Papua—dahulu disebut Irian Barat dan Irian Jaya—kembali bergejolak.
Peristiwa kekerasan berupa penembakan pada rakyat sipil maupun aparat keamanan
terjadi berturut-turut. Insiden Penembakan Misterius (Petrus) tahun 2012
meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Berdasarkan catatan KontraS,
tahun 2011 terjadi 13 peristiwa, satu peristiwa terjadi tahun 2010 dan 12
peristiwa tahun 2009. Pada tahun 2012, terhitung dari Januari sampai 11 Juni
2012, telah terjadi 17 peristiwa penembakan yang mengakibatkan setidaknya 7
warga sipil, satu jurnalis meninggal dan 10 orang mengalami luka kritis,
termasuk warga negara asing Jerman Dietman Pieper. [1]
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Ansyaad Mbai
memastikan tindakan kekacauan di Papua secara objektif dinilai sebagai aksi
teror. Meski demikian, ia menegaskan teror tersebut tak terkait dengan
terorisme internasional seperti yang dihadapi dunia saat ini. Dikatakan
Ansyaad, teror di Papua tidak bisa digeneralisasi, karena berbeda alasan
di antar-daerah. [2]
Isu Papua merupakan isu yang mendunia. Peristiwa pelanggaran HAM yang
dilakukan anggota TNI, kerusuhan pekerja PT Freeport, peperangan antar suku,
bahkan sentimen agama sering mewarnai Papua. Tak ayal perhatian dunia tertuju
kepada Papua. Isu tersebut sengaja dipelihara yang sewaktu-waktu digunakan
untuk menghantam ketidakadilan pemerintah Indonesia. Seharusnya pemerintah
Indonesia juga berkaca pada semua pertiwa yang terjadi.
Mengingat Papua, bumi yang kaya sumber daya alam, sementara sumber daya
manusia masih di bawah rata-rata. Kemiskinan dan keterbelakangan kerap menerpa
penduduk Papua. Terutama penduduk asli di Papua. Maka jelas sistem demokrasi
yang selama ini didengungkan dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat tidak
berlaku. Demokrasi tidak dapat mengikatkan dan mempersatukan rakyat. Karena
demokrasi merupakan sistem yang rapuh.
Internasionalisasi isu Papua bahkan sudah lama terjadi. Baru-baru ini isu
Papua merdeka dijadikan pidato calon Perdana Mentri Papua New Guinea (PNG)
yaitu Powes Parkop. Ketika Pidato, Powes berjanji akan mendukung perjuangan
Free West Papua. Bahwa dalam kampanye untuk pemilihan Perdana Mentri di PNG
tahun 2012 nanti, ia akan lebih berfokus pada masalah-masalah yang dihadapi
bangsa Melanesia (termasuk di Papua Barat). Ia meminta kepada seluruh lapisan
masyarakat untuk mendukung semua perjuangan OPM yang ada di seluruh kepulauan
Pasific.[3] Powes juga hadir di Canberra, Australia 28 Pebruari 2012 dalam
acara peluncuran Kaukus Parlemen se-Asia Pasifik (IPWP) untuk mendukung gerakan
separatis Papua.
Jika diamati secara mendalam maka ada beberapa poin penting terkait upaya
disintegrasi Papua dari Indonesia. Setidaknya ada beberapa hal penting.
Pertama, runtutan sejarah Papua. Kedua, tokoh, organisasi dalam negeri maupun
luar negeri yang mendukung disintegrasi. Ketiga, motif ekonomi-politik.
Keempat, sentimen keagamaan.
Pertama
Awal kali Indonesia merdeka Papua belum masuk ke dalam wilayah NKRI.
Indonesia dan Papua sama-sama dijajah Belanda. Akhirnya Papua resmi masuk menjadi
bagian Indonesia pada tahun 1969. Perbedaan sejarah ini kerap digunakan alasan
untuk menggugat penentuan pendapat rakyat (Pepera).
