Kalangan pengusung liberalisme memang tidak pernah
tinggal diam melihat ghirah gerakan-gerakan Islam yang mulai gencar memurnikan
akidah. Hal itu terbukti dari sikap islamophobia ditunjukkan oleh pihak
rektorat IAIN Sunan Ampel Surabaya. Sebuah kelompok diskusi mahasiswa (liqa’)
yang digelar pada 31 Mei lalu dibubarkan dengan paksa. Hal ini juga menunjukkan
sikap inkonsistensi mereka dalam menggulirkan isu toleransi untuk menyikapi
perbedaan.
Diskusi dwi-mingguan yang diadakan oleh Gerakan Mahasiswa (GEMA) Pembebasan
dengan jumlah peserta 16 mahasiswa tersebut, didatangi oleh kurang lebih 25
anggota DEMA (Dewan Mahasiswa) dan salah seorang pihak rektorat. Dua perwakilan
kelompok diskusi, Hari Subagyo dan Ahsan Hakim menemui mereka untuk berdialog.
Tetapi upaya itu gagal dan diskusi pun dibubarkan. Bahkan saat itu hampir
terjadi aksi pemukulan terhadap dua perwakilan kelompok diskusi tersebut dengan
kursi, namun berhasil dicegah.
Hal ini kemudian ditanggapi oleh pengurus HTI (Hizbut Tahrir) DPD Surabaya
dan TPM (Tim Pengacara Muslim) untuk datang bertabayyun mengenai peristiwa
tersebut kepada Rektor IAIN Sunan Ampel Surabaya, Prof. Dr. Abd. A’la, MA.
Dan telah dibenarkan, bahwa aturan kampus telah melarang semua aktivitas
baik diskusi, demonstrasi, maupun membagikan selebaran oleh organisasi
mahasiswa yang dianggap bertentangan dengan ideologi Pancasila. Adapun
pihak-pihak yang dimaksud bertentangan dengan Pancasila seperti GEMA
Pembebasan, KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) dan Hizbut Tahrir
Indonesia.
Hal ini sangat menandakan sikap intoleransi, diskriminasi dan anti-dialog,
yang dilakukan oleh tokoh-tokoh pendukung liberalisme. Sama sekali tidak
mencerminkan sebagaimana sikap toleransi dan pembelaan mereka terhadap
pemikiran-pemikiran Barat seperti sekularisme, liberalisme dan
kelompok-kelompok yang menyimpang dalam Islam.