Rabu, 25 Juli 2012

Derita Kaum Bersarung di Negeri Para Biksu

Myanmar adalah salah satu Negara di kawasan Asia Tenggara yang terdiri dari banyak etnik. Negara yang berbatasan dengan Thailand dan Bangladesh ini dihuni oleh mayoritas pemeluk Budha sebagaimana di Thailand. Hanya sedikit penduduk muslim, sekitar 4% yang terkumpul di Negara bagian Rakhine atau Arakan dan dikenal dengan komunitas muslim Rohingnya. Mirisnya, yang minoritas ini selalu menjadi bulan-bulanan Penguasa atau kelompok sipil mayoritas.


Sejak Myanmar diberi kemerdekaan oleh penjajajah Inggris, tercatat seringkali terjadi konflik berdarah di negeri itu. Apalagi ketika pemerintahannya dipegang oleh Junta Militer. Maka, rakyat sipil yang sebagian besar beragama Budha itu tidak setuju dan berulangkali mengadakan aksi damai menentang kekejaman rezim militer. Tercatat bentrokan besar itu terjadi sepanjang tahun dan beberapa kali mengalami ledakan aksi masa.

Maka, dari gerakan itu muncullah seorang tokoh wanita yang diklaim dan dinobatkan sebagai peraih nobel perdamaian lantaran mendukung perjuangan Demokrasi dan Hak Asasi manusia. Adalah Aung San Suu Kyi. Ia dan partainya berhasil memenangi pemilu dengan meraup 82% suara rakyat Myanmar. Meski demikian, kemenangan rakyat itu dianulir oleh Junta Militer sehingga penindasan di Negara tersebut terus terjadi, tanpa jeda lama. Bahkan, berdasarkan beberapa sumber, kekerasan yang terjadi secara sistemik terhadap kalangan minoritas Muslim bersebab adanya maksud pemusnahan generasi.

Terkait mengapa warga minoritas menjadi korban pembantaian, ada banyak sumber yang beredar. Dimulai dari pemaksaan agar warga muslim keluar dari agamanya, sampai kepada isu bahwa komunitas muslim bukanlah warga asli Myanmar.

Secara fisik, warga Rohingnya memang lebih mirip dengan penduduk Bangladesh atau India. Berperawakan tinggi, kulit hitam, hidung mancung. Berbeda dengan kebanyakan warga Myanmar yang bertubuh kecil, kulit putih dan mata agak sipit. Tak heran jika kemudian Presiden Myanmar, Thien Sein, mengklaim bahwa Muslim Rohingnya bukanlah warga asli Myanmar dan harus diungsikan ke kamp-kamp pengungsian untuk dirawat oleh PBB. Semntara itu, sekjen PBB secara tegas mengatakan bahwa warga Rohingnya adalah warga Myanmar dan merupakan komunitas yang mengalami penindasan etnik paling mengenaskan sepanjang sejarah di seluruh dunia.

Bentuk Penindasan

Awal juni lalu, kita dibuat terhenyak dengan berita yang disampaikan oleh salah seorang ustadz yang bergiat dalam aneka aksi solidaritas muslim di seluruh dunia. Sang ustadz menuturkan bahwa beliau menerima kabar dari koleganya tentang pembantaian yang kembali dialami oleh saudara kita di Rohingnya. Pembantaian bertahap itu terjadi sebanyak tiga kali sepanjang bulan itu dengan korban antara 200 sd 700 Muslim yang insya Allah Syahid. (Lihat lebih lanjut: http://chirpstory.com/li/10160)

Pembantaian ini bermula dari adanya kabar burung bahwa salah satu warga Rohingnya melakukan pemerkosaan terhadap wanita Budha. Akhirnya, warga mayoritas yang diliputi bara dendam melakukan aksi dengan melakukan pembantaian membabi buta. Membakar masjid, rumah pendduduk beserta seluruh warganya dihabisi tanpa ampun.

Pembantaian ini memnag sudah direncanakan. Sejumlah pelaku sengaja melakukan makar dengan membakar pemukiman penduduk. Sedangkan sebagian lainnya berjaga di sekeliling kampung dengan senjata lengkap berupa pedang sepanjang satu meter dan aneka alat perang manual lainnya. Maka, warga yang rumahnya dibakar itu secara otomatis berlari keluar kampung untuk menyelamatkan diri beserta seluruh anggota keluarganya. Ironisnya, ketika keluar disinyalir sebagai salah satu cara menyelamatkan diri, di sana mereka malah menemui Izrail lantaran sudah ditunggu oleh para algojo bengis yang tengah berjaga-jaga. Inna lillahi wa inna ilahi roji’un.

