Pesan Terakhir Mr. Moh. Yamin dan Soekarno Menjelang
Ajal serta Pesan Penting Pramudya Ananta Tur
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفًا فِطْرَةَ اللهِ
الَّتِيْ فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لاَ تَبْدِيْلَ لِخَلْقِ اللهِ ذَلِكَ
الدِّيْنُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُوْنَ
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas)
fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada
perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar-Ruum: 30).
Rangkaian
tulisan berikut adalah penggalan dari perjalanan hidup Prof. KH. Abdul Malik
Karim Amrullah alias Buya Hamka yang dikisahkan oleh putra kelima beliau, yakni
KH. Irfan Hamka di dalam bukunya Kisah-Kisah Abadi Bersama Ayahku Hamka.1
Penggalan ini
berkisah tentang kebesaran jiwa dan sifat pemaaf Buya Hamka kepada lawan-lawan
politiknya secara ideologis: antara Islam, nasionalis dan komunis yang diwakili
para tokohnya yakni pencetus penggali Pancasila Mr. Moh.Yamin dan Soekarno
serta tokoh Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) Pramudya Ananta Tur; padahal tak
jarang demi mempertahankan dan membela keyakinannya itu Buya Hamka harus masuk
penjara, difitnah, disingkirkan, dimiskinkan namun kesabaran beliau dalam
menghadapi ujian itu berbuah menjadi hikmah yang luar biasa yang diantaranya
terungkap dalam penggalan kisah berikut ini yang insya Allah dapat membuka mata
hati siapapun yang membacanya, meresapinya dan menghayatinya untuk menetapi
jalan Islam menuju keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Selamat membaca.
Pesan Terakhir
Mr. Mohammad Yamin
Masih ada lagi
bukti-bukti bagaimana kebesaran jiwa dan pemaafnya ayahku (Buya Hamka – pen.).
Susah kita mengukur pribadi orang yang memiliki jiwa sebesar ayahku, Hamka.
Dalam tulisan
yang kusiapkan, penulis ini berusaha menghindari penilaian yang subyektif
karena aku anak beliau. Kucoba merangkai bagaimana sifat pemaaf yang begitu
ikhlas diberikan ayah kepada orang-orang yang membencinya. menzalimi dan
memfitnah.
Tahun 1955
sampai 1957, sebagai seorang anggota Konstituante dari Fraksi Partai Masyumi,
ayah cukup aktif dalam sidang merumuskan Dasar Negara Rl. Ada 2 pilihan untuk
dasar negara kita; pertama, UUD 1945 Negara berdasarkan Islam. Kedua,
UUD 1945/ dengan dasar negara Pancasila
Untuk kedua
pilihan dasar negara itu, terbuka dua front yang sama kuat. Front pertama tentu
saja kelompok Islam. Masyumi sebagai pimpinannya, mengajukan dasar negara
berdasarkan Islam. Front kedua, dipimpin PNI, Partai Nasional Indonesia ingin
negara berdasarkan Pancasila.
Dalam suatu
acara persidangan ayah menyampaikan pidato politiknya, dengan beraninya
menyampaikan isi pidatonya:
"Bila
negara kita ini mengambil dasar negara berdasarkan Pancasila, sama saja kita
menuju jalan ke neraka … "
Tentu saja para
hadirin dalam sidang paripurna Konstituante itu terkejut mendengar pernyataan
ayah. Tidak saja pihak pendukung Pancasila, juga para pendukung negara Islam
sama-sama terkejut.
Mr. Moh. Yamin
sebagai seorang anggota Konstituante dari Fraksi PNI turut terkejut atas
pernyataan ayah itu. Tokoh PNI itu tidak saja marah, berlanjut menjadi benci.
Walaupun kedua tokoh yang berseberangan sama-sama dari Sumbar. Moh Yamin tidak
dapat menahan kebencian- nya kepada ayah. Baik bertemu dalam acara resmi,
seminar kebudayaan dan sama-sama menghadiri sidang Konstituante, kebencian itu
tetap tak dapat dihilangkannya. Akibat dari pidato ayah, bahwa menjadikan
Pancasila sebagai dasar negara sama saja merintis jalan ke neraka, sedangkan
Mr. Moh. Yamin sangat percaya pada mitos bahwa penggali Pancasila itu Soekarno.
