Selasa, 03 Juli 2012

Muslim Rohingya, minoritas yang tertindas

Mungkin nama Rohingya kurang akrab terdengar di telinga Anda. Tetapi, jika terucap nama Myanmar pastilah Anda cepat teringat.  Mereka adalah kaum muslim hidup dan menempati Negara Bagian Arakan (sekarang Rakhine), sebelah Barat Laut Ibu Kota Yangon. Kira-kira saat ini jumlah mereka mendekati satu juta orang. Mereka adalah minoritas di negara itu.


Banyak versi menyebut kehadiran mereka di Myanmar. Menurut sejarawan setempat, Khalilul Rahman, kata Rohingya berasal dari dari bahasa Arab, Raham, artinya simpati. Dia menarik kesimpulan seperti itu lantaran merujuk kepada sebuah peristiwa di abad kedelapan masehi, yakni eksekusi para pedagang Arab yang kapalnya terdampar di Pulau Ramree milik Kerajaan Arakan. Sebelum masing-masing dipancung, mereka meneriakkan kata Raham berkali-kali.

Tetapi hal itu dibantah Jahiruddin Ahmad dan Nazir Ahmad. Menurut keduanya asal sebutan Rohingya dipakai karena para penduduk muslim itu merupakan keturunan Orang Ruha asal Afghanistan. Seiring waktu, lidah warga setempat menyebutnya Ruhaingya, dan berangsur-angsur menjadi Rohingya, seperti dikutip dari situs www.wikipedia.org.

Namun, sejarawan Myanmar menolak teori itu. Khin Maung Saw mengatakan sebutan Rohingya buat muslim Myanmar tidak pernah ada sampai tahun 1950. Sementara Dr. Maung Maung menarik kesimpulan lebih jauh lagi. Dari hasil pencarian arsip sensus penduduk oleh penjajah Inggris pada 1824, dia tidak menemukan sebutan suku bangsa Rohingya dalam catatan itu.

Namun, apapun yang terjadi, kaum muslim Rohingya hidup tertindas jauh sebelum rezim militer berkuasa di Myanmar pada 1978. Mereka menjadi golongan terbuang di negeri mereka sendiri. Buat mendapatkan kewarganegaraan Myanmar pun dipersulit. Selain itu macam-macam pajak tidak masuk akal juga dikenakan kepada mereka. Dalam mencari nafkah mereka dibatasi. Selain itu, kebanyakan juga masih mengalami praktek kerja paksa.

Di benak orang Rohingya jangan pernah berharap memiliki rumah karena pasti bakal dihancurkan atau dibakar tentara pemerintah. Jika dilihat sekilas, kehidupan mereka mirip orang Yahudi yang diburu di berbagai belahan dunia. Bangsa tanpa tanah air.

Muslim Rohingya seakan dianggap sebagai "pengganggu keindahan" keberagaman oleh rezim di Myanmar. Pada 1978, militer Myanmar mengusir mereka ke Bangladesh. Bukannya bertambah baik, kehidupan mereka malah memburuk, tidak diterima masyarakat dan kembali diusir. Akhirnya mereka harus menerima kenyataan hidup terlunta-lunta, seperti dilansir dari situs www.irrawaddy.org, (25/6). Bahkan hidup mereka lebih buruk dari kaum muslim di Patthani, Thailand Selatan dan Bangsa Moro di Filipina Selatan.

Salah satu pengungsi yang tidak disebutkan namanya mengatakan kisah hidup orang Rohingya lebih buruk dari seekor burung betina. Dia menganggap bahkan burung saja punya hak hidup. Mereka bisa membangun sarang, melahirkan, memberi makan anak-anak mereka, dan membesarkannya. Sementara orang Rohingya harus hidup sengsara tanpa harapan dan diperlakukan layaknya serangga pengganggu.