Menurut seorang psikolog orang yang sering berkata tidak jujur (bohong),
lambat laun menjadi kebiasaan yang sulit dihambat. Bila tidak berbohong terasa
ada keberatan dalam jiwanya. Maka terbiasalah ia berdusta. Seolah jika tidak
berdusta mulutnya terasa gatal.
Pertama kali seseorang berbuat dusta atau berbohong, biasanya ia akan
merasa menyesal. Akan tetapi, ketika perbuatan bohong atau dusta itu sering
dilakukan beberapa kali, ia akan merasa biasa saja, bahkan mulai pudar rasa
penyesalannya.
Kebiasaaan ini akan merugikan pribadi dan agamanya. Misalnya, dalam
pergaulan ia bisa dijauhi orang lain. Bagi agama, perbuatan itu berimplikasi
pada kadar keimanan.
Seorang ulama bernama Syeikh Abu Sa’id al-Qarsyi pernah mengatakan, “Orang
jujur itu adalah orang yang mempersiapkan diri untuk menghadapi kematian.
Sehinga ia tidak pernah malu mengakui kelemahan dirinya.”
Sikap jujur akan mengisi energi ke dalam pikiran intelektualitas sekaligus
spiritualtias. Sifat ini mampu memberi energi positif untuk pengembangan
keilmuan dan intelektualitas. Lebih-lebih, bagi seorang ilmuan. Jujur, menjadi
faktor kemajuan intelektualitasnya.
Peneliti sejati bukanlah yang selalu menjiplak karya orang atau mengutip
secara tidak jujur. Kebiasaan buruk ini justru menurunkan derajat
intelektualitasnya. Menjadi peneliti yang baik, mesti mengakui kelemahannya,
jika tidak, dia tidak menghasilkan karya yang baik.
Pengakuan akan kelemahan inilah yang kadang kala tidak ringan dilakukan.
Sebagaiman anasihat Syeikh al-Qarsyi, “seharusnya seorang ilmuan tidak malu
jika kelemahannya diketahui.” Sebab, dengan terbukanya kelemahan, berarti akan
ada kesempatan untuk memperbaikinya.
Sebaliknya jika dia tidak jujur mengakui kelemahan, namun tetap kukuh
menutupi ke-jahilan-nya, maka pintu untuk mengembangkan diri menjadi pintar
tertutup. Tak ada kesempatan untuk tingkatkan derajat keilmuannya karena merasa
sudah intelek. Jadilah ia seperti katak dalam tempurung. Ketidak jujuran
menghasilkan keangkuhan. Keangkuhan berakibat satisnya tingkat keilmuannya.
Jujur dan kematian
Implikasi sikap jujur memiliki dua dimensi. Pertama, Meningkatkan kinerja
seseorang dalam pekerjaannya. Kejujuran itu merupakan inti emotional
quotient (kecerdasan emosional). Para peneliti menemukan bahwa kecerdasan
emosional adalah faktor paling utama menentukan kesuksesan bekerja. Ini adalah
sikap cerdas pada dimensi dunia.
Kedua, cerdas pada dimensi akhirat. Di sini, sikap jujur adalah buah dari
keimanan yang sempurna. Karena sempurna imannya, maka ia tidak menyia-nyiakan
perilakunya. Ia memprioritaskan perilakuknya kepada yang hal yang bermanfaat.
Ia sadar bahwa berbohong tidak menguntungkan dalam berkawan, lebih-lebih akan
merugikan nasib di akhirat.
Makanya, ia tidak sembarangan menjalani setiap detik nafas hidupnya, tidak
main-main dengan gerak-gerik perilaku dan ucapannya.
Dalam sebuah hadis dijelaskan, “Orang yang cerdas ialah orang yang
mengendalikan dirinya dan bekerja untuk kehidupan setelah kematian.” (HR
Tirmidzi). Inilah arti kecerdasan yang sesungguhnya.
Hal ini menguatkan pendapat Syeikh ‘Abdul Qadir al-Jilaniy, bahwa akhlak
terpuji selalu tergantung dengan konsep keimannannya, sebagaimana ditegaskan
oleh Imama al-Wasithy, bahwa jujur itu sebenarnya adalah kebersihan tauhid.
Sehingga dengan mengikuti nasihat Imam Abu Sa’id al-Qarsyi di atas, maka
seorang muslim yang shiddiq (jujur) selalu ingat kematian, setiap
aktifitasnya selalu dipertimbangkan, apakah membawa manfaat untuk bekal setelah
nyawa ini dicabut atau tidak. Inilah yang disebut manusia cerdas.
Ketidakmampuan dan kelemahan diri juga mesti diakui. Pengakuan ini akan
menjadi pemacu semangat berbenah diri.
Ketidakjujuran dalam mengakui kelemahan atau kekurangan sering terjadi pada
banyak orang. Maka sering pula sebagian orang melontarkan kata-kata
sombongnya, “Saya sudah baik, tabungan pahala lumayan, tak perlu dinasihati dan
tak butuh nasehat Anda.”
Sebaliknya, seorang yang jujur mengakui kelemahan yang ada dalam dirinya,
selalu merasa masih banyak dosa, memerlukan bimbingan, banyak belajar dan akan
terus berpacu menyempurnakan segala kelemahannya.
Inilah yang bernama riyadlah. Berat memang. Kecuali bagi orang yang jujur
dan tawadlu’. Sedangkan orang yang angkuh, berat untuk mengakui kelemahan
diri, dan berusaha menutupinya agar disebut manusia sempurna. Orang jenis
ini ini menipu dirinya. Ia Ingkar pada hati nurani.
Makanya, untuk mencapai kesempurnaan, hati perlu mengakui akan kesalahan.
Pengakuan ini bisa kita mulai dengan mengkalkulasi dosa setiap harinya.
Sediakan waktu sejenak untuk bermuhasabah. Berapa kali kita lakukan dosa hari ini?
Kemudian bandingkan, seberapa banyak syukur kita pada Allah Swt?
Jika kita masih tetap saja kukuh membohongi diri, maka perlu dicatat, mulut
tak akan bisa berbohong di alam kubur kelak. Segalanya akan berlaku sebagaimana
adanya kondisi seseorang. Lebiha baik jujur di dunia dengan menerima hinaan
manusia, daripada kita tutupi diri untuk mengesankan sebagai orang ‘hebat’ di
dunia, akan tetapi di akhirat disiksa.
Walau sepintar apa kita di dunia, bila kita inkar pada-Nya, mulut kita yang
dulu pintar tidak bisa berbuat apa-apa menghadapi pertanyaan malaikat Munkar
Nakir, kecuali sebagaimana adanya. Kita tak mungkin bermanipulasi pada waktu
itu. Semua jasad kita akan menjadi saksi kebohongan-kebohongan. Jadi berbohong
menjadi energy negatif yang akan menghancurkan kehidupan kita. Na’udzu billah
mindzaalik.
Oleh : Kholili Hasib