Adapun ketika Papua resmi menjadi bagian Indonesia sering diperdebatkan
dalam Majelis Sidang PBB. Beberapa anggota tidak setuju dengan hasil Pepera.
Mereka menilai hasil Pepera merupakan rekayasa pemerintah Indonesia. Di samping
itu, rakyat Papua melalui pemimpin mereka sejak awal telah menyampaikan
pernyataan politik untuk menolak menjadi bagian NKRI.
Kedua
Ketidakseriusan pemerintah untuk mengurusi Papua dimanfaatkan beberapa
orang untuk mendukung disintegrasi. Hal ini sebagaimana yang disampaikan Ulil
Abshar Abdalla. Ulil melalui akun twitter menulis beberapa pernyataan untuk
mendukung pembebasan Papua. Berikut beberapa kutipannya:
“Apakah kita masih harus mempertahankan Papua? Bagaimana kalau
dilepaskan saja? Rumit!”
“Saya dulu jg berpikir, Papua harus dipertahankan dg harga apapun. Tp saya merasa pikiran saya itu kok naif,” sambung Ulil.
“Saya dulu jg berpikir, Papua harus dipertahankan dg harga apapun. Tp saya merasa pikiran saya itu kok naif,” sambung Ulil.
Mengapa Papua sebaiknya dimerdekakan, Ulil beralasan: “Biaya mempertahankan
Papua mahal sekali. Sudah begitu, apapun yg diperbuat pemerintah pusat, akan
dianggap salah terus. Capek!”
Penrnyataan sumir Ulil yang juga pentolan JIL menunjukan keseungguhannya untuk meliberalkan Islam. Padahal dalam Islam tidak boleh ada sejengkal pun wilayah yang berpisah. Pernyataan itu juga menunjukan pengkhianatan kepada umat. Mengingat JIL sering menolak wacana negara Islam. Mereka begitu membenci jika diterapkan syariah di Indonesia. Mereka berpendapat jika syariah diterpakan wilayah yang lain akan memisahkan diri. Lalu, kenapa sekarang mereka menyatakan dan membiarkan Papua bebas ? Sungguh tidak adil dan menunjukan kekalahan intelektual.
Selain Ulil pun masih banyak individu yang mendukung Papua merdeka. Sebagai
contoh, 25 Oktober 2005, Direktur Lembaga Studi dan Advokasi HAM (ELSHAM)
Papua, John Rumbiak menandatangani MoU dengan greg Sword. Inti dari MoU berupa
dukungan kepada setiap gerakan separatis. Pihak Internasional seperti calon PM
Papua New Guineia juga menggunakan isu Papua merdeka sebagai kampanye.
Tidak cukup perorangan. Organisasi atau kelompok, baik dalam maupun luar
negeri kerap menjadikan isu Papua merdeka sebagai bagian dukungan. Selain itu
untuk upaya pembebasan diri dari Indonesia bagi organisasi atau kelompok yang
selama ini menginginkannya. Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan Komite Nasional
Papua Barat (KNPB) merupakan dua contoh kelompok yang fokus pada pembebasan
Papua. Mereka juga menggunakan dengan persenjataan. Tindakan yang mereka
lakukan berupa separatis. Anehnya pemerintah Indonesia tidak bisa menghilangkan
gerakan ini. Walaupun beberapa kali kerap dilakukan operasi
pembersihan.