Penulis masih
ingat ketika rumah kami kedatangan tamu Buya KH. Isa Anshari. Ulama sekampung
dengan kampung kami Maninjau, beliau sudah lama bermukim di Kota Bandung Dalam
acara makan siang, Buya KH. Isa Anshari bertanya kepada ayah; "Apa masih
tetap Yamin bersitegang dengan Hamka ?"
Ayah menjawab,
"Rupanya bukan saja wajahnya yang diperlihatkan kebenciannya kepada saya,
hati nuraninya pun ikut membenci saya."
Bertahun-tahun
setelah dekrit di mana Soekarno kemudian membubarkan Konstituante, parlemen dan
menetapkan UUD '45 dan Pancasila sebagai dasar negara, terjadi peristiwa yang
luar biasa. Tahun 1962; Mr. Moh. Yamin jatuh sakit parah dirawat di Rumah Sakit
Pusat Angkatan Darat, RSPAD. Ayah mengetahuinya dari berita koran dan radio.
Ayah menerima telepon dari Bapak Chairul Saleh, salah seorang menteri pada
waktu itu. Menteri ini ingin datang bersilaturahim kepada ayah dan menyampaikan
perihal sakit Mr. Moh. Yamin.
Chaerul Saleh
datang menemui ayah di rumah. Kepada ayah, menteri di era Soekarno ini
menceritakan perihal sakitnya Mr. Moh. Yamin.
"Buya,
saya membawa pesan dari Bapak Yamin. Beliau sakit sangat parah. Sudah
berhari-hari dirawat. Saya sengaja datang menemui Buya. Ada pesan dari Pak
Yamin, mungkin merupakan pesan terakhir. “
"Apa
pesannya?" tanya ayah.
"Pak Yamin
berpesan agar saya menjemput Buya ke rumah sakit. Beliau ingin menjelang
ajalnya, Buya dapat mendampinginya, sekarang Pak Yamin dalam sekarat."
Ayah agak
tercengang mendengar pesan Pak Yamin itu. Teringat kembali sikap
bermusuhan dan membencinya.
"Apalagi
pesan Pak Yamin?” Kembali ayah bertanya kepada menteri yang ditugaskan Pak
Yamin itu.
"Begini
Buya, yang sangat merisaukan pak Yamin, beliau ingin bila wafat dapat
dimakamkan di kampung halamannya yang telah lama tidak dikunjungi. Beliau
sangat khawatir masyarakat Talawi tidak berkenan menerima jenazahnya. Ketika terjadi
pergolakan di Sumatara Barat, Pak Yamin turut mengutuk aksi pemisah-an wilayah
dari NKRI. Beliau mengharapkan sekali Hamka bisa menemaninya sampai ke dekat
liang lahatnya. "
Hanya sebentar
ayah termenung. Banyak pengalaman pahit yang dirasa oleh ayah selama beberapa
tahun ini dengan tokoh yang mengaku wajahnya mirip dengan Patih Majapahit Gajah
Mada itu. "Kalau begitu mari bawa saya ke RSPAD menemui
beliau."
Sore itu juga
ayah dan Pak Chaerul Saleh tiba di rumah sakit. Dalam ruangan VIP, banyak pengunjung.
Ada Pendeta, Biksu Budha dan pengunjung yang lain. Pak Yamin terbaring di
tempat tidur dengan slang infus dan oksigen tampak terpasang. Melihat
kedatangan ayah tampak wajahnya agak berseri. Dengan lemah Pak Yamin menggapai
ayah untuk mendekat. Salah seorang pengunjung meletakkan sebuah kursi untuk
ayah duduk di dekat tempat tidur. Ayah menjabat tangan Pak Yamin dan mencium
kening tokoh yang bertahun-tahun membenci ayah.
Dengan suara
yang hampir tidak terdengar dia berkata: " Terima kasih Buya sudi
datang." Dari kedua kelopak matanya tampak air mata menggenangi matanya.
"Dampingi
saya," bisiknya lagi. Tangan ayah masih terus digenggamnya.
