Irlandia, 1876. Sandford Fleming telah
mengantongi tiket kereta untuk satu perjalanan yang dirancangnya. Agen
perjalananannya telah mengatur jadwal keberangkatan mengasyikkan, pukul 5.35 malam
waktu setempat.
Insinyur Kanada itu pun telah hadir di
stasiun menjelang waktu keberangkatan. Tapi, sial. Kereta rupanya telah
berangkat 12 jam sebelumnya, pada pukul 5.35 pagi. Fleming pun bingung. Standar
waktu dunia saat itu memang amburadul. Kisah itu diungkap dalam buku Time Lord: Sir Sandford Fleming and the
Creation of Standard Time.
Pengalaman buruk itu lalu membuat
Fleming berpikir: bumi satu, mestinya pembagian waktu bisa diatur bersama. Dia
lalu membagi waktu berdasarkan rotasi bumi 24 jam. Bumi bulat dihitung 360
derajat, dan lalu dibagi dalam 24 zona waktu.
Titik nol atau toloknya berasal dari
Greenwich, di bujur 0 derajat. Ini berarti, waktu di tiap garis bujur selebar
15 derajat dapat berbeda satu jam lebih lambat, atau lebih cepat dari
Greenwich.
Setelah perdebatan panjang, di hadapan
para pemimpin dari penjuru dunia di Konferensi Meridian Internasional, inovasi
pembagian waktu dunia karya Fleming pun diterima. Sejak 1884 dunia memakainya.
Tak terkecuali Indonesia.
Berdasarkan Greenwich Mean Time (GMT)
pula, Indonesia kini menetapkan tiga zona waktu. Untuk bagian barat GMT +7,
GMT+8 untuk wilayah tengah, dan GMT+9 bagi Indonesia bagian timur. Begitulah
keputusan pemerintah, dan warga menyusun irama hidupnya setiap hari berdasarkan
zona waktu itu.
Tapi, ada satu ide menyentak pekan lalu:
bagaimana kalau tiga zona waktu itu dihapus, dan Indonesia hanya punya satu
standar waktu saja, di GMT +8? Usulan itu datang dari Komite Percepatan dan
Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (KP3EI), pada 9 Maret 2012.
Apa pertimbangannya? "Kami ingin
memeluk orang-orang agar sama. Bangun sama-sama, tidur juga sama-sama
(waktunya)," ujar Deputi Menko Perekonomian Bidang Infrastruktur dan
Pengembangan Wilayah Lucky Eko Wuryanto kepada VIVAnews.
Hanya itu saja?
Alasan ekonomi
Tentu, kata Lucky, alasan utama untuk penyatuan waktu
adalah ekonomi. Dia menunjuk usulan Sekretariat KP3EI berjudul GMT+8 For Stronger and Competitive
Indonesia, yang menguji
penerapan pembagian tiga zona waktu Indonesia dan dampaknya bagi sejumlah
sektor.
Menurut studi lembaga itu, di bidang
birokrasi misalnya, ternyata waktu efektif kegiatan pemerintahan dalam sehari
hanya 180 menit atau 3 jam saja. Padahal, jam kerja tersedia dalam satu hari
adalah 480 menit (8 jam).
Ilustrasinya begini. Pegawai di wilayah
timur Indonesia baru efektif bekerja pada pukul 10.00 WIT. Soalnya, mereka
menunggu rekan di wilayah barat yang baru mulai buka pintu kantor pada saat
sama (08.00 WIB).
Atau di sektor pasar modal. Para
pedagang surat berharga Indonesia bagian timur ternyata hanya bisa efektif
bekerja selama 1 jam. Sementara di wilayah tengah 3 jam. Padahal, Bursa Efek
Indonesia yang bermarkas di Jakarta, beroperasi selama 5 jam mulai pukul 9.30
hingga 16.00 WIB.
Pengurangan waktu ini punya dampak
penting. Asumsinya, jika nilai transaksi bertambah 15 persen, maka transaksi
akan bertambah Rp60 triliun per tahun. "Katakanlah transaksi di bursa
sekarang Rp4 triliun per hari, atau per jam Rp400 miliar-500 miliar. Kalau
dimajukan sejam, tambahan nilai transaksi di pagi hari saja bisa mencapai 500
miliar," ujar Lucky.