Organisasi Internasional tak kalah banyaknya. Bahkan 11 Maret 2012 ada
Festival Womadelaide di Adelaide, Australia. Pada festival itu pameran Free
West Papua di stand khusus yang dikoordinir oleh Australia West Papua
Asocciation (AWPA). Ada juga konser. Konser yang dihadiri ribuan orang, bintang
kejora dibentangkan dan yel-yel Papua Merdeka dilakukan dalam konser salah satu
grup musisi terkenal di Australia, Blue King Brown. [4]
Ada juga Internastional Lawyers for West Papua (ILWP) yang mengadakan
konferensi dan kampanye Papua merdeka pada 2 Agustus 2011. Bertempat di Oxford
Inggris. Dukungan dari lembaga asing terutama pengamat Papua baik di Inggris,
Australia, New Zealand, dan Amerika makin kental dengan penjajahan asing yang
ingin mengerat-erat Indonesia. Lebih dari itu, mereka bersatu untuk satu
kepentingan yaitu kebebasan atas nama HAM dan menentukan hidup. Anehnya, ada
juga antek di negeri sendiri (Indonesia) yang satu nada dengan mereka. Sungguh
memalukan.
Ketiga
Papua merupakan wilayah potensi untuk ekonomi. Sumber Daya Alam (SDA)
begitu melimpah. Sebut saja emas, timah, dan tembaga. Kekayaan hayati juga
terbentang luas di perairan lautnya. Disamping itu baru-baru ini, ditemukan
sebuah gua yang diklaim sebagai gua terdalam di dunia oleh tim ekspedisi
speologi Perancis di kawasan Pegunungan Lina, Kampung Irameba, Distrik Anggi, Kabupaten
Manokwari. Gua ini diperkirakan mencapai kedalaman 2000 meter. Kawasan
pegunungan di Papua Barat masih menyimpan misteri kekayaan alam yang perlu
diungkap. Tidak hanya itu, pertanian, pariwisata, dan hasil hutan juga menjadi
potensi Papua [5]. Sungguh kekayaan ini seharusnya menjadikan Papua daerah yang
makmur. Alih-alih makmur, justru rakyat Papua gigit jari. Kekayaan alam dan
potensi wilayahnya dimanfaatkan oleh kapitalis asing. Misalnya PT Freeport yang
mengeruk emas dan Arab Saudi yang menggarap pertaniannya. China juga berhasrat
untuk membangun lapangan terbang dan pelabuhan.
Akibat sering timbul konflik di Papua. Pemerintah Indonesia memberikan
otonomi khusus (otsus). Otonomi ini diberikan sebagaimana Aceh atau daerah yang
rawan konflik dan separatis. Hal ini dimaksudkan agar daerah tidak melepaskan
diri. Dibalik pemberian otsus ternyata ada penyelewengan dana dari pusat yang
turun ke daerah. Dana yang ada sering dijadikan lahan basah korupsi.
Pertengahan April 2011 Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan dugaan
penyelewengan dana Otsus Papua sebesar Rp 1,85 triliyun. Dana tersebut bahkan
mandeg dan didepositokan ke bank nasional dan swasta.
Ketidak-amanahan penguasa di Papua dan lemahnya pemahaman politik rakyat.
Akhirnya warga asli Papua dimanfaatkan untuk kepentingan kelompok tertentu.
Ibaratkan mengail di air keruh. Dukungan sering ditunjukkan oleh kapitalis
asing yang bercokol di Papua dan para misionaris kristen yang beroperasi di
pedalaman. Lagi-lagi rakyat Papua dijadikan tumbal karena keserakahan sebagian
orang untuk meraup keuntungan sesaat.
Perhatian pemerintah yang tidak serius dalam memberikan keamanan, jaminan
kesejahteraan, dan keadilan. Mengakibatkan tekanan politik yang dilakukan asing
kian gencar. Politik luar negeri Indonesia sendiri bukanlah politik yang
berdaulat. AS telah memberikan ruang gerak kepada para aktivis pendukung Papua
merdeka (pro-M) seperti Herman Wainggai yang saat ini telah menetap di AS.
Padahal AS terkenal dengan negara superketat terkait kedatangan orang asing. AS
juga berkolaborasi dengan Inggris, Belanda dan Australia.