Mula-mula ayah
membisikkan surat Al Fatihah. Kemudian kalimat La ilaha illallah Muhammadan
Rasalullah. Dengan lemah Pak Yamin mengikuti bacaan ayah. Kemudian ayah
mengulang kembali membaca dua kali. Pada bacaan kedua ini tidak terdengar Pak
Yamin mengikuti, hanya dia mem-beri isyarat dengan mengencangkan genggaman
tangannya ke tangan ayah. Kembali ayah membisikkan kalimat "tiada Tuhan
selain Allah" ke telinga Pak Yamin. Tidak ada respon. Ayah merasa
genggaman Pak Yamin mengendur dan terasa dingin dan terlepas dari genggaman
ayah.
Seorang dokter
datang memeriksa. Dokter itu memberitahu Pak Yamin sudah tidak ada lagi.
"Innalillahi
wa inna lillaihi rajiun."
Tokoh yang
bertahun-tahun sangat membenci ayah, diakhir hayatnya meninggal dunia sambil
bergenggaman tangan dengan ayah.
Dari rumah
sakit ayah diajak Bapak Chairul Saleh ke Istana Negara. Waperdam III (Wakil
Perdana Menteri III) ini ingin melapor atas wafatnya Pak Yamin kepada Presiden
Soekarno. Pemerintah telah mempersiapkan acara pemakaman kenegaraan di TMP
Kalibata, Jakarta.
Karena wasiat
terakhir Pak Yamin ingin dimakamkan di kampung halaman Talawi, Sawah Lunto.
Presiden memerintahkan Gubernur Sumatera Barat Drs. Harun Zen untuk
mempersiapkan upacara kenegaraan.
Sebelum
meninggalkan istana, Presiden Soekarno menyalami ayah sambil berucap:
"Terima kasih atas kebesaran jiwa Bung turut mendampingi Yamin menjelang
wafatnya dan bersedia mengantarnya ke Talawi. Atas nama pribadi dan
pemerintah saya ucapkan terima kasih."
(Ini adalah
pertemuan terakhir antara ayah dan Presiden Soekarno, 2 tahun kemudian ayah
dicebloskan ke penjara atas perintah Soekarno).
Keesokan
harinya, memenuhi pesan terakhir Almarhum Pak Yamin, agar ayah bersedia
menemani jenazahnya dimakamkan di Kampung Talawi, Sawah Lunto Sumatera Barat
dikabulkan ayah.
Proses
pemakaman dilakukan dengan upacara kenegaraan. Inspektur upacaranya bapak Menteri
Chaerul Saleh. Siang itu juga ayah kembali ke Jakarta.
(Cerita dengan
Pak Yamin ini penulis mendengar dari ayah sendiri dan terakhir dari saudara
Syakir Rasyid putra Buya St. Mansur yang ikut mendengar Iaporan ayah kepada
guru beliau A.R. St. Mansyur sepulang dari Talawi di rumah Buya St. Mansyur).
Pesan Terakhir
Soekarno
Dua tahun 4
bulan Iamanya ayah ditahan atas perintah Presiden Soekarno, waktu itu dari
tahun 1964-1966, dengan tuduhan melanggar undang-undang Anti Subversif Pempres
No. 11, yaitu tuduhan merencanakan pembunuhan Presiden Soekarno.
Betapa beratnya
penderitaan kami sepeninggal ayah yang ditahan. Buku-buku karangan ayah
dilarang. Ayah tidak bisa Iagi memenuhi undangan untuk berdawah. Pemasukan uang
terhenti. Untuk menyambung hidup ummi mulai menjual barang dan perhiasan.
Ayah baru bebas
setelah rezim Soekarno jatuh, digantikan oleh Soeharto. Ayah kembali melakukan
kegiatan seperti sebelum ditahan Soekarno.
Tanggal 16 Juni
1970, ayah dihubungi oleh Bapak Kafrawi, Sekjen Dep. Agama. Pagi-pagi sekjen
ini datang ke rumah, Pak Kafrawi membawa pesan dari keluarga mantan Presiden
Soekarno untuk ayah. Pesan itu pesan terakhir dari Soekarno, begini pesannya;
“Bila aku mati kelak. minta kesediaan Hamka untuk menjadi imam shalat
jenazahku."