Tentu saja pasar modal gembira dengan
usulan itu. Direktur Penilaian Perusahaan PT Bursa Efek Indonesia, Eddy Sugito,
menyatakan ide penyatuan zona waktu bakal memudahkan jalannya transaksi. Warga
juga tak lagi bingung. "Dalam mengelola perjalanan, diskusi, acara, dan
pekerjaan jadi lebih mudah. Perbedaan antara satu pulau dengan pulau lain
menjadi tidak ada," kata Eddy kepada VIVAnews.
Dalam soal bisnis juga punya dampak.
KP3EI menemukan waktu efektif di Indonesia bagian timur hanya berjalan 4 jam.
Singkatnya waktu itu karena pengusaha di Papua misalnya, baru bertransaksi
sekitar pukul 11.00 WITA. Soalnya, mereka mencocokkan waktu kerja mitra mereka
di wilayah barat.
Celakanya, karena soal beda waktu ini,
banyak pemodal mencari dunia usaha yang buka terlebih dahulu seperti Singapura,
Malaysia, dan Filipina. Dengan penggabungan zona waktu, KP3EI yakin minimal 600
jam waktu bisnis dapat diamankan oleh setiap unit usaha di tanah air.
Di Indonesia bagian timur, perbedaan jam
kerja sudah muncul lama. Wakil Kepala Wilayah BRI Papua, E Malau mengatakan,
perbedaaan waktu 2 jam antara Indonesia bagian barat dan Timur, sangat terasa
di urusan perbankan. ”Jam 5 sore kami sudah menghentikan kegiatan, tapi di
wilayah barat masih jam 3, dan sedang giat-giatnya. Akibatnya kita terpaksa
menunggu hingga jam 7-8 malam, karena harus membuat laporan,” ujarnya.
Hemat energi
Tak hanya bisnis perbankan, penggabungan zona waktu
dipercaya akan meningkatkan kinerja bisnis jasa logistik di semua lini.
Termasuk bisnis dunia penerbangan. Terutama pengaturan waktu terbang,
produktivitas pesawat, dan efisiensi lembur kru pesawat, serta peningkatan
volume konsumen penerbangan. "Garuda Indonesia menyatakan mendukung recana
penggabungan ini," Lucky Eko menambahkan.
Andre, Direktur Irian Jaya Sehat,
distributor minuman bersoda berkisah, dia selama ini telah membuang sedikitnya
2 jam waktu efektif setiap harinya. Selama ini, dia menambahkan, perbedaan 2
jam, sangat mengganggu usahanya, terutama soal transaksi keuangan, maupun
laporan perusahaan.
Ihwal penyatuan zona waktu rupanya
pernah juga dilontarkan oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN). Pemakaian energi
listrik pada waktu beban puncak sekitar pukul 6-9 malam akan berkurang jika
pelanggan lebih cepat istirahat. Dengan mengubah WIB mengikuti WITA, rentang
waktu beban puncak berjalan mulai pukul 7 sampai 10 malam, secara tak langsung
berkurang. Masyarakat lebih cepat tidur. Beban listrik di pagi hari juga akan
berkurang karena pelanggan terbesar PLN dari golongan tarif R-1 lebih cepat
bangun untuk berkegiatan di luar rumah.
KP3EI tak melulu melihat segi keuntungan
ekonomi. Penyatuan sistem zona waktu dianggap bisa membantu memperkuat semangat
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ya, semacam satu bangsa, satu bahasa, dan
kini satu waktu. “Perhatian” pemerintah pusat dianggap akan lebih merata ke
semua wilayah.
9 kali berubah
Meski usulan penyatuan zona waktu ini sempat membuat
heboh, sebetulnya bagi Indonesia, ini bukanlah soal baru.
Sejak Jepang bekuasa di nusantara pada
1942, Jepang menyatukan zona waktu yang pernah disusun para pengusaha pribumi
dan Belanda. Pada 1932 hingga 1942, Belanda membagi waktu bagi nusantara
menjadi 6 zona.
Di tangan Jepang, standar waktu
Indonesia mengikuti Tokyo yaitu GMT+9. Alasannya sederhana. Jepang ingin
membuat efektif operasi militer mereka. Tentu saja tujan lain adalah
“menjepangkan” wilayah Koloni. Ini juga bukan baru. Pada 1908, dibawah Belanda,
nusantara jajahan ini ikut pembagian waktu di negeri Belanda.
Aturan lebih lokal dibuat pada 6 Januari
1908. Lewat Gouvernements
besluit, Belanda
memutuskan zona waktu Jawa Tengah dan Batavia dengan perbedaan waktu 12 menit.