Hillary Clinton (Menlu AS) yang pada November tahun lalu di Hawai
(sebagaimana dilansir AFP 11/11/2011) mengatakan bahwa Pemerintah AS telah
khawatir atas kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua, sehingga pihaknya akan
mendorong adanya dialog dan reformasi politik berkelanjutan guna
memenuhi kebutuhan legal rakyat Papua ?[6]
Sesungguhnya sikap politik luar negeri sering bermuka dua. Sebagaimana di
Papua. AS bekerja sama dengan Australia untuk mengontrol separatis. Selain itu
juga untuk melindungi kepentingan AS seperti Freeport. Pangkalan militer AS
juga sudah dibangun di Darwin Australia. Jika ada yang mempersoalkan aset AS di
Papua, barulah AS berulah. Tidak jadi persoalan Bagi AS Papua akan merdeka atau
tidak. Bagi AS yang penting bisa ‘cari makan’ dan ‘cari aman’ di Papua untuk
menjaga kepentingannya.
Keempat
Sentimen agama kerap dijadikan isu. “Vatikan sering kali mendapatkan
informasi lebih akurat melalui laporan gereja-gerejanya di Papua, ketimbang
intelijen Indonesia, bahkan lebih baik dari CIA sekalipun. Karena pendeta dan
gereja melakukan pendekatan yang berbeda, tidak seperti intelijen kebanyakan,”
jelas Hariyadi Wirawan ketika dihubungi itoday, Senin (20/2).[7] Itulah
sebabnya, Vatikan sering kali mendapatkan data yang tidak di dapat oleh
intelijen, dan mengajukan protes terhadap kebijakan Pemerintah Indonesia yang
dianggap melanggar HAM di Papua.
Bahkan Pendeta Socrates sesumbar siap memimpin Papua. Menurutnya tidak
pernah orang Papua diterima sebagai bagian dari rakyat Indonesia. Warga Papua
dianggap sebagai binatang. Saya tidak jamin, warga Papua masih menginginkan
jadi bagian Indonesia. Lihat saja, bagaimana orang Papua ditembak atau
dibunuh," tegas Ketua Gereja Baptis Papua, Pendeta Socrates Sofyan Yoman
kepada itoday (18/6).
Menurut Socrates aparat keamanan telah gagal melindungi rakyat Papua.
Bahkan aparat keamanan telah menjadi bagian dari kekerasan terhadap rakyat
Papua. "Bagaimana tidak, orang Papua ditembak, dibunuh. Itu akan
menyebabkan kebencian rakyat Papua terhadap pemerintah Indonesia. Siapapun yang
diganggu akan melawan. Ini manusia," tegas
Socrates.
Socrates mengingatkan, jika pemerintah Indonesia tetap menggunakan
kekerasan, rakyat Papua siap untuk merdeka. "Kami selalu siap mendirikan
negara Papua. Kami akan urus kemanusiaan dan keadilan. Soal keinginan untuk
merdeka itu karena kebijakan yang tidak berpihak kepada manusia," tegas
Socrates.
Secara khusus, Socrates mengapresiasi pernyataan politisi Partai Demokrat
Ulil Abshar Abdalla yang mengusulkan pelepasan Papua, dengan pertimbangan
tingginya biaya mempertahankan Papua. "Itu menunjukkan Ulil punya mata
hati, dan mata iman. Itu orang cerdas, hati nuraninya berfungsi, pikiran sudah
normal terhadap penderitaan warga papua," pungkas Pendeta Socrates Sofyan
Yoman.[8]
Analisis Akar Masalah
Persoalan Papua tidak sekadar dipandang hanya separitis. Lebih dari itu
Papua dijadikanmedan perebutan dalam hal ekonomi, politik, dan geografis.
Indonesia sebagai pemilik sah Papua digugat baik dari dalam negeri maupun luar
negeri. Pihak dalam negeri berupa separatis dan pejabat yang korup. Adapun dari
luar negeri tekanan politik yang mengatasnamakan HAM, kebebasan, dan demokrasi.
