Lelaki itu tampak menikmati hidangan di depannya. Berpeci coklat, berjangut
lebat, bergamis, dengan celana cingkrang, ia duduk di sisi paling sudut di
sebuah Rumah Makan Aceh Harga Mahasiswa di pinggiran kota Jogja. Sendirian,
tanpa ditemanin siapapun. Sementara meja-meja lain diisi oleh beberapa remaja
dan pasangan kencan yang asyik bercengkrama dan melahap pesanan, sambil
sesekali memperhatikan tingkah lelaki muda dengan pakaian aneh itu.
Iapun tampak tak peduli dengan orang-orang di sekitarnya. Setelah
menghabiskan hidangan, ia asyik memencet-mencet sebuah HP hitam sederhana.
Mungkin sedang mengirimkan sms kepada seseorang? Televisi yang sedikit ribut
dengan raungan “Vuvuzela” pertandingan seru antara Nigeria melawan Yunani, tak
sedikitpun ia hiraukan.
Aku persis duduk di depan lelaki itu. Melahap nasi ikan Aceh, sambil
sesekali memperhatikan gerak-geriknya. Aku tahu persis siapa dia. Karena
seringkali ia sholat di Masjid asramaku. Pernah juga kami makan bareng, sewaktu
jama’ah dakwah dari Sumatera Barat, singgah di asramaku. Namun, aku heran
dengan orang-orang di sekelilingnya, yang tampak acuh tak acuh.
Beberapa paragraf di atas adalah potongan postingan sahabat Grelovejogja.
Lelaki itu bernama Salman Al Jugjawy.
Salman atau Sakti?
Seorang wartawan Majalah Hidayah sungguh sumringah saat di layar
telepon selular muncul nama Sakti. Sedari siang ia yang mencari seseorang yang
bernama Sakti di kota Bandung itu agak panik, karena telepon selular orang yang
dicarinya itu tak bisa dihubungi. Sehari sebelumnya ia bilang bahwa tengah
berada di daerah Ujung Berung Bandung, tapi setelah didatangi ternyata dia
sudah tidak ada.
“Assalamu’alaikum… Maaf Mas, sekarang saya udah pindah. Ada di masjid Jami
Al Ukhuwwah kompleks Bumi Panyileukan…,” begitu bunyi SMS-nya.
Sakti ternyata tengah mengikuti satu kegiatan dakwah dan tarbiyah sebuah
organisasi Islam bernama Jamaah Tabligh selama 40 hari. Kegiatan yang dinamai
khuruj itu mengharuskan pesertanya berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah
lain, dari satu masjid ke masjid lain, guna berdakwah dan melatih diri dalam
beribadah secara ikhlas kepada Allah. Sehari sebelumnya Sakti memang berada di
Ujung Berung, namun pada hari itu ia sudah berpindah ke Panyileukan yang
jaraknya tidak terlalu jauh.
Mengenakan gamis putih bergaris-garis, berkopiah dan bercelana hitam, ia
tampak tengah berwudhu bersama para jamaah yang lain. Dari kejauhan, Sakti
terlihat lebih kurus, namun wajahnya tampak bersih. Jenggot hitam lebat yang
memenuhi dagu dan sebagian pipinya tak mampu menyembunyikan wajah mudanya yang
tampan.
Selepas sholat Ashar, Sakti tampak bersalaman dengan imam sholat, ia lalu
beranjak ke pojok masjid mengambil buku Fadhilah Amal. Sesaat kemudian,
pria itu duduk menghadap jamaah dan mulai membacakan beberapa hadist dari buku
itu. Jamaah lain mendengarkan dengan seksama. Suara Sakti terdengar lancar
sekalipun volumenya terdengar perlahan.
Salman Al Jugjawy adalah nama salah satu mantan personil band papan atas
tahun 1999. Sakti Ari Seno nama aslinya kemudian menjadi Salman Al Jugjawy.
Bila mengingat Sakti pernah merajai panggung musik tanah air bersama Sheila on
7, pemandangan itu menghadirkan perasaan yang lain. Mengawali karier musik
lewat album Sheila on 7 (1999), yang dilanjutkan dua album lainnya yang
meledak di pasaran, Kisah Klasik Untuk Masa Depan (2000) dan Anugerah
Terindah yang Pernah Kumiliki (2000). Sakti bersama empat orang karibnya,
Erros, Duta, Adam dan Anton, adalah ikon penting musik tanah air saat itu.
Di setiap sudut negeri, lagu-lagu Sheila On 7 seperti Sephia, Jadikanlah
Aku Pacarmu, Dan, Anugerah Terindah yang Pernah Kumiliki, dan masih banyak
yang lainnya diperdengarkan dan dinyanyikan siapa saja. Kini pemandangan Sakti
yang seperti itu tentulah menghadirkan sebuah kontras karena orang lebih
mengenalnya sebagai pemain gitar yang kalem. Perannya menjadi warna sendiri di
panggung mendampingi permainan gitar Erros yang atraktif di setiap show Sheila.