Peraturan resmi berlaku 1 Mei 1908, tapi hanya berlaku untuk Jawa dan Madura.
Di luar wilayah itu, Belanda sama sekali tak mengaturnya.
Baru pada 1918, Belanda akhirnya
mengatur pembagian zona waktu untuk wilayah di luar Jawa seperti Sumatera Barat
dan Timur serta Balikpapan. Misalnya, Padang berbeda waktu 39 menit lebih
lambat dari Jawa Tengah. Balikpapan berselisih 8 jam 20 menit lebih cepat dari
Greenwich.
Pada 1924, Belanda menetapkan selisih
waktu antara Jawa Tengah dengan Greenwich adalah 7 jam 20 menit lebih cepat
dari Greenwich. Di luar peraturan itu, pembagian waktu tiap daerah ditentukan
oleh Hoofden
van Gewestelijk Bestuur in Buitengewesen.
Memasuki 1930-an, penerbangan
internasional dari Hindia Belanda ke Singapura dan Australia dibuka. Hindia
Belanda, untuk pertama kalinya, membagi enam zona waktu sejak 11 November 1932.
(Lihat Infografik: Mengubah Zona Waktu).
Selain pertimbangan penerbangan,
kebiasaan masyarakat pemakai jam matahari juga menjadi alasan keluarnya
peraturan ini. Pemerintah kolonial berharap masyarakat itu tak dirugikan dengan
pembagian waktu ini. Ada selisih waktu, tiap zona 30 menit.
Setelah Jepang kalah di Perang Dunia
Kedua, dan Belanda menduduki kembali sebagian daerah di Indonesia pada 1947,
sistem waktu di Indonesia diringkas menjadi tiga zona. Tiap zona berselisih GMT
+6, +7, dan +8, kecuali Papua yang berselisih GMT + 9. Namun, pembagian ini tak
berlangsung lama. Pada 1950, Belanda mengakui kedaulatan Indonesia. Dengan
demikian, Indonesia kembali ke pembagian enam zona waktu dengan selisih 30
menit tiap zona.
Seperti ditulis oleh historia.com, aturan ini tertuang dalam Keppres RI
No. 152 Tahun 1950 yang mulai berlaku pada 1 Mei 1950. Hanya Irian yang masih
menggunakan peraturan Belanda tahun 1947 karena masih diduduki Belanda. Keppres
itu bertahan selama 13 tahun.
Pada 1963, Indonesia mengubah kembali
zona waktu menjadi tiga zona waktu: barat, tengah, dan timur. Irian Jaya yang
telah kembali ke wilayah Indonesia masuk zona timur bersama daerah tingkat I
Maluku karena terletak pada 135 derajat bujur timur. Selisih waktunya dengan
GMT adalah + 9. Pembagian itu resmi dimulai sejak 1 Januari 1964.
Peraturan itu bertahan sampai 1987,
ketika pemerintah membuat kebijakan memutuskan Bali masuk ke zona tengah karena
pertimbangan pariwisata, sedangkan Kalimantan Barat dan Tengah ditarik ke zona
barat dari zona tengah. Indonesia tetap dengan zona tiga waktu sampai hari ini.
Ide penyatuan zona waktu ini tentu saja
membangkitkan pro dan kontra. Deputi Sains, Pengkajian, dan Informasi
Kedirgantaraan Lembaga Penerbangan Antariksa (Lapan) Thomas Djamaluddin
mengatakan pembagian waktu di Indonesia sekarang sudah tepat secara
internasional. Posisi Indonesia ada di 95 hingga 141 derajat garis bujur timur.
Artinya zona waktunya terbagi tiga.
Sayangnya, diakui Thomas, penentuan zona
waktu di dunia seringkali dibuat oleh dua alasan utama, politis dan ekonomis. China
sengaja menyatukan penentuan zona waktu mereka ke dalam satu waktu karena
alasan politis. Sementara Amerika Serikat yang tetap 4 zona waktu dengan alasan
ekonomis.
Ide penggabungan zona waktu di tanah
air, bagi Thomas dianggap kurang tepat. Setidaknya, harus dikaji lebih
mendalam. "Jika disesuaikan jam standar, maka WIB akan dipaksakan bekerja
lebih awal, sedangkan WIT lebih pagi," kata dia. Risikonya, waktu produktif
masyarakat tak sesuai dengan aktivitas matahari, terutama bagi yang terbiasa
dengan jam matahari.