Seminar yang diselenggarakan pada Selasa (26/06/2012), yang bertempat di
Islamic Banking and Finance Institute (IBFI) Univ. Trisakti Menara Anugerah
Kantor Taman E3.3 lantai 5 Mega Kuningan Jakarta Selatan. Seminar yang
bertemakan “Hubungan Islam dan Negera Pancasila di Era Reformasi : Suatu Tinjauan
Kritis” menghadirkan pakar-pakar pembicara pada bidangnya, yakni Yusril Iza
Mahendra (Pakar Hukum Tata Negara), Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi (MIUMI), Dr.
Amirsyah dan Nur Ahmad (Wakasekjen MUI), Syahganda Nainggolan, Nadirsyah, LLM,
MA PhD (Sr. Lecture Fakultas Hukum Univ. Wallonggong, Australia – Dewan Pakar
The Ibrahim Hosen Institute). Acara tersebut dimoderatori oleh Fahmi Salim, MA
(Wakasekjen MIUMI).
Pada opening speech, adalah Wiranto, mantan Jendral Panglima Kostrad ini
memberikan pandangan bahwa dasar Negara Pancasila dan Islam agama kita, adalah
seperti saudara.
“Dua elemen ini memiliki hubungan yang sangat erat bahkan seperti saudara
kandung, hilangnya salah satu elemen ini, adalah bagaikan jika anda kehilangan
saudara kandung anda,” ungkapnya.
Melanjutkan opening speech, sebagai narasumber utama, Dr. Hamid Fahmy
Zarkasyi, yang akrab disapa dengan panggilan Gus Hamid menjelaskan maksud lebih
detail secara historis tentang Islam dan Pancasila. Mulai dari asal usul
masuknya Islam ke Indonesia pada abad ke-11 melalui para saudagar, lalu
dilanjutkan dengan kedatangan para ulama timur tengah pada abad ke-17, sampai
era abad 20an, diikuti pergerakan kemerdekaan perjuangan pahlawan-pahlawan
terdahulu hingga NKRI ini mendeklarasikan kemerdekaannya, semua tidak luput
dari peran dan kontribusi pejuang-pejuang Islam tanah air.
“Jika Pak Wiranto bilang, hubungan antara Pancasila dan Islam itu seperti
saudara kandung, saya malah berani bilang, bahwa Pancasila adalah anak, dan
ibunya adalah Islam,” paparnya.
Beliau melanjutkan dengan pendefinisian masing-masing sila dari Pancasila
yang ternyata memang lahir dari nilai-nilai Islam. “Ambil contoh sila
pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Pancasila mengakui Tuhan yang Esa sebagai
landasan tertinggi, dan itu bisa dibuktikan dari Islam. Tauhid kuat sekali,
monotheisme. Tuhan di Islam itu absolutely one, Allah.” tegas Gus Hamid.
Pemaparan beliau berlanjut ke sila-sila berikutnya yang semuanya relevan,
antara Islam dan Pancasila.
Menilik sudut pandang lain, yakni dari seorang dosen senior Ubiversitas
Wollonggong Australia, Nadirsyah Hosen, LLM, PhD, beliau menyatakan bahwa
kenyataan sekarang ini Pancasila tidak dijalankan dengan baik.
“Dari 5 sila tersebut, mana yang masih bisa kita banggakan? tanyakan saja
pada diri kita masing-masing, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia,
sudahkah? Lalu sila ke 4, Kerakyatan Yang dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan
dalam Permusyawaratan Indonesia, sudahkah?”. Pemaparannya berlanjut sampai
sila ke 2 dengan contohnya masing-masing.
“Semua sila itu tak ada buktinya sekarang. Kekuasaan telah mempolitisir dan
menyelewengkan praktik-praktiknya. Bahkan sila 1 yang mungkin (maaf) juga sudah
menjadi ‘Keuangan Yang Maha Kuasa’. Tapi sebagai muslim, hanya sisa sila
pertama saja yang benar-benar masih bisa kita banggakan
eksistensinya”, tukas Nadirsyah yang juga menjabat sebagai Dewan Pakar The
Ibrahim Hosen Institute.
Pada beberapa tahun yang lalu, riset beliau tentang demokrasi, mendapatkan
kesimpulan bahwa, menurut barat, demokrasi berjalan dengan syarat menjalankan
liberalism. Dan ketika beliau menyampaikan paper tentang demokrasi di
Indonesia, papernya di tolak.
“Paper penelitian saya ditolak HANYA karena berhasil membuktikan bahwa
demokrasi di Indonesia bisa berjalan tanpa menerapkan liberalism”, jelasnya.
Dr. Amirsyah Wakasekjen MIU juga menambahkan analisisnya. Menurutnya,
negara ini sudah sempurna, karena memakai acuan Islam sebagai dasar pembentukan
pada sila-sila Pancasila. Namun, pada praktiknya ternyata semua dipolitisir,
hingga sesuai data terakhir, hampir 80% itu pro kapitalisme, juga sekuler.
Menegaskan Dr. Amirsyah, Syahganda Nainggolan menyatakan perlunya kesadaran
tentang musuh bersama antara Islam dan Pancasila ini.
“Sangat lucu jika ada pihak yang memposisikan Pancasila dan Islam ini
saling berhadapan. Islam dan Pancasila itu satu kubu, dan perlu teman-teman
sadari bahwa kubu oposisinya (lawannya) adalah demokrasi
liberal”, tukasnya tegas.
Mengakhiri seminar, Gubernur Lemhamnas, Prof, Dr. Budi Susilo Soepadji
memberikan pidatonya, Beliau menyampaikan apresiasinya kepada para ilmuwan dan
ulama yang telah kritis memberikan analisisnya untuk meninjau Pancasila dan
perspektif Islam dalam kehidupan demokrasi. Beliau menambahkan pula bahwa
berdirinya Indonesia yang Pancasila dijadikan sebagai dasar Negara ini, tidak
bisa lepas dari tinjauan geopolitik, yang mencakup cita-cita Negara, sejarah,
letak geografis dan lain-lain.
“Boleh saja USA atau Perancis adalah mbahnya Demokrasi, tapi ketika mereka
menuduh kita (Indonesia) tidak demokrasi, wah tunggu dulu!”, ucapnya.
Menurutnya, demokrasi yang dikembangkan harus sesuai dengan nilai-nilai
Pancasila, jangan sampai pemaknaannya hanya menguntungkan pihak/golongan
tertentu saja. Pancasila telah memiliki cakupan itu semua. Seminar ditutup
dengan pemberian cinderamata kepada masing-masing narasumber acara tersebut.
sumber