Saharuddin Daming, salah satu anggota Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia (KOMNAS HAM) menyampaikan kritik kerasnya terhadap pemaparan Tim Adhoc
Komnas HAM tentang Hasil Laporan Penyelidikan Pelanggaran HAM Berat Dalam
Peristiwa 1965. Dimana di sini kelompok Partai Komunis Indonesia (PKI) dianggap
menjadi korban pelanggaran HAM oleh aparatur negara.
"Saya sangat prihatin dan menyesalkan prakarsa dan niat baik Tim untuk
mengungkap sejarah hitam yang melingkupi peristiwa pelanggaran HAM berat tahun
1965, namun upaya tersebut saya nilai tidak adil, tidak proporsional, dan
sangat linier," jelasnya seperti dirilis hidayatullah.com pada hari
Selasa, (10/07/2012)
Menurut Daming, mengapa hanya PKI yang merasa jadi korban pelanggaran HAM
bukankah PKI juga melakukan penculikan, pembunuhan dan penyiksaan para
Jenderal, Pembantaian Umat Islam di Madiun dan pelecehan agama dengan
pembakaran-pembakaran Al-Qur'an. Bukan hanya itu saja, PKI bahkan berusaha
melakukan makar terhadap Negara dengan ingin merubah konstitusi Negara
berdasarkan komunisme.
"Hal ini berpotensi menimbulkan persangkaan negatif dari publik yang
menilai Komnas HAM hanya melindungi korban pelanggaran HAM berat dari kalangan
PKI dan simpatisannya saja," jelas laki-laki kelahiran Pare-Pare Sulawesi
selatan 42 tahun yang lalu ini.
Senada dengan Daming, Drs Arukat Djaswadi Ketua Front Anti Komunis
Indonesia menjelaskan seharusnya yang menjadi tersangka itu justru PKI, karena
pelaku pelanggaran HAM berat itu awalnya dari sikap makar PKI, sedangkan rakyat
dan bangsa hanya melakukan pembelaan diri.
"Di antara kejahatan PKI yang pernah dilakukannya yaitu pada tahun
1948 melakukan pembunuhan massal dan kudeta, perampasan harta benda dan
pemerkosaan yang di lakukan di berbagai tempat yang memang itu di lakukan atas
intruksi, intimidasi dan penculikan terhadap Tokoh kyai yang dianggap
menghalangi kepentingannya, sampai pada tahun 1965 dan itu terus di lakukannya
sebagai perlawanan, seperti kejadian di banyuwangi, di madiun, dan pembunuhan
para jendral," jelas Arukat menguatkan Daming.
Arukat juga mengutip dasar-dasar hukum historis. Bahwa antek-antek PKI di
Indonesia masih terus mencoba memutihkan sejarah berdarah dari kelakuan masa
lalu mereka dengan lobi konstitusional dan menjadikan Komnas Ham sebagai kuda
tunggang untuk mencapai kepentingan politiknya.
Menurut Arukat memasuki reformasi upaya menghidupkan kembali Partai Komunis
Indonesia, telah dilakukan melalui jalur politik yakni usaha mencabut Tap MPRS
no XXV/MPRS/1966, dalam sidang umum MPR tahun 2003, melalui jalur hukum,
gugatan class action PKI melalui pengadilan negeri Jakarta Pusat pada
Agustus tahun 2005, jalur non yudicial dengan disahkannya UU KKR no 27 tahun
2004, sebagai pintu masuk PKI untuk dapat eksis, jalur pendidikan kurikulum
sejarah berbasis kompetensi tidak lagi mencantumkan pemberontakan PKI tahun
1948 & 1965. Dari berbagai upaya tersebut tidak ada yang behasil, kecuali
pasal 60 huruf g UU Pemilu tahun 2003.
"Langkah pemutihan sejarah hitam PKI ini adalah sebuah kebohongan
intelektual," jelas penulis buku "Kaum Merah Menjarah" ini.