Menurut Sakti, setiap profesi adalah sah saja hukumnya asal setiap orang
mengetahui apa kebutuhan Allah baginya.
“Artinya berprofesi sebagai seniman, dosen, dokter atau apa saja, selama
kita mengetahui apa kebutuhan Allah bagi kita, maka kita akan menjadi manusia
yang berbahagia di dunia dan akhirat. Seperti almarhum Gito Rollies , beliau
seniman tapi juga berusaha mengerti apa kebutuhan Allah bagi dirinya.” ujar
Sakti.
Sakti memetik cahaya hidayah di kota Adisucipto, Yogyakarta. Saat itu, ia
bersama Erros akan terbang ke Malaysia untuk menerima penghargaan musik di
negeri jiran itu. Saat menunggu pesawat, ia masuk ke sebuah toko buku. Matanya
tertumbuk pada sebuah buku berjudul “Menjemput Sakaratul Maut Bersama
Rasulullah”.
“Saat itu sedang musim kecelakaan pesawat. Hati jadi tidak menentu, kepikiran
bagaimana kalau pesawat yang saya tumpangi jatuh dan saya mati, bagaimana nanti
jadinya.” Ujarnya mengenang.
Buku itu lalu ia beli dan ia bawa kembali saat pulang. Di rumah,
perasaannya semakin trenyuh karena mendapati ibunya sedang sakit lantaran sebelah
paru-parunya mengecil. Pikirannya makin lekat pada kematian setelah seorang
bibinya yang datang menjenguk membawakan sebuah majalah keagamaan yang juga
bicara kematian.
Rentetan peristiwa itu membuat Sakti merasa diingatkan Allah tentang
kematian, hal yang dulu sama sekali tak pernah ia pikirkan.
“Kita semua akan mati. Masalah waktunya, kita tak pernah tahu,” ujarnya
pelan.
Ia seperti tersadar bahwa amal di dunia sangat menentukan kebahagiaan di
akhirat. Pikirannya semakin fokus pada kematian setelah dalam
pengajian-pengajian yang ia ikuti ia memperoleh pengetahuan betapa dahsyatnya
kepedihan akhirat, dan sebaliknya betapa indahnya kebahagiaan disana.
“Bila semua kesengsaraan di dunia ini dikumpulkan, entah itu sakit parah,
kecelakaan, tangan putus, tsunami dan sebagainya, tidak ada artinya jika
dibandingkan kesengsaraan di akhirat yang paling ringan sekalipun, bagai
setitik air di lautan. Begitu juga sebaliknya, jika semua kebahagiaan di dunia
dikumpulkan, tak ada artinya jika dibandingkan dengan kebahagiaan yang ada di
surga Allah,” ujarnya serius.
Hal itu menjadi motor dalam dirinya untuk terus belajar agama. Ia juga
mulai tahu bahwa amal itu tak hanya untuk diri, tapi juga untuk orang lain.
Karenanya, ia ingin total masuk ke dalam agama Allah yang rahmat ini, hingga
seluruh bagian dirinya termasuk di dalamnya. Sakti mengibaratkan itu seperti
masuk ke dalam mobil.
“Kan tidak mungkin tubuh kita sudah masuk mobil tapi kaki kita tertinggal.”
Dengan segala kekuatan hati itu, bisa dimengerti mengapa Sakti sampai mau
melepaskan posisinya sebagai anggota Sheila on 7, posisi yang diimpikan jutaan
anak muda di Indonesia. Menjadi bisa dimengerti pula mengapa Sakti sampai mau
berkeliling dari masjid ke masjid untuk berdakwah.
Keutuhan Islam itu yang kini ia kejar dengan segiat mungkin belajar dan
beribadah. Ia sempat belajar di beberapa pengajian dari berbagai aliran Islam
yang ada. Tapi hatinya kemudian merasa cocok dengan Jamaah Tabligh.
Kepergiannya ke Pakistan tahun 2006 lalu untuk belajar agama yang banyak diberitakan
media sebagai alasan ia keluar dari Sheila, ternyata tak lain untuk mengejar
keutuhan itu.
“Saya ke India, Pakistan dan Baghdad, disana saya melihat bagaimana agama
dijalankan dengan sebenar-benarnya. Dari situ saya tahu ada hak tetangga dalam
diri kita, ada ajaran kasih sayang pada sesama.” ujarnya sambil menceritakan
bagaimana ia bertemu dengan muslim dari segala bangsa disana.
Sakti sempat ditanya seorang ustadz saat di Pakistan. Bagaimana perasaannya
jika melihat orang dekat, keluarga, dan lain sebagainya jauh dari agama Allah?