Asing menggunakan isu Papua sebagai bentuk penjajahan kepada Indonesia. Maka
Papua bergejolak Indonesia terkoyak.
Separatis muncul merupakan bukti bahwa negara gagal melindungi dan
menyejahterakan rakyat. Kegagalan itu akibat negara kalah sejak awal dengan
menyerahkan kekayaan alam kepada asing. Kegagalan dalam memberikan kemakmuran,
pendidikan, kesejahteraan dijadikan alasan untuk membangkang. Hal ini pun
dimanfaatkan orang asli papua yang mereka termasuk jutawan untuk menyuap rakyat
Papua. Tujuannya rakyat diberikan uang agar muncul protes terhadap pemerintah.
Sungguh ironis, keterbelakangan rakyat Papua dimanfaatkan untuk perbuatan
separatis. Selain itu pula karena kemiskinan yang mereka alami. Mereka menerima
saja dana itu. Apalagi dananya dari orang Papua asli. Sementara itu rakyat juga
dalam kondisi miskin.
Pengawasan yang lemah oleh negara kepada setiap orang asing maupun
kelompok. Berhasil dimanfaatkan misionaris kristen yang memang bekerja sama
dengan kapitalis asing untuk menyebarkan virus separatis. Misionaris
menghembuskan ide-ide pemisahan dari Indonesia. Hal ini sama seperti yang
terjadi pada kasus terpecahnya negeri-negeri Islam dari wilyah Khilafah.
Misionaris Kristen yang datang ke negeri-negeri Islam menghembuskan ide
nasionalisme dan menganggap Khilafah tidak peduli kepada mereka.
Oleh karena itu, semakin jelas persoalan utama di Papua. Kompleksitas
persoalannya dimanfaatkan berbagai pihak yang menginginkan Papua baik
kekayaaannya maupun wilayahnya yang strategis. Maka yang dirugikan adalah
rakyat Papua sebagai pemilik sah wilyahnya. Sungguh malang nasibnya. Ibaratkan
jatuh tertimpa tangga. Wajah melompong dan ketidaktahuan akan persoalan jadikan
tambah sengsara.
Maka jelas sekali, demokrasi berbungkus kapitalis-sekular-liberalis
membuahkan persoalan sistemik. Tidak hanya di Papua, bahkan wilayah lainnya
bisa saja terjadi. Karena semua bisa didesain. Mengingat penjajahan global
semakin mencengkram di negeri-negeri Islam. Bisa berbentuk perorangan dan
organisasi. Yang lebih menakutkan adalah penjajahan yang dilakukan negara
adidaya yang tak puas dengan kehidupan dunianya. Karena kapitalisme yang mereka
emban membutuhkan penjajahan untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya. Sungguh
tidak ada pilihan lain lagi kecuali memilih sistem Islam. Islam tidak hanya
menjaga Papua tapi juga akan menggembalikan negeri-negeri islam ke dalam
pangkuan Khilafah. Khilafahlah yang akan mengusir perusuh dan penjajah.
Islam Menyatukan Semua
Islam mengharamkan terjadinya perpecahan wilayah. Islam telah terbukti
menyatukan berbagai etnis bangsa, suku, budaya, dan bahasa. Keberagaman ini
menunjukan jika Islam rahmat bagi seluruh alam. Warga negara dalam Khilafah ada
dua: muslim dan non-muslim. Jadi tidak ada kata penolakan ketika nanti Papua
diatur syariat Islam. Rentang sejarah membuktikan jika agama yang awal masuk ke
Papua adalah Islam. Papau juga dekat dengan kerajaan Islam.