Parahnya, warga Muslim yang didapati melaksanakan sholat berjama’ah di masjid-masjid mereka langsung dibunuh di tempat oleh pihak militer maupun warga mayoritas. Mari sejenak berfikir, di sana saudara kita ini harus menukar sholat berjama’ah dengan nyawa mereka yang hanya satu itu. Sementara kita, dengan senang hati, tanpa merasa bersalah, berdalih aneka rupa hanya karena malas untuk berjama’ah di masjid. Apa kira-kira alasan yang akan kita kemukakan di hadapan Allah jika kelak kita ditanyai tentang hal ini?

Hijrah

Ketika Rasulullah dan Para Sahabat diblokade, maka Allah memerintahkan mereka untuk berhijrah sebagai salah satu strategi jitu. Terbukti, selepas hijrah, kaum muslimin berhasil menunjukan taring kesantunannya dan kemudian kembali ke Mekkah dengan gagah perkasa, tanpa pertumpahan darah, setetespun.

Demikian pula strategi yang diterapkan oleh komunitas Muslim Rohingnya. Secara bertahap mereka melakuan hijrah laut dengan perahu kecil dari kayu yang berkapasitas antara 100 sd 200 orang per perahu. Tentunya over kapasitas, tapi lantaran penjagaan Allah, tak pernah sekalipun ditemui kapal ini oleng lantaran perjalanan jauh.

Bangladesh adalah Negara yang dijadian sebagai tujuan utama untuk berhijrah. Disamping dekat, bentuk fisik warga Muslim Rohingnya ini memang mempunyai kemiripan dengan warga Bangladesh. Mungkin saja, karena kesamaan fisik dan kesamaan agama ini, menurut pemikiran warga rohingnya, warga Bangladesh akan menerima mereka dengan lapang dada seperti halnya Anshor menerima Muhajirin kala itu.

Sayangnya, asumsi tak terbukti. Meski sama muslimnya dan sama cirri fisiknya, polisi pantai dan sebagian warga Bangladesh tak mau menerima warga Rohingnya lantaran takut dengan Junta Militer Myanmar. Maka, Muhajirin Myanmar itu hanya dikumpulkan di tepi pantai, sambil telanjang dada, hanya bersarung ala kadarnya dan dijemur diterik pantai yang tak terperih. Tanpa jeda lama, mereka langsung disuruh kembali ke Negerinya dengan menaiki kapal yang sama dengan sedikit belas kasih : sebotol air minum dan beras untuk bekal perjalanan.

Jangan bayangkan bahwa beras itu akan dimasak sebelum dimakan. Karena di dalam perahu yang kelebihan penumpang itu, tidak terdapat alat untuk memasak. Maka dipastikan bahwa Saudara Muslim kita itu memakan beras mentah sepanjang perjalanan laut. Sementara itu, di belahan bumi lain, kita sedang sibuk mencela makanan yang tak enak secara nafsu, bahkan ada diantara kita yang tengah memilih aneka makanan lezat di restauran mahal di negeri hijau bernama Indonesia. Miris. Katanya, semuslim itu satu tubuh. Tapi, kita terbahak saat mereka merintih, menjerit dalam kesusahan. Inilah fakta.

Setelah diusir dari Bangladesh, tak mungkin mereka kembali ke negerinya. Karena di negerinya itu mereka hanya akan menemuai ajal dengan cara yang sangat mengenaskan. Maka, terkatunglah perahu kayu itu di tengah samudera. Atas ijin Alah, perahu itu ada yang kemudian sampai di ujung Thailand dan sebagiannya berhasil mendarat di Aceh dengan keadaan lunglai bagai tak bernyawa.

Cerita ini masih terjadi hingga sekarang. Jika kita mau membuka mata, maka sebenarnya pemerintah Junta Militer dan kaum mayoritas sengaja merawat konflik ini hingga sekarang. Bahkan, ketika peristiwa pembantaian terjadi, di tempat kejadian terdapat polisi yang asik menonton kaum mayoritas sedang menganiaya kaum minoritas dengan peralatan perang manualnya.

Dimanakah Kita?

