Senin, 02 Juli 2012

Lebih Cerdas dengan Berkata Jujur


Menurut seorang psikolog orang yang sering berkata tidak jujur (bohong), lambat laun menjadi kebiasaan yang sulit dihambat. Bila tidak berbohong terasa ada keberatan dalam jiwanya. Maka terbiasalah ia berdusta. Seolah jika tidak berdusta mulutnya terasa gatal.


Pertama kali seseorang berbuat dusta atau berbohong, biasanya ia akan merasa menyesal. Akan tetapi, ketika perbuatan bohong atau dusta itu sering dilakukan beberapa kali, ia akan merasa biasa saja, bahkan mulai pudar rasa penyesalannya.

Kebiasaaan ini akan merugikan pribadi dan agamanya. Misalnya, dalam pergaulan ia bisa dijauhi orang lain. Bagi agama, perbuatan itu berimplikasi pada kadar keimanan.

Seorang ulama bernama Syeikh Abu Sa’id al-Qarsyi pernah mengatakan, “Orang jujur itu adalah orang yang mempersiapkan diri untuk menghadapi kematian. Sehinga ia tidak pernah malu mengakui kelemahan dirinya.”

Sikap jujur akan mengisi energi ke dalam pikiran intelektualitas sekaligus spiritualtias. Sifat ini mampu memberi energi positif untuk pengembangan keilmuan dan intelektualitas. Lebih-lebih, bagi seorang ilmuan. Jujur, menjadi faktor kemajuan intelektualitasnya.

Peneliti sejati bukanlah yang selalu menjiplak karya orang atau mengutip secara tidak jujur. Kebiasaan buruk ini justru menurunkan derajat intelektualitasnya. Menjadi peneliti yang baik, mesti mengakui kelemahannya, jika tidak, dia tidak menghasilkan karya yang baik.

Pengakuan akan kelemahan inilah yang kadang kala tidak ringan dilakukan. Sebagaiman anasihat Syeikh al-Qarsyi, “seharusnya seorang ilmuan tidak malu jika kelemahannya diketahui.” Sebab, dengan terbukanya kelemahan, berarti akan ada kesempatan untuk memperbaikinya.

Sebaliknya jika dia tidak jujur mengakui kelemahan, namun tetap kukuh menutupi ke-jahilan-nya, maka pintu untuk mengembangkan diri menjadi pintar tertutup. Tak ada kesempatan untuk tingkatkan derajat keilmuannya karena merasa sudah intelek. Jadilah ia seperti katak dalam tempurung. Ketidak jujuran menghasilkan keangkuhan. Keangkuhan berakibat satisnya tingkat keilmuannya.

Jujur dan kematian

Implikasi sikap jujur memiliki dua dimensi. Pertama, Meningkatkan kinerja seseorang dalam pekerjaannya. Kejujuran itu merupakan inti emotional quotient (kecerdasan emosional). Para peneliti menemukan bahwa kecerdasan emosional adalah faktor paling utama menentukan kesuksesan bekerja. Ini adalah sikap cerdas pada dimensi dunia.

Kedua, cerdas pada dimensi akhirat. Di sini, sikap jujur adalah buah dari keimanan yang sempurna. Karena sempurna imannya, maka ia tidak menyia-nyiakan perilakunya. Ia memprioritaskan perilakuknya kepada yang hal yang bermanfaat. Ia sadar bahwa berbohong tidak menguntungkan dalam berkawan, lebih-lebih akan merugikan nasib di akhirat.

Makanya, ia tidak sembarangan menjalani setiap detik nafas hidupnya, tidak main-main dengan gerak-gerik perilaku dan ucapannya.

Dalam sebuah hadis dijelaskan, “Orang yang cerdas ialah orang yang mengendalikan dirinya dan bekerja untuk kehidupan setelah kematian.” (HR Tirmidzi). Inilah arti kecerdasan yang sesungguhnya.

Hal ini menguatkan pendapat Syeikh ‘Abdul Qadir al-Jilaniy, bahwa akhlak terpuji selalu tergantung dengan konsep keimannannya, sebagaimana ditegaskan oleh Imama al-Wasithy, bahwa jujur itu sebenarnya adalah kebersihan tauhid.

Sehingga dengan mengikuti nasihat Imam Abu Sa’id al-Qarsyi di atas, maka seorang muslim yang shiddiq (jujur) selalu ingat kematian, setiap aktifitasnya selalu dipertimbangkan, apakah membawa manfaat untuk bekal setelah nyawa ini dicabut atau tidak. Inilah yang disebut manusia cerdas.

Ketidakmampuan dan kelemahan diri juga mesti diakui. Pengakuan ini akan menjadi pemacu semangat berbenah diri.

Ketidakjujuran dalam mengakui kelemahan atau kekurangan sering terjadi pada banyak  orang. Maka sering pula sebagian orang melontarkan kata-kata sombongnya, “Saya sudah baik, tabungan pahala lumayan, tak perlu dinasihati dan tak butuh nasehat Anda.”

Sebaliknya, seorang yang jujur mengakui kelemahan yang ada dalam dirinya, selalu merasa masih banyak dosa, memerlukan bimbingan, banyak belajar dan akan terus berpacu menyempurnakan segala kelemahannya.

Inilah yang bernama riyadlah. Berat memang. Kecuali bagi orang yang jujur dan tawadlu’. Sedangkan orang yang angkuh, berat untuk mengakui kelemahan diri,  dan berusaha menutupinya agar disebut manusia sempurna. Orang jenis ini ini menipu dirinya. Ia Ingkar pada hati nurani.

Makanya, untuk mencapai kesempurnaan, hati perlu mengakui akan kesalahan. Pengakuan ini bisa kita mulai dengan mengkalkulasi dosa setiap harinya. Sediakan waktu sejenak untuk bermuhasabah. Berapa kali kita lakukan dosa hari ini? Kemudian bandingkan, seberapa banyak syukur kita pada Allah Swt?

Jika kita masih tetap saja kukuh membohongi diri, maka perlu dicatat, mulut tak akan bisa berbohong di alam kubur kelak. Segalanya akan berlaku sebagaimana adanya kondisi seseorang. Lebiha baik jujur di dunia dengan menerima hinaan manusia, daripada kita tutupi diri untuk mengesankan sebagai orang ‘hebat’ di dunia, akan tetapi di akhirat disiksa.

Walau sepintar apa kita di dunia, bila kita inkar pada-Nya, mulut kita yang dulu pintar tidak bisa berbuat apa-apa menghadapi pertanyaan malaikat Munkar Nakir, kecuali sebagaimana adanya. Kita tak mungkin bermanipulasi pada waktu itu. Semua jasad kita akan menjadi saksi kebohongan-kebohongan. Jadi berbohong menjadi energy negatif yang akan menghancurkan kehidupan kita. Na’udzu billah mindzaalik.

Oleh : Kholili Hasib