“Jadi beliau
sudah wafat?" Ayah bertanya ke Pak Kafrawi.
"Iya Buya.
Bapak telah wafat di RSPAD, sekarang jenazahnya telah di bawah ke Wisma
Yaso." (Ini versi pertama).
Ada satu versi
lagi menyatakan bahwa dalam keadaan sekarat mantan Presiden RI ini menyampaikan
pesannya kepada keluarga beliau, bahwa bila datang ajalnya, beliau ingin yang
menjadi imam sembahyang jenazahnya dilakukan oleh Hamka. Pesan itu disampaikan
oleh keluarganya kepada Presiden Soeharto yang telah menggantikan beliau
sebagai Presiden RI ke-2.
Presiden
Soeharto mengutus salah seorang Aspri (Asisten Pribadi)nya Mayjen Suryo menemui
Buya Hamka di rumah JI. Rd.Fatah, didampingi seorang sekjen Dep. Agama RI.
Kepada ayah utusan Presiden Soeharto itu menyampaikan permintaan terakhir
Soekano. Tanpa ragu pesan yang dibawa utusan Presiden Soeharto dilaksanakan
oleh ayah.
Ayah tiba di
Wisma Yaso bersama penjemputnya. Di wisma itu telah banvak pelayat berdatangan,
penjagaan pun sangat kuat. Shalat jenazah baru akan dimulai menunggu kehadiran
ayah. Ayah dengan mantap menjadi imam jenazah Soekarno. Pesan terakhir mantan
Presiden Pertama dengan ikhlas dijalankan oleh ayah.
Aku sangat
menyesal tidak bisa mengikuti peristiwa ayah dijemput untuk mengimami sholat
jenazah mantan Presiden Soekarno dari dekat karena berada di luar kota Jakarta.
Dalam menyiapkan buku ini menyangkut pesan terakhir Soekarno aku harus mencari
inrormasi. Tokoh-tokoh yang terlibat dalam peristiwa itu banyak yang sudah
meninggal dunia termasuk almarhum abangku H. Zaky Hamka yang ikut menemani ayah
ke Wisma Yaso.
Hubungan antara
ayah dan Bung Karno telah terjalin sejak tahun 1941. Selesai menghadiri
Muktamar Muhammadiyah ke-30 di Yogyakarta, Januari 1941, atas ajakan H. Abdul
Karim (Oei Tjing Hin) Konsul Muhammadiyah Bengkulu seorang Tokoh Cina Muslim,
menemui Soekano di tempat pengasingannya di Bengkulu. Dalam pertemuan selama 2
jam itu hubungan keduanya jadi akrab. Untuk kenang-kenangan mereka berfoto
bersama.
Tahun 1946
setelah kemerdekaan, Soekarno telah diangkat menjadi Presiden RI pertama,
Presiden mengajak ayah untuk pindah dari Medan ke Jakarta. Namun karena situasi
tanah air yang belum selesai urusannya dengan Belanda, terjadi aksi polisionil
pertama tahun 1947 permintaan Presiden tertunda. Pada tahun berikutnya 1948
Presiden Soekarno berkunjung ke Sumatera Barat. Kembali ayah bertemu dengan
Soekarno di Bukit Tinggi. Pada kesempatan itu ayah menghadiahkan sebuah puisi
kepada Presiden Pertama itu dengan judul "Sansai juga aku kesudahannya.”
Setelah
penyerahan Kedaulatan 1949, di awal 1950 ayah mengajak kami pindah ke Jakarta.
Pada peringatan Isra' Miraj Nabi Muhammad SAW tahun 1950, ayah diminta Presiden
Soekarno memberikan wejangan tentang rahasia Isra' Miraj di Istana. Hubungan
baik terus berlanjut. Sewaktu pelaksanaan shalat ldul Fitri tahun 1951 diadakan
di Lapangan Banteng yang diselenggarakan oleh PHBI (Panitia Hari Besar Islam)
Jakarta aku turut diajak ayah, ayah duduk berdampingan dengan Presiden kita
waktu itu. Aku duduk diapit ayah dan Soekarno. Aku sangat bahagia karena aku
diperkenalkan ayah ke Soekarno.
