yang beberapa kali diadakan dengan Indonesia, menurutnya hal tersebut positif saja, sebagai penguat hubungan baik dengan Indonesia.

“Kekhawatiran anak-anak dan pemuda Palestina untuk meninggalkan ghiroh Jihad dan mengganti idolanya kepada pemain bola Insya Allah tidak terjadi. Karena kami terus mengawal mereka untuk mencintai para pejuang dan Syuhada,” jelas Syaikh Mahmud.