Senin, 02 Juli 2012

‘Pancasila adalah Anak, dan Ibunya adalah Islam’


Seminar yang diselenggarakan pada Selasa (26/06/2012), yang bertempat di Islamic Banking and Finance Institute (IBFI) Univ. Trisakti Menara Anugerah Kantor Taman E3.3 lantai 5 Mega Kuningan Jakarta Selatan. Seminar yang bertemakan “Hubungan Islam dan Negera Pancasila di Era Reformasi : Suatu Tinjauan Kritis” menghadirkan pakar-pakar pembicara pada bidangnya, yakni Yusril Iza Mahendra (Pakar Hukum Tata Negara), Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi (MIUMI), Dr. Amirsyah dan Nur Ahmad (Wakasekjen MUI), Syahganda Nainggolan, Nadirsyah, LLM, MA PhD (Sr. Lecture Fakultas Hukum Univ. Wallonggong, Australia – Dewan Pakar The Ibrahim Hosen Institute). Acara tersebut dimoderatori oleh Fahmi Salim, MA (Wakasekjen MIUMI).


Pada opening speech, adalah Wiranto, mantan Jendral Panglima Kostrad ini memberikan pandangan bahwa dasar Negara Pancasila dan Islam agama kita, adalah seperti saudara.

“Dua elemen ini memiliki hubungan yang sangat erat bahkan seperti saudara kandung, hilangnya salah satu elemen ini, adalah bagaikan jika anda kehilangan saudara kandung anda,” ungkapnya.

Melanjutkan opening speech, sebagai narasumber utama, Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, yang akrab disapa dengan panggilan Gus Hamid menjelaskan maksud lebih detail secara historis tentang Islam dan Pancasila. Mulai dari asal usul masuknya Islam ke Indonesia pada abad ke-11 melalui para saudagar, lalu dilanjutkan dengan kedatangan para ulama timur tengah pada abad ke-17, sampai era abad 20an, diikuti pergerakan kemerdekaan perjuangan pahlawan-pahlawan terdahulu hingga NKRI ini mendeklarasikan kemerdekaannya, semua tidak luput dari peran dan kontribusi pejuang-pejuang Islam tanah air.

“Jika Pak Wiranto bilang, hubungan antara Pancasila dan Islam itu seperti saudara kandung, saya malah berani bilang, bahwa Pancasila adalah anak, dan ibunya adalah Islam,” paparnya.

Beliau melanjutkan dengan pendefinisian masing-masing sila dari Pancasila yang ternyata memang lahir dari nilai-nilai Islam. “Ambil contoh sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Pancasila mengakui Tuhan yang Esa sebagai landasan tertinggi, dan itu bisa dibuktikan dari Islam. Tauhid kuat sekali, monotheisme. Tuhan di Islam itu absolutely one, Allah.” tegas Gus Hamid. Pemaparan beliau berlanjut ke sila-sila berikutnya yang semuanya relevan, antara Islam dan Pancasila.

Menilik sudut pandang lain, yakni dari seorang dosen senior Ubiversitas Wollonggong Australia, Nadirsyah Hosen, LLM, PhD, beliau menyatakan bahwa kenyataan sekarang ini Pancasila tidak dijalankan dengan baik.

“Dari 5 sila tersebut, mana yang masih bisa kita banggakan? tanyakan saja pada diri kita masing-masing, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, sudahkah? Lalu sila ke 4, Kerakyatan Yang dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Indonesia, sudahkah?”. Pemaparannya berlanjut sampai sila ke 2 dengan contohnya masing-masing.

“Semua sila itu tak ada buktinya sekarang. Kekuasaan telah mempolitisir dan menyelewengkan praktik-praktiknya. Bahkan sila 1 yang mungkin (maaf) juga sudah menjadi ‘Keuangan Yang Maha Kuasa’. Tapi sebagai muslim, hanya sisa sila pertama saja yang benar-benar masih bisa kita banggakan eksistensinya”, tukas Nadirsyah yang juga menjabat sebagai Dewan Pakar The Ibrahim Hosen Institute.

Pada beberapa tahun yang lalu, riset beliau tentang demokrasi, mendapatkan kesimpulan bahwa, menurut barat, demokrasi berjalan dengan syarat menjalankan liberalism. Dan ketika beliau menyampaikan paper tentang demokrasi di Indonesia, papernya di tolak.

“Paper penelitian saya ditolak HANYA karena berhasil membuktikan bahwa demokrasi di Indonesia bisa berjalan tanpa menerapkan liberalism”, jelasnya.

Dr. Amirsyah Wakasekjen MIU juga menambahkan analisisnya. Menurutnya, negara ini sudah sempurna, karena memakai acuan Islam sebagai dasar pembentukan pada sila-sila Pancasila. Namun, pada praktiknya ternyata semua dipolitisir, hingga sesuai data terakhir, hampir 80% itu pro kapitalisme, juga sekuler.

Menegaskan Dr. Amirsyah, Syahganda Nainggolan menyatakan perlunya kesadaran tentang musuh bersama antara Islam dan Pancasila ini.

“Sangat lucu jika ada pihak yang memposisikan Pancasila dan Islam ini saling berhadapan. Islam dan Pancasila itu satu kubu, dan perlu teman-teman sadari bahwa kubu oposisinya (lawannya) adalah demokrasi liberal”, tukasnya tegas.

Mengakhiri seminar, Gubernur Lemhamnas, Prof, Dr. Budi Susilo Soepadji memberikan pidatonya, Beliau menyampaikan apresiasinya kepada para ilmuwan dan ulama yang telah kritis memberikan analisisnya untuk meninjau Pancasila dan perspektif Islam dalam kehidupan demokrasi. Beliau menambahkan pula bahwa berdirinya Indonesia yang Pancasila dijadikan sebagai dasar Negara ini, tidak bisa lepas dari tinjauan geopolitik, yang mencakup cita-cita Negara, sejarah, letak geografis dan lain-lain.

“Boleh saja USA atau Perancis adalah mbahnya Demokrasi, tapi ketika mereka menuduh kita (Indonesia) tidak demokrasi, wah tunggu dulu!”, ucapnya.

Menurutnya, demokrasi yang dikembangkan harus sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, jangan sampai pemaknaannya hanya menguntungkan pihak/golongan tertentu saja. Pancasila telah memiliki cakupan itu semua. Seminar ditutup dengan pemberian cinderamata kepada masing-masing narasumber acara tersebut.

sumber