Aku bersalaman
dengan Presiden kita yang gagah itu. Kulit wajah beliau putih kemerah-merahan,
segar. Tatapan matanya kuat ketika bersalaman denganku. Usiaku ketika itu 8
tahun. Bila aku ingat kejadian itu, aku sering tersenyum sendiri karena
Presiden kita itu memakai kaus kaki yang robek di ujung sebelah kanan. Sambil
mengikuti takbir Presiden RI Pertama itu tampak asyik mengelus-elus jempol
kakinya yang tersembul dari robekan kaos kaki kanannya.
Tahun 1955 ayah
terpilih menjadi anggota Konstituante. Sejak itu hubungan akrab dengan Soekarno
mulai renggang. Ayah dengan segenap fraksi Partai Islam memperjuangkan negara
berdasarkan Islam. Sedangkan Presiden Soekarno ingin mempertahankan negara
berdasarkan Pancasila. Sejak itu hubungan dua orang yang sebelumnya seperti
bersaudara terputus. Baru tahun 1962 mereka bertemu kembali ketika ayah turut
menyelenggarakan jenazah Mr. Moh. Yamin. Dua tahun kemudian ayah ditangkap atas
perintah Presiden Soekarno.
Setelah 8 tahun
kemudian 1970, kedua orang yang dulu-nya bersahabat dipertemukan kembali, hanya
situasinya berbeda. Soekarno berada dalam peti jenazah, ayah berdiri di dekat
peti jenazah itu bertindak sebagai imam sembahyang jenazah orang yang pernah
menjebloskan diri beliau masuk penjara selama 2 tahun 4 bulan. Tampak benar
bagi penulis, walaupun keadaan dua orang ini berbeda paham politik yang tajam,
namun dalam hati mereka tetap menjaga tali silaturahmi. Soekarno tidak membenci
ayah. Begitu pula ayah pun tidak dendam kepada Soekarno.
Akibat ayah
mengimami jenazah Soekarno, teman-teman ayah banyak yang menyesalkan tindakan
ayah itu. Ada yang mengatakan bahwa Soekarno itu munafiq. Ada pula yang
bertanya: "Apa Buya tidak dendam kepada orang yang telah membenamkan Buya
dalam penjara?"
Dengan lemah
lembut ayah menjawab semua kritik itu. "Hanva Allah yang lebih tahu
orang-orang yang munafiq Dan saya harus berterima kasih, karena dalam penjara
saya dapat kesempatan menulis tafsir Al-Quran 30 juz. Satu hal lagi jangan
dilupakan bahwa almarhum memprakarsai pembangunan 2 buah masjid yang
monumental, satu masjid Baiturrahim di Istana Merdeka. Satu lagi masjid
terbesar di Asia Tenggara, Masjid Istiqlal. Semoga ini menjadi amal yang tak
terhingga untuk Soekarno.”
Pesan Pramudya
Ananta Tur
Awal tahun
1963, dunia sastra kita digemparkan oleh dua surat kabar Harian Ibukota: Harian
Rakyat dan Harian Bintang Timur. Kedua koran milik Komunis ini
menyiarkan di halaman pertama dengan berita Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
hasil jiplakan oleh pengarang Hamka. Ulasan berita itu dilansir oleh
seorang penulis bernama Ki Panji Kusmin. Sedangkan di harian Bintang Timur
dalam lembaran Lentera, juga memuat dan mengulas bagaimana Hamka mencuri
karangan asli dari pengarang Alfonso Carr, pujangga Prancis. Lembaran Lentera
ini diasuh oleh Pramudya Ananta Tur.
Berbulan-bulan
lamanva kedua koran komunis ini menyerang ayah dengan tulisan-tulisan berbau
fitnah, juga menyerang secara pribadi.
Aku lihat ayah
tenang-tenang saja menghadapi segala hujatan dari Ki Panji Kusmin dan Pramudva
Ananta Tur itu.
Penulis waktu
itu sekolah di SMAN IX merasakan tekanan batin juga. Guru Sastra lndonesiaku
seorang guru PGRI Vak Sentral begitu pula dengan guru civicku dengan gaya
mengejek selalu menanyakan kesehatan ayah dan tidak lupa berkirim salam.