Bagimana rasa kasih sayang itu harus diwujudkan dalam konteks ini? Bagimana
rahmat bagi seluruh alam yang menjadi salah satu tagline agama ini dapat
diperankan? Bagaimana perasaan cinta Nabi kepada Allah yang ditransfer kepada
umatnya dapat pula ditransfer kepada orang di sekeliling kita?
Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi kesan tersendiri di hatinya untuk semakin
kukuh di jalan dakwah.
Jalan Menuju Kekasih Allah
Hubungan karib dengan teman dan para penggemar memembuat dua pihak inilah
yang paling dulu mengerti dengan jalan hidup yang ditempuh Sakti sekarang.
Sementara pihak keluarga sebelumnya agak sulit mengerti, tapi kemudian bisa
memaklumi. Dari penggemarnya, Sakti bahkan menerima buku-buku agama yang
dikirim khusus untuknya.
Sampai saat ini, Sakti mengaku masih sering bersilaturahmi dengan
teman-temannya di Sheila. Di milis Sheila gank milik para penggemar Sheila,
nama Sakti juga masih sering disebut. Sekalipun frekuensi pertemuan sudah mulai
berkurang, Sakti mengaku masih saling berpaut hati dengan teman-temannya yang
sama-sama merintis karier dari Yogyakarta itu.
“Dalam doa, saya selalu menyebut teman-teman agar mereka bisa di dekatkan
dengan Allah,” ujarnya.
beberapa kali Sakti tercatat menjadi bintang tamu konser Sheila.
Diantaranya saat konser di sebuah konser 1000 Gitar yang diadakan di Yogyakarta
tahun lalu. Acara yang melibatkan beberapa gitaris ternama tanah air itu antara
lain Ian Antono (God Bless), Eet Sjahranie (Edan) dan Teguh (Coconut Treez)
itu, turut dimeriahkan Sakti yang menjadi tamu misterius berduet dengan Erros
membawakan lagu Little Wings milik Jimi Hendrix. Sakti tampil dengan
menggunakan baju muslim yang sudah jadi pakaiannya sehari-hari.
Lalu seberapa bahagia Sakti sekarang? Ia hanya tersenyum seraya mengucap
tahmid. Menurutnya, mengutip perkataan seorang ulama yang pernah didengarnya,
semakin kita mengenal makhluk, semakin kita mengenal Allah, semakin kita tahu
kesempurnaan-Nya dan siapa saja yang semakin tahu kesempurnaan Allah, maka ia
akan tenang dan bahagia.
“Dulu saya tak tahu dimana harus bersandar bila ada masalah, saya juga tak
tahu apa sebenarnya tujuan hidup ini. Tapi setelah diberi kesempatan semakin
mengenal Allah, kita sadar bahwa Dia Maha pengasih, Maha Penyayang semua
makhluk, Maha penjawab setiap doa, kita jadi tahu bahwa Dialah tempat bersandar
yang paling tepat”, ujarnya pasti.
Dalam hidup, menurutnya manusia mengejar rasa. Ketika seseorang ingin punya
mobil, kemudian mendapatkannya, ia pun ingin merasakan merk mobil yang lain. Begitu
pula dalam hal-hal lain. Tapi jika rasa itu diarahkan sepenuhnya kepada Allah,
maka ketenangan dan kejernihanlah yang diraihnya.
“Kata teman saya, ibarat antena bagi televisi. Bila kita benar mengarahkan
antena ke satelit, maka siaran akan jernih, dan sebaliknya, jika arahnya tak
benar maka gambar akan buram. Seperti itu juga kita, apapun kegiatan kita, jika
itu sepenuhnya mengarah kepada Allah maka hati kita akan jernih, dan jika sudah
berpaling maka hati akan menjadi kotor,” ujarnya lagi.
Bagi Sakti, ketenangan itu adalah fitrah yang dicari semua orang di dunia.
Tak ada jalan lain meraih itu selain mendekatkan diri kepada Allah, karena
Dialah sumber kebahagiaan. Dan pendekatan itu harus dibuktikan dengan amal,
harus dicicipi oleh pribadi-pribadi yang memang menginginkan itu.
Untuk menghidupi keluarganya, Sakti membuka sebuah minimarket dan jasa
Laundry. Baginya itu sudah cukup, sekalipun jika dibandingkan dengan uang yang
ia peroleh semasa menjadi artis tentulah tak seberapa. Jalan hidupnya saat ini
adalah sebuah ketentuan-Nya yang ingin selalu istiqomah ia jalani.
“Selalu akan ada ujian dan friksi, tapi bagi saya itu adalah jalan agar
saya selalu istiqomah. Ini sudah takdir. Jika dulu saya sering pegang gitar
sekarang jadi sering pegang tasbih.” ujarnya sambil tersenyum.
Tak ada harapan di hatinya selain bisa terus lebih dekat dengan-Nya.
Harapan yang juga pernah dipesankan oleh seorang penggemar kepadanya.