Islam juga menetapkan bahwa mati untuk membela harta, termasuk wilayah kaum
muslim adalah mati syahid. Ini dinyatakan dalam hadits Nabi SAW :
“Man qutila duna malihi fahuwa syahid”
Siapa saja yang terbunuh karena membela hartanya, maka dia mati syahid (HR.Muslim)
“Man qutila duna malihi fahuwa syahid”
Siapa saja yang terbunuh karena membela hartanya, maka dia mati syahid (HR.Muslim)
Islam memandang separatisme atau upaya pemisahan dari negeri kaum muslim adalah dosa besar. Hal itu jika dilakukan oleh umat Islam. Adapun bagi non muslim merupakan tindakan kriminal. Jika orang-orang non muslim yang melakukan separatisme maka pertama-tama mereka kehilangan dzimmah. Mereka bisa diusir dari negeri kaum muslim sebagaimana yang dilakukan nabi terhadap Yahudi Bani Qainuqa’ yang diusir dari Madinah. Mereka juga diusir dan diperangi, sebagaimana tindakan nabi terhadap bani an-Nadhir dan bani Quraidhah. Dengan kata lain bisa diselesaikan dengan taruhan hidup dan mati.
Untuk mengatasi separatisme tidak harus dengan kekerasan militer. Pertama
yang dilakukan persuasif dan dialog konstruktif. Pendekatan pertama ditempuh dengan
politik. Negara menjelaskan hukum larangan memisahkan diri atau separatisme,
khususnya kepada kaum muslim, serta konsekuensi sanksi yang akan mereka hadapi.
Adapun bagi non-muslim yang merupakan nota bene ahlul dzimmah, maka dijelaskan
konsekuensi yang akan mereka terima. Mulai dari hilangnya dzimmah, pengusiran
hingga diperangi. Jalan militer merupakan jalan terakhir jika upaya persuasif
tidak berhasil.
Selain penjelasan tersebut, kepada mereka—baik muslim maupun non
muslim—harus dibongkar rencana busuk di belakang gerakan separatisme. Termasuk
kepentingan kaum kafir penjajah yang hendak menjajah dengan disertai bukti dan
sejarah. Kasus lepasnya negara Balkan dan Syam dari Khilafah Islamiyah,
lepasnya Timor-Timor dari Indonesia, dan lepasnya Sudan Selatan dari Sudan
hendaknya jadi pelajaran. Pelajaran ini berharga bagi bangsa manapun khususnya
umat Islam agar tidak sejengkal pun wilayah Islam berlepas.
Jika Papua tetap ngotot berpisah, maka Papua menjadi negara yang kecil.
Maka sangat mudah negara-negara kafir siap mengangkangi dan menjajah, mengeruk,
dan menindas rakyat Papua. Lagi-lagi rakyat jadi korban. Lihatlah Timor-Timor,
Sudan Selatan, setelah berpecah yang terjadi penjajah begitu mudah masuk dan
menjadikan jajahan baru.
Sungguh tidak ada pilihan lain bagi Indonesia untuk mengambil sistem dari
Islam. mengambil demokrasi, kapitalisme, dan liberalisme merupakan bunuh diri.
Lagi-lagi umat ditipu. Alih-alih menyelamatkan Papua, yang terjadi justru Papua
lari dari Indonesia. Karena selama ini mereka belum merasa dirawat dengan baik.
Inilah relevansi penerapan Syariah dalam bingkai Khilafah. Khilafah akan
menjadikan wilayah negeri Islam menjadi luas dan global. Sehingga orang-orang
kafir dan musuh Islam akan lari tunggang langgang dan hengkang dari wilayah
negeri Islam. Syariah dan Khilafah: harga mati.
Rujukan
[1] Laporan Kontras Pemantauan Penembakan Misterius Januari-Juni 2012.
[2] www.sinarharapan.com
[3] www.melanesianews.blogspot.com
[4] Kampanye Papua Merdeka di Festival Womadelaide 2012.www.centraldemokrasi.com
[5] www.id.wikipedia.com
[6] www.hankam.kompasiana.com
[7] Di Papua, Intel Indonesia Kalah Kelas Dari "Intel Vatikan".www.itoday.co.id
[8] Pendeta Socrates SY: Kami Siap Dirikan Negara Papua. www.itoday.co.id