Kupingku terasa panas bila kedua guruku itu bertanya kepadaku. Begitu pula
halnya dengan saudara-saudaraku yang lain. Apalagi membaca kedua koran yang
sengaja dikirim ke rumah secara gratis.
PKI melakukan
usaha kudeta tanggal 30 September 1965 namun gagal. Dalam usaha kup itu 6
jenderal dan 1 perwira gugur dibunuh PKI. Akibat kegagalan kup PKI itu, kedua
guru SMA-ku itu diberhentikan sebagai guru dan pegawai negeri, dan Pramudya
Ananta Tur ditahan di Pulau Buru. Bertahun-tahun kemudian Pramudya Ananta Tur
dibebaskan, kemudian melakukan kegiatan lagi. Ayah tidak pernah berhubungan
dengan tokoh Lekra yang tidak pernah bosan menyerang ayah di kedua koran
Komunis itu.
Suatu hari,
ayah kedatangan sepasang tamu. Si perempuan orang pribumi, sedang laki-lakinya
seorang keturunan Cina. Kepada ayah si perempuan memperkenalkan diri. Namanya
Astuti, sedangkan si laki-laki bernama Daniel Setiawan. Ayah agak terkejut
ketika Astuti menyatakan bahwa dia anak sulung Pramudya Ananta Tur. Astuti menemani
Daniel menemui ayah untuk masuk Islam sekaligus mempelajari agama Islam. Selama
ini Daniel non muslim. Pramudya tidak setuju anak perempuannya yang muslimah
nikah dengan laki-laki yang berbeda kultur dan beragama lain.
Hanya sebentar
ayah berfikir. Tanpa ada sedikitpun keraguan permohonan kedua tamu itu
dikabulkan oleh ayah. Daniel Setiawan calon menantu Pramudya Ananta Tur
langsung di-Islam-kan oleh ayah dengan menuntunnya membaca dua kalimat
syahadat. Ayah menganjurkan Daniel berkhitan dan menjadwalkan untuk memulai
belajar agama Islam kepada ayah.
Dalam pertemuan
dengan putri sulung Pramudya dan calon menantunya itu ayah tidak ada sama
sekali berbicara masalah Pramudya dengan ayah yang pernah terjadi berselang
lama waktu itu. Ayah betul-betul telah dihancurkan nama baiknya oleh Pramudya
Ananta Tur melalui corong Komunis di harian Bintang Timur dan Harian
Rakyat.
Salah seorang
teman Pramudva bernama Dr. Hudaifah Kuddah menanyakan kepada Pramudya alasan
tokoh Lekra ini mengutus calon menantunya menemui Hamka. Dengan serius Pram
menjawab:
"Masalah
faham kami tetap berbeda. Saya ingin putri saya yang muslimah harus bersuami
dengan laki-laki seiman. Saya lebih mantap mengirim calon menantu saya belajar
agama Islam dan masuk Islam kepada Hamka. Dialah seorang ulama yang
terbaik."
Menurut Dr.
Hudaifah yang tertuang dalam majalah Horison, Agustus 2006, secara tidak
langsung tampaknva Pramudya Ananta Tur dengan mengirim calon menantu ditemani
anak perempuan seakan minta maaf atas perilakunya memperlakukan ayah di Harian
Bintang Timur dan Harian Rakyat. Dan secara tidak langsung pula ayah
memaafkan Pramudya Ananta Tur dengan bersedia mengislamkan dan memberi
pelajaran agama Islam kepada sang calon menantu.
Dalam peristiwa
ayah menghadapi ketiga tokoh yang penulis sampaikan dalam buku ini, penulis
sengaja tidak memberikan komentar dan menilai ayahku Hamka. Penulis
mernbebaskan kepada pernbaca yang budiman menilainya sendiri. Penulis sebagai
seorang anak ingin menghindar penilaian kepada ayah secara subyektif.
[Sandhi/voa-islam.com]
_________________________
1. Diterbitkan pada
bulan Oktober 2010 oleh UHAMKA PRESS, Tulisan ini mengacu pada Cetakan II,
Oktober 2011, di halaman 191-200, dengan ubahan oleh editor pada sub judul
untuk Mr. Moh Yamin dan Pramudya.