Hingga saat ini, pembantaian itu masih terjadi dengan berbagai skalanya. Besar ataupun kecil. Dan, dunia, diam. Amerika, diam. PBB, bisu. Lantas, Dimanakah kita? Apa yang harus kita lakukan?

Islam adalah agama yang paling menjunjung tinggi nilai-nilai persaudaraan. Dalam al-Qur’an disebutkan bahwa orang yang beriman adalah bersaudara. Dalam hadits nabi juga disebutkan bahwa orang mukmin itu bagaikan satu tubuh. Jika ada anggota tubuh yang terluka atau tersakiti, maka anggota tubuh yang lain akan mengalami sakit serupa.

Maka, persaudaraan dalam konsep islam tidak terbatas wilayah. Apalagi sekedar wilayah teritorial seperti batas desa, kota, kabupaten atau negara. Persaudaraan Islam, batasnya adalah Aqidah. Dimanapun beradanya, ketika Robbnya adalah Allah dan Rasulnya adalah Muhammad, maka kita wajib untuk membantunya karena mereka adalah saudara seaqidah kita. Tak peduli mereka berada di luar daerah atau luar negeri sekalipun. Karena nasionalisme buta adalah produk dagangan musuh Islam yang hendak mencerai-beraikan kekuatan kamu muslimin.

Sederhananya, mari membayangkan! Apa kiranya perasaan kita ketika yang dibakar adalah rumah kita? Apa yang kita rasakan bila yang berada di dalam kapal yang terkatung-katung di tengah samudera itu adalah kita, anak kita dan saudara kandung kita? Bagaimana jika yang dibunuh adalah Ibu kita? Bibi, Paman, Keponakan, Sepupu atau Saudara Kandung kita? Bagaimana jika yang diperkosa adalah adik kita yang baru akan mekar? Atau, istri yang barus aja kita nikahi? Dan anak-anak yang meregang nyawa itu adalah anak kandung kita yang telah ditunggu kehadirannya sejak lama? Mungkinkah kita berdiam diri dan berkata pongah,” Buat apa mengurusi mereka yang jauh? Yang dekat saja masih banyak?” Jika masih saja berkata demikian, semoga saja Allah mengganti hati kita dengan hati yang lain. Kerena berdasarkan riwayat Imam Atb Thabrani disebutkan, “siapa saja yang tidak peduli dengan urusan kaum muslimin, maka ia bukan golonganku (nabi Muhammad shallahu ‘alaihi wa sallam).

Mari, lakukan sesuatu sebisa kita. Doakan mereka disetiap waktu. Agar Allah menolong para Mujahidin dan saudara muslim kita di Rohingnya, Suriah, Palestina, Moro, Pattani, dan di daerah-daerah lain. Semoga Allah menguatkan mereka dan memasukkan kita ke dalam golongan mereka. Golongan yang berperang di jalan Allah, kemudian mereka membunuh atau terbunuh, Karena balasan bagi mereka adalah surga yang lebih luas dari langit dan bumi.

Lalu, sebarkan berita yang benar. Berita yang berasal dari sumber aslinya. Bukan berita olahan kaum kafir atau media kafir lainnya. Sebarkan kepada khalayak, dan biarkan nurani mereka menilai, mana yang lebih dekat dengan kebenaran.

Jangan lupa untuk mengalokasikan harta kita. Ingat! Bukan pemberian. Melainkan saham! Ya, tanamkan Saham Jihad kita untuk saudara-saudara kita yang teraniaya itu. Alokasikan sebanyak-banyaknya, sesuai kapasitas kita. Karena Allah akan mengganti dengan kelipatan sepuluh sampai tujuh ratus kali lipat. Tanamkan saham itu secepatnya, sebelum Allah menarik karunia harta itu lantaran tidak digunakan sebagaimana mestinya.

Dan, jangan lupa untuk mempersiapkan diri. Karena perjuangan, dimulai dari sekarang. Jika kita tidak terlibat dalam aksi kebaikan, maka secara otomatis, kita tengah berada dalam proyek keburukan, disadari atau tidak, besar atau kecil skalanya.

Akhirnya, semoga Allah mengampuni dosa-dosa kita dan menguatkan kita untuk terus berjuang meninggikan kalimatNya. Karena kemenangan itu Janji Allah yang pasti terwujud, cepat atau lambat, dengan atau tanpa kita.